BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang diturunkan
oleh Allah SWT melalui seorang rasul (utusan) yaitu Nabi Muhammad SAW. Agama
Islam memiliki pedoman yaitu al-Quran yang disampaikan dan diajarkan oleh Rasululllah
SAW kepada seluruh umat manusia. Penjelasan al-Quran tidak selalu terperinci
karena ada juga yang harus dijelaskan lebih lanjut dan terperinci oleh
Rasulullah SAW.
Segala perkataan (qauli),
perbuatan (fi’li), penetapan (taqrir) dan ajaran atau bimbingan
yang diberikan oleh Rasulullah SAW untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam
dinamakan dengan istilah sunnah rasul atau hadits. Hal itulah yang menjadikan hadits sebagai pedoman kedua
dalam agama Islam setelah al-Quran. Selain itu, percaya kepada Rasulullah SAW
merupakan rukun iman yang keempat, maka wajiblah hukumnya untuk mengikuti
perintahnya dan menjauhi larangannya.
Selain itu, Allah SWT juga memberikan
kepada umat Islam para pendahulu yang selalu menjaga al-Quran dan hadits.
Mereka adalah orang-orang yang jujur, amanah dan memegang janji. Sebagian
diantara mereka mencurahkan perhatiannya tehadap al-Quran dan ilmunya yaitu mufassirin.
Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadits nabi dan
ilmunya, mereka adalah muhadditsin.
Allah SWT berfirman dalam surat
an-Nisa’ ayat 59 :
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ
امَنُوْا اَطِيْعُوااللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ ج
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاخِرِ قلى ذلِكَ خَيْرٌ
وَّاَحْسَنَ تَأْوِيْلاً ﴿النساء : ٥٩﴾
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[1]
Dan Rasululullah SAW pun bersabda :
حَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ اَنَّهُ بَلَغَهُ
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا
مَاتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ[2]
Artinya: Telah
menceritakan kepadaku, dari Malik. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Aku
tinggalkan untukmu dua perkara yang apabila berpegang teguh pada keduanya
niscaya tidak akan sesat selamanya, yakni Kitab Allah (al-Quran) dan Sunnah
Nabi-Nya (hadits)”. (HR. Malik)
Berdasarkan
ayat dan hadits di atas, maka al-Quran dan hadits itulah pedoman dalam agama
Islam yang utama, sehingga Rasululullah SAW sendiri meyakinkan kepada umatnya
bahwa tidak akan tersesat selamanya jika berpegang teguh kepada keduanya.
Di dalam
al-Quran dan hadits banyak sekali dijelaskan mengenai tauhid, ibadah, muamalah,
munakat dan lain-lainnya. Adapun salah satu contohnya yaitu tentang nikah,
diantaranya firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
فَانْكِحُوْا
مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءَ ... ﴿النساء
: ٣﴾
Artinya: Maka nikahilah olehmu perempuan-perempuan
yang baik menurut kamu.[3]
Dan sabda
Rasulullah SAW :
حَدَّ ثَنَا عُمَرُ
بْنِ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا اْلأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنِى
اِبْرَاهِيْمُ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللهِ فَلَقِيَهُ
عُثْمَانُ بِمِنىً فَقَالَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمنِ إِنَّ لِى اِلَيْكَ
حَاجَةً فَخَلَيَا فَقَالَ عُثْمَانُ : هَلْ لَكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمنَ فِى
اَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا تُذَكِّرُكَ مَا كُنْتَ تَعْهَدُ فَلَمَّا رَأى عَبْدُ
اللهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ إِلىَ هذَا أَشَارَ إِلَىَّ فَقَالَ يَا
عَلْقَمَةُ فَانْتَهَيْتُ اِلَيْهِ وَهُوَ يَقُوْلُ : أَمَا لَئِنْ قُلْتَ ذلِكَ
لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِىُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَالشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْبَائَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءُ [4]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Umar bin
Hafash, telah menceritakan kepada kami ayah saya, telah menceritakan kepada
kami A’masy telah berkata, telah menceritakan kepada saya Ibrahim dari ‘Alqamah
telah berkata saya bersama Abdullah berjumpa dengan Usman di Mina, maka dia berkata wahai ayah
Abdurrahman sesungguhnya saya mempunyai pertanyaan kepadamu, maka dia
menceritakan dan Usman berkata: wahai ayah Abdurrahman apakah kamu mempunyai
anak gadis untuk dinikahkan. Aku teringat akan janji kamu. Maka Abdullah
melihat ini bukanlah pertanyaan melainkan isyarat kepadaku. Maka dia berkata
wahai ’Alqamah aku melarangnya dan dia berkata: Nabi SAW bersabda kepada kami “Hai
para pemuda, barangsiapa diantara kamu telah mampu (mempunyai) bekal untuk
menikah, maka nikahlah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
berpuasa karena sesungguhnya (puasa) itu adalah benteng baginya.” (HR.
Bukhori).
Ayat dan hadits di atas menggambarkan
bahwa nikah merupakan salah satu hal yang dianjurkan dalam agama Islam. Dan
telah dimaklumi bahwa seluruh makhluk diciptakan Tuhan berpasang-pasangan agar
mereka saling menutupi kelemahan dan kekurangan masing-masing dan agar mereka
selamanya saling membutuhkan dan tolong menolong serta mengakui kebesaran Allah
SWT. Disamping itu juga, secara naluri manusia dapat merasakan kenyataan
dirinya bahwa Tuhan telah menghujamkan pada setiap hati-hati mereka kecondongan
untuk menyenangi lawan jenisnya dan bersatunya mereka akan dapat melahirkan
ketenangan dan ketentraman jiwa sehingga terasalah bagi mereka betapa
berartinya hidup jika kehidupan mereka dipenuhi dengan rasa cinta, kasih
sayang, ketaqwaan dan keshalihan.[5]
Pernikahan merupakan salah satu
perintah atau kebolehan yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Allah tidak
pernah melarang seseorang yang telah mempu menikahi lawan jenisnya, bahkan
Allah dan Rasul-Nya sangat memerintahkan setiap muslim yang telah mampu untuk
melangsungkan pernikahan agar dapat memelihara agama, kehormatan diri,
pandangan, mengarahkan kebutuhan secara benar-benar dan menata kehidupan secara
baik-baik sehingga memperoleh ketenangan, ketentraman, kesenangan dan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah diperhatikan lebih dalam
bahwa jenis pernikahan itu banyak macamnya, salah satunya ialah nikah mut’ah.
Nikah mut’ah adalah suatu pernikahan yang berlangsung dengan batas waktu
tertentu dan bila sudah tiba waktunya maka jalinan pernikahan yang dilakukan
itu putus hubungan dengan sendirinya.[6] Seperti dalam waktu
sehari, seminggu, sebulan dan sebagainya. Nikah mut’ah ini disebut juga ziwaj
mu’aqqat (nikah yang terbatas waktunya), ziwaj munqathi’ (nikah yang
terputus)[7] dan di Indonesia lebih
dikenal dengan istilah kawin kontrak.
Dalam
kenyataan saat ini praktik nikah mut’ah banyak terjadi dan semakin berkembang
dengan memegang dalil-dalil yang shahih ataupun alasan-alasan yang masuk akal.
Padahal ditemukan juga pengharaman nikah mut’ah dengan dalil-dalil yang shahih
pula.
Dalam hal ini penulis akan
membicarakan sekaligus meneliti tentang hadits-hadits nikah mut’ah karena
penulis menemukan hadits-hadits yang membicarakan tentang nikah mut’ah ini
dianggap saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Sebagai insan
akademis, penulis tidak langsung menyimpulkan dari maksud hadits-hadits
tersebut secara spekulatif maupun secara logis, tetapi penulis lebih tertarik
untuk mengkajinya terlebih dahulu secara ilmiah sehingga bisa menyimpulkan
apakah hadits tersebut bisa digunakan atau tidak sebagai dalil. Kajian ini di
dalam ilmu mushtalah al-hadits dinamakan dengan ilmu mukhtalaf al-hadits.
Dari uraian di atas, penulis berkeyakinan sekaligus berketetapan hati
untuk mengangkat permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) ini
yang berjudul “ANALISIS MUKHTALAF AL-HADITS TENTANG HADITS NIKAH MUT’AH”.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengemukakan rumusan
masalah yang menjadi objek pembahasan dalam skripsi ini, yaitu:
1.
Apa
pengertian mukhtalaf al-hadits ?
2.
Mengapa
hadits-hadits tentang nikah mut’ah kelihatannya mukhtalaf ?
3.
Bagaimana
cara menyelesaikan hadits-hadits tentang nikah mut’ah yang dianggap mukhtalaf ?
C.
Batasan Masalah
Agar menghindari
terjadinya perluasan pembahasan dalam masalah ini, maka penulis akan
menitikberatkan kepada analisis Mukhtalaf al-Hadits tentang hadits-hadits yang
berkenaan dengan nikah mut’ah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam
Muslim.
D.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian mukhtalaf al-hadits.
2.
Untuk
memahami pengertian nikah mut’ah dan dalil-dalilnya.
3.
Untuk
mempelajari cara menyelesaikan hadits-hadits tentang nikah mut’ah yang dianggap
mukhtalaf.
E.
Kegunaan Penelitian
Penulis
mengangkat permasalahan mukhtalaf al-hadits dalam penelitian ini, dengan harapan
agar dapat berguna:
1.
Untuk
memberi pengetahuan kepada penulis dan pembaca tentang ilmu mukhtalaf al-hadits
dan metodologi penyelesaiannya.
2.
Sebagai
pengetahuan tentang hukum praktik nikah mut’ah yang sedang berkembang.
3.
Untuk
memperoleh gelar sarjana program Strata Satu (S1) Jurusan Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi.
F.
Tinjauan Kepustakaan
Penulis mengakui banyak pakar yang
telah membahas mengenai nikah mut’ah, diantaranya:
1.
Dr.
Izzudin Husain as-Syekh dalam karyanya Mukhtasar al-Nasikh wa al-Mansukh Fi
Hadits Rasululullah.
Didalam kitab ini pengarangnya hanya mencantumkan
hadits-hadits tentang nikah mut’ah kemudian menyimpulkan secara singkat tentang
nikah mut’ah tanpa dijelaskan proses penelitian dan pengambilan hukumnya sebab
pembahasan dalam kitab ini sangat banyak dan nikah mut’ah merupakan salah satu
pembahasan didalamnya.[8]
2.
Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy dalam bukunya Koleksi Hadits-Hadits Hukum.
Didalam buku ini selain dipaparkan hadits-hadits tentang nikah mut’ah
beliau lebih menjelaskan tentang pendapat-pendapat para ulama yang saling
berlainan dan bertentangan sehingga beliau pun tidak mengambil kesimpulan
sendiri.[9]
3.
Muhammad Sirojuddin Iqbal dalam 31
Permasalahan Agama terjemahan Al-Minhaaj al-Mubiin Fi Adillat ad-Din.
Pembahasan “nikah mut’ah”, itu merupakan sub judul dalam kitab ini.
Selain memaparkan hadits-hadits tentang nikah mut’ah perbedaannya dengan kitab
yang lain kitab ini menyertakan tafsir
ayat al-Quran yang dianggap mengenai tentang nikah mut’ah.[10]
4.
Muhammad Faisal Hamdani dalam buku Nikah
Mut’ah: Analisis Perbandingan Hukum Sunni dan Syi’ah.
Buku ini merupakan buku yang pertama ditemukan
penulis yang membahas secara menyeluruh tentang nikah mut’ah dalam satu buku,
hanya saja beliau lebih mengedepankan tentang perbandingan hukum antara aliran
Sunni dan Syi’ah. Di dalam literatur ini penulisnya memaparkan tentang hukum
nikah mut’ah menurut pendapat mufassir sunni, ulama hadits sunni, ulama fiqh
sunni, dan pendapat tokoh kontemporer dan dalil aqli serta dipaparkan juga pandangan
menurut Syi’ah dalam menafsirkan dan menjelaskan hadits tentang nikah mut’ah,
berikut alasan akal (filosofis hukumnya).[11]
Walaupun banyaknya penulis yang
mengkaji tentang permasalahan nikah mut’ah, namun penulis menganggap belum satu
pun yang sama dengan apa yang akan dikaji oleh penulis, penulis lebih
mengedepankan tentang praktik metodologi penyelesaian hadits yang dianggap
bertentangan (analisis mukhtalaf al-hadits) tentang hadits nikah mut’ah
sehingga hukum yang timbul menjadi lebih jelas dan bisa diterima.
G.
Metode Penelitian
1.
Sumber
Data
Penelitian ini bersifat kualitatif, maka sumber data yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah riset kepustakaan (library research). Adapun
sumber primernya adalah Shohih Bukhori dan Shohih Muslim. Sedangkan data
sekundernya adalah literatur-literatur penunjang yang mempunyai kaitan yang
erat dengan permasalahan ini diantaranya seperti Metode Penelitian Hadits, Asbabul
Wurudil Hadits, Mutiara Hadits, Fiqih Munakahat dan lain-lain.
2.
Analisis
Data
Data yang telah dikumpulkan akan di analisis melalui pendekatan
kualitatif dengan menggunakan kerangka berfikir :
1. Jam’u wa at-Taufiq : Menela’ah
data yang telah terhimpun dan mencari titik temunya antara data-data tersebut.
2. Tarjih : Memilih
data-data yang mengandung kebenaran yang lebih valid.
3. Nasikh wa al-Mansukh : Mengetahui
data yang lebih awal (dihapus) dan terakhir (pengganti).
[1] An-Nisa’ (4) : 59.
[2] Imam Malik, Al-Muwaththa’,
cet. III (Beirut: Dar
al-Fikr, 2002), hlm. 549, hadits nomor 1662, “Kitab al-Qadr,” “Bab Naha ‘an
al-Qaul Bi al-Qadr.”
[3] An-Nisa’ (4) : 30.
[4] Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Fikr, 1891), VI,
hlm. 117, “Kitab an-Nikah,” “Bab Qaul an-Nabi SAW Man Istathaa’a Minkum
al-Baa-at Fa al-Yatazawwaj.”
[5] Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah: Analisis Perbandingan Hukum
Antara Sunni dan Syi’ah, cet. I (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hlm.
18.
[6] Mohammad Asmawi, Nikah
dalam Perbincangan dan Perbedaan. cet. I (Yogyakarta: Darussalam, 2004), hlm. 89.
[7] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shidieqy, Mutiara Hadits, cet. I (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2003), V, hlm. 13.
[8] Dr. Izzudin Husain as-Syekh, Menyikapi Hadits-Hadits yang Saling
Bertentangan: Hadits-Hadits Nasikh Mansukh, alih bahasa Wajidi Sayadi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm.
106-108.
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, cet. II, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2001), VIII, hlm. 68-77.
[10] Anonim, 31 Permasalahan Agama, alih bahasa M.
Sirojuddin Iqbal, cet. I, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 60-66.
[11] Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah, hlm. 1-151.
Lihat Bab II, silahkan klik disini
Lihat Bab III, silahkan klik disini