LARANGAN NIKAH MUT’AH
1.
Hadits
Riwayat Bukhori dan Muslim
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنِ اِسْمَاعِيْلَ
حَدَّثَنَا اِبْنُ عُيْنَةَ اَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُوْلُ اَخْبَرَنِى
الحَسَنُ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَاَخُوْهُ عَبْدٌالله عَنْ اَبِيْهَا اَنَّ
عَلِيًّا رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ ِلا بْنِ عَبَّاسٍ : اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :نَهى عَنِ الْمُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ
خَيْبَرَوَعَنْ اَكْلِ الْحُمْرِ الإِنْسِيَّةِ )رواه البخارى ومسلم(
Artinya :
Telah bercerita kepada kami Malik bin Ismail, telah
bercerita pada kami Ibnu Uynah; sesungguhnya Az-Zuhri mendengar perkataan Hasan
bin Muhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah dari ayahnya, Sesunguhnya Ali RA
berkata kepada Ibn Abbas: Sungguh Rasulullah SAW melarang Nikah Mut’ah (nikah
yang sementara waktu) pada waktu perang Khaibar dan juga melarang memakan
daging keledai kampung. (HR. Bukhori dan Muslim)
2.
Keyword
(kata kunci)
1. نَهى (nahaa) adalah kalimat fi'il madhi yang
berarti telah melarang. mudori'nya يَنْهى dan masdarnya
نَهْيًا.
2.مُتْعَة
(mut’ah)
adalah kalimat isim yang berarti kenikmatan/ kesenangan
sama seperti تَمَتُّعْ dan
اِسْتِمْتَاعْ
3.
Analisis
Dari hadits di atas
dijelaskan bahwa Rasulullah SAW ketika perang khaibar melarang untuk nikah mut’ah. Nikah mut’ah
adalah nikah yang ditentukan batas waktunya, bisa seminggu, sebulan, dan tidak
ada saling mempusakai antara suami dan istri. Mereka bercerai dengan sampainya
waktu yang telah ditentukan tanpa perlu menjatuhkan talak. Dinamai juga ziwaj mu’aqqat (nikah yang
terbatas waktunya), ziwaj munqathi’ (nikah yang terputus) atau di
Indonesia sering juga disebut dengan kawin kontrak.
Namun setelah diteliti dalam
hadits yang lain Rasullullah SAW membolehkan nikah mut’ah ini, di antaranya :
Ø Abdullah bin Mas’ud berkata :
كُنَّا نَغْزُو مَعَ النَّبِى
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ
مَعَنَا نِسَاءٌ, فَقُلْنَا: اَلاَ
نَخْتَصِى؟ فَنَهَانَا عَنْ ذًالِكَ, فَرَخَّصَ لَنَا بَعْدَ ذَالِكَ اَنْ
نَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ ثُمَّ قَرَأَ-يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تُحَرِّمُوْا طَيِّبَاتِ مَااَحَلَّ اللهُ لَكُمْ
Artinya :
Kami pergi berperang bersama-sama Nabi
SAW, dan tidak membawa istri kami. Karena itu kami bertanya; apakah tidak lebih
baik kami mengebirikan diri kami? Rasulullah melarangnya. Kemudian Rasulullah
membolehkan kami menikahi perempuan dengan sekerat kain (untuk batas tertentu).
Sesudah itu beliau membaca: Ya ayyuhal ladzina amanu la tuharrimu thayyibati
ma ahallallahu lakum = wahai para mukmin yang beriman jangan kamu
mengharamkan yang baik-baik, yeng telah dihalalkan Allah untuk kamu”.
(HR. Bukhori Muslim)
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Sidieqi dalam bukunya Mutiara Hadits
menjelaskan tentang hadits di atas bahwa beberapa sahabat pergi berperang
beserta Rasul tanpa didampingi istri. Karena itu mereka berunding untuk
mengebirikan diri. Setelah Nabi mengetahui keinginan mereka, Nabi pun melarang
mereka mengebirikan diri, karena hal itu berarti melawan kodrat, menyiksa diri
serta memutuskan tali keturunan.
Ø Jabir dan Salamah bin al-Akwa’ berkata
:
كُنَّا فِى جَيْسٍ, فَأَتَانَا
رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُلْنَا: اِنَّهُ قَدْ اُذِنَ لَكُمْ اَنْ
تَسْتَمْتِعُوْا, فَاسْتَمْتِعُوْا.
Artinya :
Kami berada dalam satu pasukan, maka
pesuruh Rasulullah SAW datang kepada kami dan berkata: Sesungguhnya Rasulullah
telah mengizinkan kamu mengawini perempuan secara terbatas. Karena itu
berbuatlah seperti itu. (HR. Bukhori dan Muslim)
Maksud hadits ini pun sama
dengan hadits yang pertama bahwa para sahabat dalam salah satu peperangan mendapat
izin dari Nabi untuk bernikah mut’ah karena itu mereka pun melakukannya.
Riwayat-riwayat mengenai
masalah ini berbeda satu sama lainnya. Ada yang menerangkan bahwa nikah mut’ah
diharamkan pada peperangan Khoibar. Ada yang mengatakan pada peperangan Tabu’.
Tetapi perbedaan riwayat tentang saat Nabi melarangnya, tidak dapat dijadikan
alasan untuk menolak hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah.
Hadits-hadits yang
membolehkan nikah mut’ah oleh segolongan sahabat, diantaranya Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, Salamah dan Jabir. Riwayat-riwayat itu semua menerangkan bahwa kejadian
nikah mut’ah adalah di saat menghadapi peperangan.
Sedangkan Sabrah Ibnu Ma’bad
Al-Juhary mengatakan bahwa di haji wada’, kemudian Nabi mengharamkannya hingga
hari kiamat. Sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi :
يَآاَيُّهَاالنَّاسُ اِنِّى
كُنْتُ اَذِنْتُ بِالاِسْتِمْتَاعِ مِنْ هذِهِ النِّسَاءِ, اَلاَ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ اِلىَ
يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْ ذَالِكَ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ
سَبِيْلَهَا وَلاَ تـَــأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا
Artinya :
Hai manusia, sungguh aku mengizinkan
mengambil kesenangan (istimta’) dengan perempuan ini. Ketahuilah, sesungguhnya
Allah mengharamkan yang demikian itu sampai hari kiamat. Maka barangsiapa yang
berbuat sesuatu mengenai hal itu maka hendaklah dia melepaskannya, dan
janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka”.
Asbabul wurudnya ialah Sabrah berkata
: “Kami bersama Nabi SAW dalam haji wada’. Ketika kami tiba di Mekah kami
bertahallul. Carilah olehmu kesenangan karena tahallul ini dengan istri (mu).
Maka kami mencari perempuan (untuk bersenang-senang) namun mereka menolak
dinikahi kecuali sampai masa tertentu. Maka kami sebutkan hal itu kepada
Rasulullah SAW, Beliau bersabda : “Hendaklah kalian tetapkan batas waktu antara
kamu dengan mereka. Maka aku keluar dengan seorang anak pamanku. Aku dan dia
sama-sama memiliki baju (burdah) namun bajunya lebih baik dari bajuku, padahal
aku lebih muda. Kami berjumpa dengan seorang perempuan yang merasa kagum dengan
baju sahabatku, sedangkan perempuan itu mengagumi kegantenganku. Perempuan itu
berkata “pakaian itu seperti bau”. Maka aku langsung menikahinya dan aku
tetapkan jangka waktu perkawinan itu selama sepuluh hari. Maka aku bermalam bersamanya pada malam itu. Kemudian, besok
paginya, tiba-tiba Rasulullah berdiri antara pintu dan tiang rumah dan
berkhutbah di hadapan manusia dengan sabdanya: “Wahai manusia …..dst”.
Menurut analisis saya
tentang nikah mut’ah ini adalah pada awalnya (sebelum perang khaibar) nikah
mut’ah itu dibolehkan sebagaimana hadits : ……….. كُنَّا نَغْزُو مَعَ النَّبِى, kemudian
ketika perang khoibar hadits itu dinasikh (dihapus) oleh hadits ………… نَهى
عَنِ الْمُتْعَةِ
, Lalu dibolehkan lagi
ketika perang tabu’ ……. اِنِّى كُنَّا فِى جَيْسٍ , akhirnya diharamkan kembali pada waktu
haji wada’ sampai hari kiamat ….…... يَآاَيُّهَاالنَّاسُ
Agar lebih difahami saya
akan menjelaskan analisis di atas secara terperinci. pertama; ketika menghadapi
suatu perang, Nabi membolehkan nikah mut’ah, kedua; ketika perang
khoibar pada tahun 6 Hijrah Nabi mengharamkannya. ketiga; pada perang tabu’
yang terjadi pada tahun 9 Hijrah nikah mut’ah dibolehkan lagi oleh Nabi keempat;
pada peristiwa haji wada’ tahun 10 Hijrah, disinilah Nabi mengharamkan
nikah mut’ah sampai hari kiamat.
Pada awalnya saya tidak
meyakini hal yang seperti ini, tidak mungkin Allah SWT melakukan dua kali
penghapusan hukum, namun setelah di analisis lebih dalam hal ini persis dengan pemahaman
Asy-Syafi’I yang secara zhohir tentang nikah mut’ah ini, beliau berkata; “Saya
tidak mengetahui ada sesuatu yang dihalakan Allah kemudian diharamkanNya,
kemudian dihalalkanNya lagi dan akhirnya diharamkanNya kembali, selain daripada
nikah mut’ah”.
Nikah mut’ah ini menurut
aliran Syi’ah dan Imamiyah itu dibolehkan karena menurut mereka tidak ada
ditemukan suatu hadits yang menasakhkan hukum tersebut.
Menurut saya tujuan nikah
bukanlah sekedar menyalurkan nafsu syahwat saja tetapi juga memperoleh
keturunan, menyambung tali silaturrahmi antara kedua belah pihak keluarga dan
yang terpenting menjalankan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW. Jadi yang
membolehkan nikah mut’ah (kawin kontrak) pada saat ini berarti menjadikan
perempuan seperti barang dagangan yang
bisa diperjual belikan.
4.
Kesimpulan
Nikah mut’ah adalah nikah yang
ditentukan batas waktunya, bisa seminggu, sebulan, dan tidak ada saling
mempusakai antara suami dan istri. Mereka bercerai dengan sampainya waktu yang
telah ditentukan tanpa perlu menjatuhkan talak.
Dinamai juga ziwaj mu’aqqat (nikah yang terbatas waktunya), ziwaj
munqathi’ (nikah yang terputus) atau di Indonesia sering juga disebut
dengan kawin kontrak.
Berdasarkan hadits yang ada, pada
awalnya nikah mut’ah ini dibolehkan kemudian dimansukhkan oleh hadits lain yang
mengharamkannya ketika perang khoibar (6 Hijrah), Lalu dibolehkan kembali pada
perang tabu’ (9 Hijrah) dan akhirnya ketika Rasul mengerjakan haji wada’ (10
Hijrah) nikah mut’ah diharamkan sampai saat ini dan sampai akhir kiamat .
والله اعلم بالصواب
š lee_hyn