MAKALAH
ILMU TASAWUF
” IBN ‘ARABI DAN PAHAM WAHDAH
AL-WUJUD“
DI
SUSUN OLEH :
AHMAD SHOLIHIN
MUTTAQIN
NIM.
UT. 06.0741
DOSEN PENGAJAR
:
JAMALUDDIN,
M.Ag
ISTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
SULTHAN THAHA
SAIFUDDIN JAMBI
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS DAN
DAKWAH/KPI
ًًََ2007
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrahim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, berkat
rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada Kami,
sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan dengan tugas
yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Ilmu Tasawuf” yang berjudul “Ibn
‘Arabi Dan Paham Wahdah al-Wujud” dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima kritik dan saran
dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun guna perbaikan
kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Semoga makalah ini bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa,
khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan
yang diberikan.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, 31 Mei 2007
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Pendahuluan
A.
Latar Belakang 1
B.
Pokok Masalah 1
Pembahasan
1.
Biografi Ibn ‘Arabi 2
2.
Wahdah al-Wujud 5
Penutup
A.
Kesimpulan 10
B.
Saran
10
Daftar Pustaka 11
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam ilmu tasawuf
banyak terdapat sufi-sufi Islam yang sangat terkenal, baik dari belahan dunia
maupun di Indonesia
sendiri. Dan salah satu sufi yang terkenal adalah Muhyididin Ibn ‘Arabi. Di
kalangan para penulis banyak terdapat perbedaan dalam menceritakan tentang
riwayat hidupnya. Ibn ‘Arabi ini terkenal dengan paham atau ajaran sufinya yang
disebut wahdah al-wujud. Oleh karena itu penyusun akan menetengahkan
paham tersebut di dalam makalah ini.
B.
Pokok Masalah
Wahdah al-Wujud
merupakan paham yang dianut oleh salah satu sufi yang bernama Muhyiddin Ibn
‘Arabi. Yang mana paham ini telah beliau kembangkan dari paham hulul yang
dianut oleh Abu al-Mugis al-Husain bin mansur bin Muhammad al-Baidawi dan lebih
dikenal dengan nama al-Hallaj. Namun Ibn ‘Arabi mengubah nasut yang ada
pada paham hulul menjadi khalq dan lahut menjadi haqq.
Jadi, di dalam makalah ini penyusun akan menguraikan apa itu wahdah al-Wujud
yang dibawa oleh Ibn ‘Arabi.
PEMBAHASAN
1. Biografi
Ibn 'Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Ibn 'Arabi Ibn Ali Abu
Bakar, lahir di Mercia –
Spanyol tahun 560/1164 M.[1] Ada juga yang menyebutkan
Abu Bakr Muhammad bin Muhyiddin al-Hatimi al-Ta'I al-Andalusi. Di Andalusi
(barat) dikenal dengan nama Ibn 'Arabi (bukan Ibn al-'Arabi). Di samping itu,
dia biasa juga disebut dengan al-Qutb, al-Gaus, al-Syaikh al-Akhbar atau
al-Kibrit al-Ahmar.[2]
Dia lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1163 M di Mercia dan meninggal pada tanggal 28 Rabi'ul Akhir
638 H/16 November 1240 M.
Mengenai riwayat hidup Ibn Arabi ini terdapat dua
pendapat yang berbeda, yaitu :
1.
Ibn 'Arabi berasal dari keluarga berpangkat, hartawan
dan ilmuwan di Mercia ,
Andalusia Tenggara. Ketika berumur delapan tahun, ia dan keluarganya pindah ke
Sevilla, tempat dimana dia mulai menuntut ilmu dan belajar al-Quran, hadits dan
fiqh bersama sejumlah murid pada seorang faqih terkenal di Andalusia
yang bernama Ibn Hazm az-Zahiri. Setelah berumur 30 tahun mulailah dia
berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan
kawasan Islam bagian barat. Di berbagai daerah ini, dia belajar kepada beberapa
orang sufi, di antaranya Abu Madyan al-Gaus at-Talimsari. Kemudian selama
beberapa waktu dia pergi bolak-balik/ mondar-mandir antara Hijaz, Yaman,
Syiria, Irak dan Mesir. Akhirnya pada tahun 620 Hijriyah dia menetap di Hijaz
hingga akhir hayatnya. Makamnya sampai saat ini tetap terpelihara dengan baik
di sana .[3]
2.
Ibn 'Arabi berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab
al-Hatimi yang pada umumnya terdiri dari keluarga-keluarga saleh. Orang tuanya
sendiri adalah seorang sufi yang punya kebiasaan berkelana. Pada usia delapan
tahun, Ibn 'Arabi sudah merantau ke Lissabon
untuk belajar agama dari seorang ulama yang bernama Syekh Abu Bakar bin Khalaf.
Selesai belajar ulumul Quran dan hukum Islam, ia pindah lagi ke Sevilla yang
pada masa itu merupakan pusat pertemuan para sufi di Spanyol. Ia menetap di sana selama 30 tahun untuk
memperluas pengetahuan di bidang Hukum Islam dan Ilmu kalam serta mulai belajar
tasawuf. Dari Sevilla ia berkunjung ke Cordoba
dengan tujuan utama untuk menimba ilmu dari Ibn Rusyd, kunjungan ini biasanya
ia lanjutkan ke wilayah Tunisia
dan Maroko. [4]
Pada
tahun 1201/598 H Ibn ‘Arabi meninggalkan Spanyol karena situasi politik pada
masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf yang dianutnya tidak disukai
di kawasan itu. Barangkali dengan tujuan utama untuk ibadah haji, ia berangkat
menuju kawasan timur. Di kawasan Saudi ternyata ia diterima penguasa dan
masyarakat dengan baik. Akan tetapi ia tidak menetap dikota suci itu, karena ternyata
pengembaraannnya berakhir di Damaskus sebagai tempat menetapnya sampai
meninggal tahun 1240 M/638 H dan dimakamkan di kaki gunung Qasiyun.[5]
Boleh dikatakan, Ibn 'Arabi telah sampai di puncak
ajaran "kesatuan wujud" yang tumbuh dikalangan ahli sufi dalam Islam.[6] Dia
termasuk salah seorang pemikir besar Islam. Beberapa pemikir Eropa, antara lain
Dante, terpengaruh oleh pemikirannya, sebagaimana dikemukakan Asin Palacios
dalam salah satu kajiannya. Pemikirannya juga berpengaruh pada sufi sesudahnya,
baik di Timur maupun di Barat.[7]
Di dalam
Concise Encyiclopaedia of Arabic Civilization disebutkan jumlah karya
Ibn 'Arabi mencapai 300 buah, dan hanya 150 buah yang dapat dijumpai. Dari
semua itu hanya sebagian kecil yang diterbitkan; dan dari buku-bukunya yang
dapat ditemui hingga sekarang ada dua buah yang sangat terkenal yang
menggambarkan corak ajaran tasawufnya, yaitu al-Futuhat al-Makiyyah dan Fusus
al-Hikam.[8]
Dr. Muhammad Yusuf Musa mengatakan, kitab al-Futuhat dan Fusus
merupakan sumber utama bagi siapa yang ingin mengkaji ajaran tasawuf Ibn
'Arabi. Menurut Ibn 'Arabi, kitabnya al-Futuhat al-Makiyyah adalah "imla"
dari Tuhan dan kitabnya Fusus al-Hikam adalah pemberian Rasulullah SAW.[9]
2. Wahdah
al-Wujud
Wahdah al-Wujud berarti kesatuan
wujud. Paham ini adalah lanjutan dari paham hulul[10],
dan dibawa oleh Muhyidin Ibn Arabi. Di samping itu ada beberapa pendapat
tentang pengertiannya.
Menurut Ahmad Amin, arti dari istilah wahdah al-Wujud
itu ialah sesungguhnya alam dan Allah adalah sesuatu yang satu.[11]
Kemudian
Ibrahim Hilal mengatakan, bahwa arti dari istilah dari wahdah al-Wujud
ialah sesungguhnya yang ada ini hanya satu, meskipun banyak ragam dan
bentuknya. Alam dan Allah adalah dua bentuk dalam satu hakikat, Allah SWT. Alam
adalah Allah dan Allah adalah alam. [12]
Dan
Muhammad Yusuf Musa membuat batasan wahdah al-Wujud dengan tidak ada
yang wujud melainkan wujud Allah SWT. Dan sesungguhnya sekalian yang mungkin
adalah manifestasiNya yang terdapat pada seluruh alam ini, tidak pada sebagian
yang lain. Maka tidaklah ada sekalian yang mungkin ini melainkan manifestasi
Allah SWT. Seandainya Dia tidak ada, maka tidaklah ada alam ini.[13]
J.
Spencer Triminghan mendefenisikan wahdah al-Wujud dengan All things
pre-exist an ideas in the knowledge of God, whence they emanate and whither
they ultimately return. [14] (Segala
benda telah ada lebih dahulu sebagai suatu ide dalam pengetahuan Tuhan.
Semuanya melimpah daripadaNya dan akhirnya semua kembali lagi kepadaNya).
Dari keterangan-keterangan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa wahdah al-Wujud adalah suatu paham yang mengakui hanya
ada satu wujud dalam kesemestaan ini, yaitu satu wujud Tuhan. Tuhan adalah alam
dan alam adalah Tuhan, karena alam ini merupakan emanasi Tuhan.
Dalam paham wahdah al-Wujud, nasut (sifat
kemanusiaan) yang ada dalam paham hulul diubah oleh Ibn Arabi menjadi khalq
dan lahut (sifat ketuhanan) menjadi haqq. Khalq (makhluk,
alam) dan haqq (Tuhan) adalah dua aspek yang ada pada segala sesuatu.
Aspek lahirnya disebut khalq dan aspek yang batinnya disebut haqq.[15] Dengan
demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek bathin
atau terdiri dari 'ard dan jauhar. Aspek khalq (luar)
memiliki sifat kemakhlukan atau nasut sedangkan aspek haqq (bathin) memiliki sifat ketuhanan atau lahut.
Tiap-tiap yang bergerak tidak terlepas dari kedua aspek itu, yaitu sifat
ketuhanan dan sifat kemanusiaan. Tetapi aspek haqq dan aspek ini yang
merupakan hakikat/ esensi dari tiap-tiap yang wujud.[16]
Renungan zauq-tasawuf yang didasarkan kepada renungan pikir filsafat
ini, timbul sebagai kelanjutan dari konsepsinya tentang penciptaan makhluk.
Menurut Ibn Arabi, alam ini diciptakan Allah dari ain wujudnya sehingga apabila
Tuhan ingin melihat diri-Nya maka tuhan cukup melihat alam ini yang ada pada
hakikatnya tidak ada perbedaan di antara keduanya. Dengan kata lain, walaupun
pada lahirnya alam ini kelihatan berbeda-beda tetapi pada tiap-tiap yang ada
ini terdapat sifat ketuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi
sesuatu itu. Disinilah timbulnya paham kesatuan wujud dengan pengertian bahwa
alam yang nampak dengan indera yang penuh variasi ini, sebenarnya adalah satu.
Hal ini dapat diibaratkan seperti orang yang melihat bayangannya dalam beberapa
cermin. Betapapun banyaknya bayangan itu, tetapi orangnya adalah satu, sebab
bayangan itu tidak mempunyai substansi. Ibn Arabi berkata lewat syair yang ia
nukilkan dalam al-futuhat;
ياخلق الاشياء فى نفسه – انت لما تخلقه جامع.
تخلق ماينتهى كونه – فيك فانت الضيق الواسع.
Wahai pencipta segala sesuatu dalam diri-Mu, pada-Mu
terhimpun segala yang Engkau jadikan, Engkau ciptakan apa yang ada dengan tak
terbatas dalam diri-Mu, Sebab Engkau adalah yang unik tetapi meliputi
seluruhnya.[17]
Dalam bentuk keterangan lain, paham ini dapat
dijelaskan sebagai berikut. Makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada
wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Allah. Yang berwujud
selain Allah tak akan mempunyai wujud, sekiranya Allah tak ada. Allah-lah yang
sebenarnya mempunyai wujud hakiki. Yang dijadikan hanya mempunyai wujud yang
bergantung pada wujud diluar dirinya, yaitu Allah. Dengan demikian, yang
mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah; sedang wujud yang dijadikan ini pada
hakikatnya hanya bergantung kepada Allah. Jadi yang dijadikan sebenarnya tidak
mempunyai wujud; dan yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan
demikian, pada hakikatnya hanya ada satu wujud, wujud Allah.
Menurut Ibn Arabi, apabila kita melihat wujud ini
banyak jumlahnya, dengan berbagai macam bentuk, sifat, jenis, warna dan lain
sebagainya, yang tidak terhitung, maka hal itu adalah karena kita menggunakan
acuan-acuan indera dan akal semata. Akal dan indera menangkap kesemestaan ini
dalam wujud yang bermacam-macam, sedang orang 'arif menagkap hal itu
dengan zauq sufi; dan karenanya kemestaan ini adalah satu wujudnya,
yaitu Allah SWT.[18]
Jelasnya, menurut Ibn Arabi, realitas wujud ini
hakikatnya tunggal. Sedangkan perbedaan antara zat dan hal – atau antara
haqq, jauhar, zahir dan khalq, 'ard, bathin
hanyalah sekedar pembedaan relative, sementara pembedaan hakiki yang dilakukan
terhadap keduanya adalah akibat pembedaan yang dilakukan oleh akal-budi,
padahal akal budi itu terbatas.
Paham kesatuan wujud Ibn Arabi telah membuat mustahil
untuk mengatakan bahwa "hal yang mungkin" sebagai kebalikan dari
"hal yang wajib". Yang dimaksudkan dengan hal yang mungkin ialah hal
yang ada, baru dan selalu berubah. Dan jika hal itu dipandang dari dirinya
sendiri, maka sebelumnya justru hal itu tidak ada (hal yang mungkin ialah hal
yang diadakan oleh hal yang lain serta padanya pun tergambarkan ada dan tiada);
dan ini, oleh para filosof disebut sebagai "hal yang wajib adanya oleh hal
yang lain" (hal yang wajib adanya oleh hal yang lain, terletak di antara
yang mungkin dan yang wajib), yang keberadaanya perlu dengan yang lain.
Paham kesatuan wujud ini kemudian dikembangkan oleh
sufi-sufi selanjutnya, seperti Ibn Sab'in, yang dipandang lebih tegas ketimbang
Ibn Arabi dalam menegasikan pluralitas maupun menekankan kesatuan. Karena itu,
pendapatnya dikenal sebagai paham kesatuan mutlak (al-wahdah al-mutlaqah).
Juga dikembangkan oleh Ibn Al-farid dengan pahamnya tentang kesatuan penyaksian
(wahdah as-syuhud), 'Abd al-Karim al-Jili dengan pahamnya yang terkenal
dengan manusia paripurna (al-Insan al-kamil) dan lain-lainnya.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ibn ‘Arabi adalah seorang sufi
yang menganut paham wahdah al-wujud. Wahdah al-wujud adalah suatu paham yang
mengakui hanya ada satu wujud dalam kesemestaan ini, yaitu satu wujud Tuhan.
Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan, karena alam ini merupakan emanasi
Tuhan. Dalam paham wahdah al-Wujud, nasut yang ada dalam paham hulul
diubah oleh Ibn Arabi menjadi khalq dan lahut menjadi haqq.
Khalq (makhluk, alam) dan haqq (Tuhan) adalah dua aspek yang ada
pada segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut khalq dan aspek yang
batinnya disebut haqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini
mengandung aspek lahir dan aspek bathin atau terdiri dari 'ard dan jauhar.
Aspek khalq (luar) memiliki sifat kemakhlukan atau nasut
sedangkan aspek haqq (bathin)
memiliki sifat ketuhanan atau lahut..
B.
Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penyelesaian
makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Haq, Ansari, Abd,
Muhammad,. Antara Sufisme dan Syari’ah, Jakarta , PT. RajaGrafindo Persada, cet. II.
1993.
Siregar, Prof. H.
A. Rivay. Tasawuf; Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta ,
PT. RajaGrafindo Persada, cet. II. 2002
[1] Prof. H. A. Rivay Siregar, Tasawuf; Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme,. Cet.II. hlm. 171. Dikutip dari Ibn
'Arabi, Futuhat al-Makiyah, vol.I, al-Maktab al-Arabiyah, Kairo, 1979, hlm. 199.
[2] Dr. Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf,., cet.II. hlm 347.
Dikutip dari Lutfi 'Abd Badi', Islam si Isbaniya, al-
Nahdah al-Misriyah, Cairo ,
1969, hlm 61.
[3] Ibid,. hlm. 348
[6] Dr.
Asmaran As., MA. Op.cit,. hlm. 348. Dikutip dari Muhammad Gallab, al-Ma'rifat
'inda Mufakkiri al-Muslimin, al-Dar al-Misriyah, Cairo , 1996, hlm. 358.
[7] Ibid,. Dikutip dari al-Wafa' al-Ganimi al-Taftazani, Madkhal Ila
al-Tasawwuf al-Islami, Dar al-Saqafah li al-Tiba'ah wa al-Nasyr, Cairo , 1979, hlm. 200.
[8] Ibid.. Dikutip dari Stephan dan Nady Ronart, Concise
Encyclopaedia of Arabic civilization the
Arab East, Amsterdam , Netherlands , 1966, hlm. 49.
[9] Ibid,. hlm. 349. Dikutip dari Abd al-Qadir Mahmud, Al-Falsafah
Al-Sufiyah fi Al-Islam, Dar Al-Fikri Al-Arabi, Cairo,tt., hlm. 310.
[10] Hulul adalah penyatuan sifat ketuhanan
dengan sifat kemanusiaan.
[11] Ibid,. hlm. 172. Dikutip dari Ahmad
Amin, Zuhr Al-Islam, IV, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut , 1969, hlm. 162.
[12] Ibid,. Dikutip dari Ibrahim
Hilal, .Al-Tasawwuf Al-Islami Baina Al-Din wa Al-Falsafah, Dar
Al-Nahditah Al-‘Arabiyah, Cairo ,
1979.
[13] Ibid,. hlm. 173. Dikutip dari
Muhammad Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlaq fi Al-Islam, Muassisah
al-Khaniji, Cairo ,
1965, hlm. 255.
[14] Ibid,. Dikutip
dari J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, Oxford University
Press, New York ,
1973, hlm. 161.
[15] Ibid,. hlm. 174.
Dikutip dari Harun Nasution, Falsafat & Mistisme dalam Islam,. Bulan
Bintang, Jakarta ,
1973, hlm. 92-93.
[16] Prof. H. A. Rivay
Siregar, Op.cit, hlm. 183. Dikutip dari R.A.
Nicholson, The Mistic of Islam, Routledge & Kegan Paul, London , 1966, hlm. 115.
[18] Ibid,. hlm. 176. Dikutip dari Abd. Al-Qadir Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyah
fi Al-Islam, Dar Al-Fikri Al-‘Arabi, Cairo, t.t., hlm. 495-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar