MAKALAH
HADITS
“IKHLAS BERAMAL DAN KEIMANAN”
DI SUSUN OLEH :
A. SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. UT. 060741
DOSEN PENGAJAR :
Drs. KHALILULLAH, M.Ag
FAKULTAS
USHULUDDIN
ISTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN
THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2008
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil
‘Alamin, berkat rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya
kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan
dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Hadits II” yang
berjudul “Ikhlas Beramal dan Keimanan” dengan tujuan untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima
kritik dan saran dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun
guna perbaikan kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita
harapkan.Semoga makalah ini bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa,
khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan
yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, 15 Mei 2008
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………….…………………………………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………...……….….…… ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………..………………..…….…….1
B. Pokok Masalah
………………………………………..……………………1
BAB II PEMBAHASAN
A. Ikhlas Beramal (RS : 1) …………………………………………………..
2
B. Keimanan (LL : 22) … …………....………………………………………
4
C. Keimanan (LL : 36) …………………….………………………………….6
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan …………………………….…………………………………10
- Saran …………………………………………………………………….. 10
DAFTAR PUSTAKA ............……………………………………………...........11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran
dan Sunnah merupakan dasar yang paling pokok dalam agama Islam. Sunnah atau
al-Hadits ialah segala perkataan, perbuatan dan penetapan dari Rasulullah SAW.
Percaya kepada Rasulullah termasuk kedalam rukun Iman, maka wajib hukumnya
untuk mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Sedangkan orang yang telah
menolak hadits Rasulullah SAW merupakan orang-orang yang celaka dan disebut
sebagai kaum Ingkar as-Sunnah.
Rasulullah
semasa hidupnya telah melewati banyak lika-liku kehidupan, baik itu dari segi
positif maupun negatif. Dan kaum muslim pada waktu itu sangat menjunjung tinggi
kenabian Rasulullah. Dalam pada itu jugalah setiap masalah yang terjadi pada
kehidupan sahabat selalu ditanyakan secara langsung kepada Rasulullah SAW.
B. Pokok Masalah
Demi
terfokusnya pembahasan dalam makalah ini, sesuai dengan tugas yang diberikan
oleh Dosen pada mata kuliah Hadits II. Maka, penyusun akan mengetengahkan pembahasan
tentang hadits Rasulullah yang berkaitan dengan keimanan dan keikhlasan dalam
beramal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ikhlas Dalam Beramal (RS :
1)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ
مُسْلِمَةٍ قَالَ اَخْبَرْنَا مَالِكٍ عَنْ يَحْيىَ بْنِ سَعِيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ اِبْرَاهِيْمَ عَنْ عَلْقَمَةِ بْنِ وَقَاصٍ عَنْ اَمِيْرِالْمُؤْمِنِيْنَ
اَبِى حَفْصٍ عُمَرَ يْنِ الْخَطَّابِ بِنْ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدُ العُزَّى بْنِ
رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بِنْ قُرْطِ بِنْ رَزَاحِ بْنِ عَدَىِّ بْنِ كَعْبِ
بْنِ لُؤَىِّ بْنِ غَالِبِ الْقُرَشِىِّ الْعَدَوِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِنَّمَا
اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِ وَمَنْ
كَانَ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا اَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ
اِلىَ مَا هَاجَرَ اِلَيْهِ (متفق عليه)
Artinya :
Telah bercerita kepada kami
Abdullah bin Muslimah berkata telah bercerita kepada kami Malik dari Yahya bin
Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Amirul Mukminin
Abu Khofsin Umar Bin Khotthob bin Nupail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah
bin Qurth bin Razah bin ‘Aday bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Al-Qurays Al Adawy
RA. Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya segala perbuatan
itu berlandaskan niat, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia
niatkan. Maka barangsiapa yang tujuan hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang tujuan hijrahnya
untuk meraih dunia, atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya sebatas apa yang
menjadi tujuan hijrahnya itu”. (Muttafaq ‘Alaih)
Niat menurut bahasa artinya
bertujuan, sedangkan menurut istilah ialah bertujuan untuk mengerjakan suatu
hal yang bersamaan dengan pekerjaannya. Hukum niat adalah fardhu dalam semua
amal ibadah, tempat niat dalam hati, karena itu tidak cukup hanya dengan ucapan
saja sedangkan hatinya lalai dan lupa, seperti yang telah ditegaskan oleh
hadits di atas. Tujuan utama adanya niat ialah untuk membedakan berbagai macam
ibadah antara yang satu dengan yang lainnya, seperti membedakan antara sholat
zhuhur dengan sholat ashar atau niat karena Allah dengan tidak karena Allah
atau pula yang lainnya.
Niat yang Ikhlash ialah
memurnikan ketaatan hanya kepada Allah SWT seakan-akan anda melihat-Nya.
Keistimewaan niat, ibadah menjadi sah karenanya dan membedakannya dari
kebiasaan. Karena sesungguhnya satu hal yang dikerjakan dengan niat maka ia
menjadi ibadah dan tanpa niat menjadi kebiasaan, seperti duduk di dalam masjid
dengan niat i’tikaf dianggap sebagai ibadah, tetapi tanpa niat seumpamanya
hanya untuk istirahat, dianggap sebagai kebiasaan (adat).[1]
Jadi kalimat yang
menyatakan bahwa “Maka barangsiapa yang tujuan hijrahnya untuk meraih dunia,
atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya sebatas apa yang menjadi tujuan
hijrahnya itu” bukanlah itu merupakan perbuatan yang mendapatkan pahala dari
Allah SWT melainkan mendapatkan hal-hal yang dikehendakinya dalam hal dunia
atau apa yang telah diniatkan.
B. Keimanan (LL : 22)
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ
يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكِ بْنِ اَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ
عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ اْلاَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ اَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَاِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ
اْلاِيْمَانِ (متفق عليه)
Artinya :
Dari Abdullah bin Yusuf
berkata telah memberitakan kepada kami Malik bin Anas dari Ibn Syihab dan Salim
bin Abdillah dari ayahnya sesungguhnya Rasulullah SAW melihat seorang dari
golongan Anshor yang menasehati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW
bersabda : “Biarkanlah, sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. (Muttafaq ‘Alaih)
Nabi SAW mengatakan
bahwasanya perasaan malu, yaitu suatu “pekerti menjauhi yang buruk, menghalangi
membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi hak orang yang mempunyai hak”,
adalah suatu suku (bagian) daripada iman.
Sebabnya dikhususkan
sebutan malu sebagai suatu cabang iman adalah karena malu inilah yang menarik
kita untuk melaksanakan cabang-cabang yang lain lantaran dialah yang
membangkitkan kita kepada takut mengalami keaiban di dunia dan keaiban di
akhirat. Barangsiapa memperlihatkan makna malu dan memperhatikan sabda-sabda
Rasul yang berkenaan dengan dia, maka tentulah orang akan memelihara kepala dan
memelihara perut. Orang yang menghendaki akhirat, tentulah meninggalkan
hiasan-hiasan dunia dan mengutamakan akhirat atas dunia. Orang yang berbuat
demikian, itulah orang yang benar-benar malu kepada Allah. Hadits ini dikenal
dengan syu’aibul iman.
Hakikat malu ialah perangai
yang mendorong meninggalkan perbuatan buruk dan menegah kita berlaku ceroboh
terhadap hak orang lain (hak orang yang mempunyai hak). Malu dari menuturkan
kebenaran di hadapan orang yang dimuliakan, dan tidak berani mengerjakan
sesuatu yang baik sebenarnya bukan malu. Malu yang semacam ini pada hakikatnya,
kelemahan dan rendah diri. Orang yang menaminya malu, secara majaz karena
menyerupai malu yang sebenarnya.
Tatkala Nabi mendengar nasihat
orang Anshar kepada saudaranya, Nabi berkata: “Janganlah kamu menghalanginya
berperasaan malau, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”. Nabi
berkata demikian karena sifat malu menghalangi orang mengerjakan maksiat dan
mengerjakan perbuatan-perbuatan jelek dipandang orang, sebagaimana iman
menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandang keji oleh manusia. Lantaran
itulah Nabi menamakan malu dengan iman. Sungguh pun demikian, tidaklah dapat
kita mengatakan bahwa orang yang menghilangkan malu dari dirinya berarti telah
meninggalkan iman dari hatinya, karena malu ini adalah dari hal-hal yang
menyempurnakan iman. Menurut zhohir hadits, orang Anshar itu benar-benar
memandang jelek terhadap saudaranya yang berperasaaan malu. Oleh karena itu
Nabi menandaskan dengan sungguh-sungguh, bahwasanya malu adalah sebagian dari
iman. Nabi juga menandaskan bahwa kebajikan sajalah yang dihasilkan oleh
perasaan malu apabila malu itu ditempatkan pada tempat yang benar.[2]
C. Keimanan (LL : 36)
حَدَّثَنِى مُحَمَّدِ بْنِ الْمُثَنىَّ
حَدَّثَنَا اِبْنُ اَبِى عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةِ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ ذَكْوَانَ عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَزْنِى
الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا
وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ (متفق
عليه)
Artinya :
Telah menceritakan kepadaku
Muhammad bin Al-Mutsanna telah bercerita Ibnu Abu Adi dari Syu’bah dari Sulaiman dari
Zakwan dari Abu Hurairah Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : tidak akan
berzina seorang pelacur diwaktu berzina
hingga ia sedang beriman. Dan tidak akan minum khomar diwaktu minum hingga ia
sedang beriman. Dan tidak akan mencuri seorang pencuri diwaktu mencuri hingga
ia sedang beriman. (Muttafaq ‘Alaih)
Kita sama-sama mengetahui
bahwa orang yang beriman sudah tentu Islam, dan orang Islam belum tentu
beriman. Ini menandakan bahwa iman setiap muslim itu berbeda-beda dan besifat
relativ. Dan hal ini juga memberi pengertian bahwa ketika masih ada iman,
tidaklah ia mau berzina, minum khomar dan mencuri. Dan seorang pezina, peminum
dan pencuri itu tidak dinamai mukmin, karena dia tidak melaksankan tuntunan
iman.
Abu Hasan Ali bin Khalaf
bin Baththal Al-Maliki dalam Syarah bukhori berkata “Mazhab jamaah Ahlus
Sunnah dan golongan salaf dan khalaf, menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan
perbuatan, bisa bertambah dan berkurang”.
Abdur Razzaq berkata “Saya
mendengar dari ulama-ulama yang saya jumpai, seperti Sufyan Ats-Tsaury, Malik
bin Anas, Ubaidillah bin Umar Al-Auza-y, Ma’mar bin Rasyid, Ibnu Juraij dan
Sufyan bin Uyainah berkata : iman adalah ucapan dan perbuatan, kadang bertambah
dan berkurang”.
Demikianlah pendapat Ibnu
Mas’ud, Hudzaifah, An-Nakha-y, Al-Hasanul Bishri, Thaus, Mujahid dan Abdullah
ibnu al-Mubarak. Maka, seseorang berhak mendapat pujian dan wilayah dari para
mukmin, adalah karena melaksanakan ketiga-tiga urusan ini, yaitu membenarkan
dengan hati, mengakui dengan lidah dan mengerjakan dengan anggota tubuh.[3]
Kaitannya dalam hal ini, di
dalam hadits di atas disebutkan bahwa tidak akan berzina seseorang dalam
keadaan beriman. Jadi, bisa dikatakan bahwa iman itu bisa timbul dan bisa
hilang tergantung dari kita yang menjaganya. Sebagai analogi ada sepotong kisah
tentang seseorang muslim yang taat beribadah dan selalu berbuat kebaikan. Pada
suatu saat orang ini melihat seorang tukang tenung yang bisa menghilang dari
suatu tempat dan timbul di tempat yang lain. Timbul niat dihatinya untuk
mempelajari ilmu itu dari si tukang tenung tadi. Ketika bertemu si tukang
tenung berkata kepada seorang muslim yang ahli ibadah itu bahwa syarat untuk
mempelajari ilmu itu sangatlah berat untuknya yaitu buang air kecil di atas
sebuah tumpukan tanah yang berada di tempat kediamannya. Karena memang
betul-betul ingin mendapatkan ilmu itu akhirnya muslim tadi buang air kecil di
tempat yang telah disebutkan oleh ahli tenung itu. Ketika seorang muslim buang
air, tiba-tiba dari kemaluannya keluar sebentuk (sosok) makhluk yang sangat
besar. Kemudian ia bertanya kepada si tukang tenung apa yang tadi itu, kemudian
ia menjawab yang keluar itu adalah imanmu karena telah percaya kepada
perkataanku.
Dari hadits dan analogi di
atas sama halnya dengan berbuat maksiat lainnya seperti meminum minuman khomar,
mencuri, membunuh dan sebagainya itu tidak dalam keadaan beriman. Karena orang
yang beriman adalah orang yang selalu mengerjakan perintah Allah dan Rasul-Nya
serta tidak melaksanakan segala larangan Allah dan Rasul-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa :
1. Niat adalah menyengaja
untuk mengerjakan suatu hal yang bersamaan dengan pekerjaannya. Hukum niat
adalah fardhu dalam semua amal ibadah dan tempat niat adalah di dalam hati.
2. Malu yaitu suatu “pekerti
menjauhi yang buruk, menghalangi membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi
hak orang yang mempunyai hak”, adalah suatu bagian daripada iman.
3. Ketika seseorang masih
mempunyai iman, tidaklah ia mau berzina, minum khomar dan mencuri. Dan seorang
pezina, peminum dan pencuri itu tidak dinamai mukmin, karena dia tidak
melaksankan tuntunan iman.
B. Saran
Penyusun menyadari bahwa
dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena
itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian
demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zakaria Yahya bin
Syarif An-Nawawy. Riyadus Sholihin. (Indonesia )
Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi. Lu’lu’ Wal Marjan terj. (Surabaya . PT. Bina Ilmu. 2003)
Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002)
Syaikh
Mansur Ali NAshif. Mahkota Pokok-pokok
Hadits Rasulullah SAW. (Bandung
: Sinar Baru Algensindo. 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar