Laman

Rabu, 01 Juni 2011

ANALISIS MUKHTALAFUL HADIS TENTANG HADIS NIKAH MUT'AH

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui seorang rasul (utusan) yaitu Nabi Muhammad SAW. Agama Islam memiliki pedoman yaitu al-Quran yang disampaikan dan diajarkan oleh Rasululllah SAW kepada seluruh umat manusia. Penjelasan al-Quran tidak selalu terperinci karena ada juga yang harus dijelaskan lebih lanjut dan terperinci oleh Rasulullah SAW.
Segala perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), penetapan (taqrir) dan ajaran atau bimbingan yang diberikan oleh Rasulullah SAW untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam dinamakan dengan istilah sunnah rasul atau hadits. Hal itulah yang menjadikan hadits sebagai pedoman kedua dalam agama Islam setelah al-Quran. Selain itu, percaya kepada Rasulullah SAW merupakan rukun iman yang keempat, maka wajiblah hukumnya untuk mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya.
Selain itu, Allah SWT juga memberikan kepada umat Islam para pendahulu yang selalu menjaga al-Quran dan hadits. Mereka adalah orang-orang yang jujur, amanah dan memegang janji. Sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya tehadap al-Quran dan ilmunya yaitu mufassirin. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadits nabi dan ilmunya, mereka adalah muhadditsin.
Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 59 :
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوْا اَطِيْعُوااللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ ج فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاخِرِ قلى ذلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنَ تَأْوِيْلاً ﴿النساء : ٥٩﴾
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[1]

Dan Rasululullah SAW pun bersabda :
حَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ اَنَّهُ بَلَغَهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَاتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ[2]
Artinya: Telah menceritakan kepadaku, dari Malik. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Aku tinggalkan untukmu dua perkara yang apabila berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan sesat selamanya, yakni Kitab Allah (al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya (hadits)”. (HR. Malik)

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, maka al-Quran dan hadits itulah pedoman dalam agama Islam yang utama, sehingga Rasululullah SAW sendiri meyakinkan kepada umatnya bahwa tidak akan tersesat selamanya jika berpegang teguh kepada keduanya.
Di dalam al-Quran dan hadits banyak sekali dijelaskan mengenai tauhid, ibadah, muamalah, munakat dan lain-lainnya. Adapun salah satu contohnya yaitu tentang nikah, diantaranya firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءَ ... ﴿النساء : ٣
Artinya:  Maka nikahilah olehmu perempuan-perempuan yang baik menurut kamu.[3]

Dan sabda Rasulullah SAW :
حَدَّ ثَنَا عُمَرُ بْنِ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا اْلأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنِى اِبْرَاهِيْمُ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللهِ فَلَقِيَهُ عُثْمَانُ بِمِنىً فَقَالَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمنِ إِنَّ لِى اِلَيْكَ حَاجَةً فَخَلَيَا فَقَالَ عُثْمَانُ : هَلْ لَكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمنَ فِى اَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا تُذَكِّرُكَ مَا كُنْتَ تَعْهَدُ فَلَمَّا رَأى عَبْدُ اللهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ إِلىَ هذَا أَشَارَ إِلَىَّ فَقَالَ يَا عَلْقَمَةُ فَانْتَهَيْتُ اِلَيْهِ وَهُوَ يَقُوْلُ : أَمَا لَئِنْ قُلْتَ ذلِكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِىُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَالشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَائَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءُ    [4]
Artinya:  Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafash, telah menceritakan kepada kami ayah saya, telah menceritakan kepada kami A’masy telah berkata, telah menceritakan kepada saya Ibrahim dari ‘Alqamah telah berkata saya bersama Abdullah berjumpa dengan  Usman di Mina, maka dia berkata wahai ayah Abdurrahman sesungguhnya saya mempunyai pertanyaan kepadamu, maka dia menceritakan dan Usman berkata: wahai ayah Abdurrahman apakah kamu mempunyai anak gadis untuk dinikahkan. Aku teringat akan janji kamu. Maka Abdullah melihat ini bukanlah pertanyaan melainkan isyarat kepadaku. Maka dia berkata wahai ’Alqamah aku melarangnya dan dia berkata: Nabi SAW bersabda kepada kami “Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu telah mampu (mempunyai) bekal untuk menikah, maka nikahlah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya (puasa) itu adalah benteng baginya.” (HR. Bukhori).

Ayat dan hadits di atas menggambarkan bahwa nikah merupakan salah satu hal yang dianjurkan dalam agama Islam. Dan telah dimaklumi bahwa seluruh makhluk diciptakan Tuhan berpasang-pasangan agar mereka saling menutupi kelemahan dan kekurangan masing-masing dan agar mereka selamanya saling membutuhkan dan tolong menolong serta mengakui kebesaran Allah SWT. Disamping itu juga, secara naluri manusia dapat merasakan kenyataan dirinya bahwa Tuhan telah menghujamkan pada setiap hati-hati mereka kecondongan untuk menyenangi lawan jenisnya dan bersatunya mereka akan dapat melahirkan ketenangan dan ketentraman jiwa sehingga terasalah bagi mereka betapa berartinya hidup jika kehidupan mereka dipenuhi dengan rasa cinta, kasih sayang, ketaqwaan dan keshalihan.[5]
Pernikahan merupakan salah satu perintah atau kebolehan yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Allah tidak pernah melarang seseorang yang telah mempu menikahi lawan jenisnya, bahkan Allah dan Rasul-Nya sangat memerintahkan setiap muslim yang telah mampu untuk melangsungkan pernikahan agar dapat memelihara agama, kehormatan diri, pandangan, mengarahkan kebutuhan secara benar-benar dan menata kehidupan secara baik-baik sehingga memperoleh ketenangan, ketentraman, kesenangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Setelah diperhatikan lebih dalam bahwa jenis pernikahan itu banyak macamnya, salah satunya ialah nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah suatu pernikahan yang berlangsung dengan batas waktu tertentu dan bila sudah tiba waktunya maka jalinan pernikahan yang dilakukan itu putus hubungan dengan sendirinya.[6] Seperti dalam waktu sehari, seminggu, sebulan dan sebagainya. Nikah mut’ah ini disebut juga ziwaj mu’aqqat (nikah yang terbatas waktunya), ziwaj munqathi’ (nikah yang terputus)[7] dan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah kawin kontrak.
Dalam kenyataan saat ini praktik nikah mut’ah banyak terjadi dan semakin berkembang dengan memegang dalil-dalil yang shahih ataupun alasan-alasan yang masuk akal. Padahal ditemukan juga pengharaman nikah mut’ah dengan dalil-dalil yang shahih pula.
Dalam hal ini penulis akan membicarakan sekaligus meneliti tentang hadits-hadits nikah mut’ah karena penulis menemukan hadits-hadits yang membicarakan tentang nikah mut’ah ini dianggap saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Sebagai insan akademis, penulis tidak langsung menyimpulkan dari maksud hadits-hadits tersebut secara spekulatif maupun secara logis, tetapi penulis lebih tertarik untuk mengkajinya terlebih dahulu secara ilmiah sehingga bisa menyimpulkan apakah hadits tersebut bisa digunakan atau tidak sebagai dalil. Kajian ini di dalam ilmu mushtalah al-hadits dinamakan dengan ilmu mukhtalaf al-hadits.
Dari uraian di atas, penulis berkeyakinan sekaligus berketetapan hati untuk mengangkat permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) ini yang berjudul “ANALISIS MUKHTALAF AL-HADITS TENTANG HADITS NIKAH MUT’AH”.

B.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah yang menjadi objek pembahasan dalam skripsi ini, yaitu:
1.    Apa pengertian mukhtalaf al-hadits ?
2.    Mengapa hadits-hadits tentang nikah mut’ah kelihatannya mukhtalaf ?
3.    Bagaimana cara menyelesaikan hadits-hadits tentang nikah mut’ah yang dianggap mukhtalaf ?

C.   Batasan Masalah
Agar menghindari terjadinya perluasan pembahasan dalam masalah ini, maka penulis akan menitikberatkan kepada analisis Mukhtalaf al-Hadits tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan nikah mut’ah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.

D.   Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.    Untuk mengetahui pengertian mukhtalaf al-hadits.
2.    Untuk memahami pengertian nikah mut’ah dan dalil-dalilnya.
3.    Untuk mempelajari cara menyelesaikan hadits-hadits tentang nikah mut’ah yang dianggap mukhtalaf.

E.    Kegunaan Penelitian
Penulis mengangkat permasalahan mukhtalaf al-hadits dalam penelitian ini, dengan harapan agar dapat berguna:
1.    Untuk memberi pengetahuan kepada penulis dan pembaca tentang ilmu mukhtalaf al-hadits dan metodologi penyelesaiannya.
2.    Sebagai pengetahuan tentang hukum praktik nikah mut’ah yang sedang berkembang.
3.    Untuk memperoleh gelar sarjana program Strata Satu (S1) Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi.

F.    Tinjauan Kepustakaan
Penulis mengakui banyak pakar yang telah membahas mengenai nikah mut’ah, diantaranya:
1.    Dr. Izzudin Husain as-Syekh dalam karyanya Mukhtasar al-Nasikh wa al-Mansukh Fi Hadits Rasululullah.
Didalam kitab ini pengarangnya hanya mencantumkan hadits-hadits tentang nikah mut’ah kemudian menyimpulkan secara singkat tentang nikah mut’ah tanpa dijelaskan proses penelitian dan pengambilan hukumnya sebab pembahasan dalam kitab ini sangat banyak dan nikah mut’ah merupakan salah satu pembahasan didalamnya.[8]
2.    Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy dalam bukunya Koleksi Hadits-Hadits Hukum.
Didalam buku ini selain dipaparkan hadits-hadits tentang nikah mut’ah beliau lebih menjelaskan tentang pendapat-pendapat para ulama yang saling berlainan dan bertentangan sehingga beliau pun tidak mengambil kesimpulan sendiri.[9]
3.    Muhammad Sirojuddin Iqbal dalam  31 Permasalahan Agama terjemahan Al-Minhaaj al-Mubiin Fi Adillat ad-Din.
Pembahasan “nikah mut’ah”, itu merupakan sub judul dalam kitab ini. Selain memaparkan hadits-hadits tentang nikah mut’ah perbedaannya dengan kitab yang lain kitab ini menyertakan tafsir  ayat al-Quran yang dianggap mengenai tentang nikah mut’ah.[10]
4.    Muhammad Faisal Hamdani dalam buku Nikah Mut’ah: Analisis Perbandingan Hukum Sunni dan Syi’ah.
Buku ini merupakan buku yang pertama ditemukan penulis yang membahas secara menyeluruh tentang nikah mut’ah dalam satu buku, hanya saja beliau lebih mengedepankan tentang perbandingan hukum antara aliran Sunni dan Syi’ah. Di dalam literatur ini penulisnya memaparkan tentang hukum nikah mut’ah menurut pendapat mufassir sunni, ulama hadits sunni, ulama fiqh sunni, dan pendapat tokoh kontemporer dan dalil aqli serta dipaparkan juga pandangan menurut Syi’ah dalam menafsirkan dan menjelaskan hadits tentang nikah mut’ah, berikut alasan akal (filosofis hukumnya).[11]  
Walaupun banyaknya penulis yang mengkaji tentang permasalahan nikah mut’ah, namun penulis menganggap belum satu pun yang sama dengan apa yang akan dikaji oleh penulis, penulis lebih mengedepankan tentang praktik metodologi penyelesaian hadits yang dianggap bertentangan (analisis mukhtalaf al-hadits) tentang hadits nikah mut’ah sehingga hukum yang timbul menjadi lebih jelas dan bisa diterima.       
    
G.   Metode Penelitian
1.    Sumber Data
Penelitian ini bersifat kualitatif, maka sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah riset kepustakaan (library research). Adapun sumber primernya adalah Shohih Bukhori dan Shohih Muslim. Sedangkan data sekundernya adalah literatur-literatur penunjang yang mempunyai kaitan yang erat dengan permasalahan ini diantaranya seperti Metode Penelitian Hadits, Asbabul Wurudil Hadits, Mutiara Hadits, Fiqih Munakahat dan lain-lain.
2.    Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan akan di analisis melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan kerangka berfikir :
1.  Jam’u wa at-Taufiq : Menela’ah data yang telah terhimpun dan mencari titik temunya antara data-data tersebut.
2.    Tarjih                         :  Memilih data-data yang mengandung kebenaran yang lebih valid.
3.    Nasikh wa al-Mansukh : Mengetahui data yang lebih awal (dihapus) dan terakhir (pengganti).






[1]  An-Nisa’ (4) : 59.
[2] Imam Malik, Al-Muwaththa’, cet. III (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), hlm. 549, hadits nomor 1662, “Kitab al-Qadr,” “Bab Naha ‘an al-Qaul Bi al-Qadr.”
[3] An-Nisa’ (4) : 30.
[4] Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Fikr, 1891), VI, hlm. 117, “Kitab an-Nikah,” “Bab Qaul an-Nabi SAW Man Istathaa’a Minkum al-Baa-at Fa al-Yatazawwaj.”
[5] Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah: Analisis Perbandingan Hukum Antara Sunni dan Syi’ah, cet. I (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hlm. 18.
[6] Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. cet. I (Yogyakarta:  Darussalam, 2004), hlm. 89.
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Mutiara Hadits, cet. I (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2003), V, hlm. 13.
[8] Dr. Izzudin Husain as-Syekh, Menyikapi Hadits-Hadits yang Saling Bertentangan: Hadits-Hadits Nasikh Mansukh, alih bahasa Wajidi Sayadi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 106-108.
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, cet. II, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), VIII, hlm. 68-77.
[10] Anonim, 31 Permasalahan Agama, alih bahasa M. Sirojuddin Iqbal, cet. I, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 60-66.
[11]  Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah, hlm. 1-151.

Lihat Bab II, silahkan klik disini

Lihat Bab III, silahkan klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar