MAKALAH
SEJARAH
PERADABAN ISLAM
“PERADABAN ISLAM
DI INDONESIA”
Dosen:
Dr. H. Muhammad
Fadhil, M.Ag
Disusun Oeh
:
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.5.1525
MAHASISWA PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA
SAIFUDDIN
JAMBI
2012
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan
semesta alam dan Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Dan tidak lupa penulis menghaturkan
ucapan terima kasih kepada bapak dosen Dr. H. Muhammad Fadhil, MA yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Begitu
pula kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalah ini.
Di dalam makalah ini, penulis
membahas mengenai peradaban Islam di Indonesia yang merupakan sub bahasan dalam
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Tentunya, sebagaimana yang difahami
penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau bersifat relatif,
untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya jika tredapat
kekeliruan.
Harapan penulis, makalah yang
dirangkum dengan pembahasan mengenai Peradaban Islam di Indonesia ini dapat
bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya. Amin.
Jambi, Juni 2012
Penulis,
Ahmad Sholihin Muttaqin, S.Ud
NIM. P.h. 211.2.1525
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
…………………………………………………………………
|
i
|
DAFTAR ISI
|
…………………………………………………………………
|
ii
|
A.
PENDAHULUAN
|
…………………………………………………………………
|
1
|
B.
PEMBAHASAN
|
…………………………………………………………………
|
2
|
1.
Seputar Masuknya Islam ke Indonesia
|
…………………………………………………………………
|
2
|
2.
Peradaban Islam Sebelum Kemerdekaan
|
…………………………………………………………………
|
3
|
3.
Peradaban Islam sesudah Kemerdekaan
|
…………………………………………………………………
|
8
|
C.
PENUTUP
|
…………………………………………………………………
|
11
|
D.
DAFTAR PUSTAKA
|
…………………………………………………………………
|
12
|
PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Saat ini, perkembangan zaman modern telah mempengaruhi
kebudayaan dan peradaban di Indonesia, yang pada prosesnya secara perlahan
budaya di Indonesia tersebut akan mulai dilupakan oleh masyarakat, karena lebih
memilih sistem modern. Dari kajian ini, maka mempelajari sejarah-sejarah masa
lampau di nusantara dipandang perlu apalagi mengenai sejarah peradaban Islam di
Indonesia.
Perlu diketahui, sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan
Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas.
Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara
kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.[1]
Wilayah barat nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah
yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana
menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan
India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di
Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual pada pedagang asing.
Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M
sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di
Sumatera, (Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa).[2]
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke
kepuluan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad I H), ketika Islam
pertama kali berkembang di Timur Tengah.
Dalam pada itu, untuk mengkaji kembali sejarah dan peradaban
tersebut, maka perlu disusun suatu tulisan yang membahas tentang masalah
peradaban Islam di Indonesia. Salah satu bentuk tulisan itu adalah penulisan
makalah ini, yang diharapkan mampu memberikan informasi secara singkat tentang
peradaban Islam di Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1.
Seputar Masuknya
Islam ke Indonesia
Asal-usul Islam di nusantara serta para pembawanya menjadi
perdebatan dikalangan para sejarawan Indonesia. Setidaknya ada tiga teori
mengenai asal-usul Islam di Nusantara yaitu:
1. Teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah
Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim, sekitar abad ke-13 M.
2. Teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari
Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim, sekitar abad ke-7 M.
3.
Teori Persia.
Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam
perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara, sekitar abad ke-13 M.[3]
Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah
Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim
di pantai Barat Sumatra (Barus). Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk
ke wilayah kerajaan Sriwijaya.[4]
Pada tahun 718 M raja Sriwijaya Sri Indrawarman setelah kerusuhan Kanton
juga masuk Islam pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah).[5] Melalui Kesultanan Tidore yang juga
menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, jangkauan terjauh penyebaran Islam
sudah mencapai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.[6]
Teori Islam masuk ke Indonesia abad 13 melalui Pedagang
Gujarat adalah tidaklah benar, apabila benar maka tentunya Islam yang akan
berkembang kebanyakan di Indonesia adalah aliran Syiah karena Gujarat pada masa
itu beraliran Syiah, akan tetapi kenyataan Islam di Indonesia didominasi Mazhab
Syafi'i. Sanggahan lain adalah bukti telah munculnya Islam di masa awal dengan
bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082 M) di Gresik.[7]
2. Peradaban Islam Sebelum Kemerdekaan
Teori Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-1 Hijriyah atau abad ke-7
sampai abad ke-8 Masehi, ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan
seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat
Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir
Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke
negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap
disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke 13 di
anggap sebagai awal masuknya agama Islam ke Indonesia.
Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah pesisir Utara pulau
Sumatera, yaitu di Peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan
kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa
kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan
Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.
Pada permulaan abad ke-16 M dengan masuk Islamnya penguasa kerajaan
Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama Islam hampir meliputi
sebagai besar wilayah Indonesia.
Pada tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke nusantara untuk
berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini.
Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir
seluruh wilayah nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang
menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi: Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.[8]
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi: Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.[8]
Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar
ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang
pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda
membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan
dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut
dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap
kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi
pematangan pejuangan terhadap penjajahan.[9]
Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh
Jamal al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar
di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara
mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam
yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan
seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915).
Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di
Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan
al-Munir.[10]
Sejak pertengahan abad ke-19, agama Islam di Indonesia secara bertahap
mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang singkretik (mistik). Setelah
banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan dengan Mekkah dengan cara
menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun
lamanya.
Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum
kemerdekaan, yakni :
a.
Pada Masa
Kesultanan
Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah
daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama Islam
secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik
penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam telah
menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Di kerajaan tersebut agama Islam
tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaitu banyaknya
nama-nama Islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman. Adapun
kerajaan tersebut, diantaranya:
1)
Kerajan Islam Samudra Pasai
Tak pelak lagi, pulau
Sumatera merupakan daerah nusantara yang paling awal melakukan kontak dengan
para saudagar muslim. Sebelum sampai di Cina, para pedagang dari Arab, Persia
dan India singgah dipelabuhan-pelabuhan disepanjang pantai sumatera. Seiring
melemahnya dominasi Sriwijaya pusat-pusat pelabuhan dagang bergeser kearah
utara.
Catatan Ibnu
Batutah pada tahun 1345 M menyebutkan, bahwa ketika ia mengunjungi Pasai, pada
saat itu raja yang berkuasa bernama Malik al-Zahir, menurut Batutah raja ini
betul-betul menampakkan citra sebagai seorag raja Islam. Dia gemar bertukar
fikiran dengan para ahli fikih dan ushul. Sehingga istananya ramai dikunjungi
para cendikiawan dari berbagai negeri. Kerajaan Pasai berdiri hingga tahun 1524
M. Pada tahun 1521 kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis. Setelah itu sejak
tahun 1524 dan seterusnya kerajaan Samudera Pasai berada dibawah kerajaan Aceh
yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
2)
Kerajaan Islam Demak
Tidak diketahui
secara pasti waktu pendirian kerajaan Islam Demak. Yang jelas kerajaan demak
diakui sebagai kerajaan islam pertama di Jawa. Secara luas diakui pula bahwa
kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah (1500-1518 M). Mulanya, ia adalah
orang bawahan majapahit yang menjabat adipati di Bintoro, Demak. Dengan bantuan
daerah-daerah lain yang yang sudah lebih dulu menganut Islam, sepertio Gresik,
Tuban, dan Jepara. Raden Fatah secara terang-terangan memutuskan
ikatan dengan majapahit, yang kala itu mengalami masa kemunduran. Dan
mendirikan kerajaan yang terletak di kota Demak sehingga lebih dikenal dengan
nama kerajaan Demak.
Selain itu, ada juga kerajaan Banjar, yang mana dengan masuk Islamnya
raja Banjar, perkembangan Islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja
menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada
kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit
kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan
Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan
Tasawuf.
Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan Jawa, ia
banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama
Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling
tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah
berjasa dalam pengembangan agama Islam di pulau Jawa.
Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdul Gani dikabarkan
bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah
mendengar penjelasan Sunan Ampel dan Sunan Giri, maksud agama Islam dan agama
Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak
melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama Islam), asalkan
dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.
b. Pada Masa Penjajahan
Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak
dengan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama Islam, kaum
pedagang barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan
terutama dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada
persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan
kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya
mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya
dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah Islam, karena mereka
belum mengetahui ajaran Islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem sosial
Islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para
bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan
untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
Tahun 1820 dibuatlah statsblaad untuk mempertegaskan instruksi
ini. Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya
instruksi kepada bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak
melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada
tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya
menangani perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi
penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat
kebijaksanaan mengenai masalah Islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai
pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia
mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islamnya. Dengan politik
itu, ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan
kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan agamanya
sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum Islam
baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adat kebiasaan.
c. Bidang politik
Orang Islam
dilarang membahas hukum Islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan
tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.[11]
c. Pada Masa Kemerdekaan
Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah
bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan
dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat Islam Indonesia
pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.
Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi
Islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi Islam. Sebagai
kekuatan moral dan budaya, Islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada
kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.
Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, Islam sebagai kekuatan
ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan
politik perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, Islam
telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks,
terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya Islam
diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.[12]
3.
Peradaban Islam
Sesudah Kemerdekaan
a. Pra Kemerdekaan
Ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan
begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi
dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan
organisasi. Seperti:
1) Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)
2) Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama (1926)
3) Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia (1927)
4) Partai Komunis Indonesia (1914)
Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatas masih ada organisasi Islam
lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:
1) Jamiat Khair (1905)
2) Persyarikatan Ulama (1911)
3) Persatuan Islam (1920)
4) Partai Arab Indonesia (1934)
Organisasi pembaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas,
adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama
yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islam Ala Indonesia (Majelis Islam Tertinggi di Indonesia) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islam Ala Indonesia (Majelis Islam Tertinggi di Indonesia) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh
pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :
1) Shumubu, yaitu Kantor
Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang
dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
2) Masyumi, Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan
MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain
untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan
bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
3) Hizbullah, (Partai
Allah atau Angkatan Allah) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda
muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal
bakal Tentara Nasional Indonesia
(TNI).[13]
b. Pasca Kemerdekaan
Organisasi-organisasi yang muncul pada masa sebelum kemerdekaan masih
tetap berkembang di masa kemerdekaan, seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama,
Masyumi dan lain lain. Namun ada gerakan-gerakan Islam yang muncul sesudah
tahun 1945 sampai akhir Orde Lama. Gerakan ini adalah DI/TII yang berusaha
dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita negara Islam Indonesia.
Gerakan kekerasan yang bernada Islam ini terjadi diberbagai daerah di
Indonesia diantaranya :
1)
Di Jawa Barat, pada
tahun 1949 – 1962
2)
Di Jawa Tengah, pada
tahun 1965
3)
Di Sulawesi,
berakhir pada tahun 1965
4)
Di Kalimantan,
berakhir pada tahun 1963
5)
Dan di Aceh, pada
tahun 1953 yang berakhir dengan kompromi pada tahun
1957.[14]
C. PENUTUP
Dari penjelasan diatas, dapatlah diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Ada beberapa teori mengenai masuknya Islam ke Indonesia. Pertama;
Teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India
melalui peran para pedagang India muslim, sekitar abad ke-13 M. Kedua; Teori
Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui
jasa para pedagang Arab muslim, sekitar abad ke-7 M. Ketiga; Teori
Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang
dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara, sekitar abad ke-13
M.
2. Peradaban Islam sebelum kemerdekaan terbagi kepada beberapa frase,
yaitu pada masa kesultanan, seperti kerajaan samudra pasai, kerajaan demak,
pada masa penjajahan dan pada masa kemerdekaan.
3. Peradaban Islam sesudah kemerdekaan yaitu pada masa pra
kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
Sebagai
penutup, penulis mengakui adanya kekurangan dalam makalah ini, untuk itu
penulis mengharapkan tanggapan yang berbentuk kritik, saran dari para pembaca.
D. DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet-23, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011).
Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2009).
G.F.P
Ijper, Sejarah Islam di Indonesia, alih bahasa Tudjimah Yessy Augusdin, (Jakarta:
UI-Pres, 1950).
Muhadi Zainudin
dan Abd Mustaqim, Studi Kepemimpinan
Islam, (Putra Mediatama Press, 2008).
Musyfah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grapindo Persada, 2005
Taufik
Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indoenesia, (Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 1991.
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, Cet-23, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2011), hlm. 191 dikutip dari Marwati Djoened Poesponegoro
dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1984), hlm. 2.
[2]
Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indoenesia, (Jakarta: Majelis
ulama Indonesia, 1991), hlm. 34.
[3]
Musyfah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grapindo
Persada, 2005), hlm. 7
[4]
Badri Yatim, Op.cit, hlm. 196
[5]
Taufik Abdullah, Op.cit, hlm. 36.
[6]
Musyifah Sunanto, Op.cit, hlm. 9
[7]
Ibid, hlm. 10
[8]
Ibid, hlm. 12
[9]
G.F.P Ijper, Sejarah Islam di Indonesia, alih bahasa Tudjimah Yessy
Augusdin, (Jakarta: UI-Pres, 1950), hlm. 44
[10]
Ibid,.
[11]
G.F.P Ijper, Op.cit, hlm. 44
[12]
Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2009), hlm.
187
[13] Ibid.,
hlm. 188
[14] Ibid.,
hlm. 190
Tidak ada komentar:
Posting Komentar