Rabu, 04 Oktober 2006

LARANGAN NIKAH MUT'AH

LARANGAN NIKAH MUT’AH

1.           Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنِ اِسْمَاعِيْلَ حَدَّثَنَا اِبْنُ عُيْنَةَ اَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُوْلُ اَخْبَرَنِى الحَسَنُ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَاَخُوْهُ عَبْدٌالله عَنْ اَبِيْهَا اَنَّ عَلِيًّا رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ ِلا بْنِ عَبَّاسٍ : اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :نَهى عَنِ الْمُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَوَعَنْ اَكْلِ الْحُمْرِ الإِنْسِيَّةِ )رواه البخارى ومسلم(
Artinya :
Telah bercerita kepada kami Malik bin Ismail, telah bercerita pada kami Ibnu Uynah; sesungguhnya Az-Zuhri mendengar perkataan Hasan bin Muhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah dari ayahnya, Sesunguhnya Ali RA berkata kepada Ibn Abbas: Sungguh Rasulullah SAW melarang Nikah Mut’ah (nikah yang sementara waktu) pada waktu perang Khaibar dan juga melarang memakan daging keledai kampung. (HR. Bukhori dan Muslim)

2.           Keyword (kata kunci)
1.  نَهى  (nahaa) adalah kalimat fi'il madhi yang berarti telah melarang.  mudori'nya   يَنْهى  dan masdarnya  نَهْيًا.    
2.مُتْعَة  (mut’ah) adalah kalimat isim yang berarti kenikmatan/  kesenangan        sama seperti      تَمَتُّعْ   dan    اِسْتِمْتَاعْ                  

3.           Analisis
Dari hadits di atas dijelaskan bahwa Rasulullah SAW ketika perang khaibar  melarang untuk nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang ditentukan batas waktunya, bisa seminggu, sebulan, dan tidak ada saling mempusakai antara suami dan istri. Mereka bercerai dengan sampainya waktu yang telah ditentukan tanpa perlu menjatuhkan talak.  Dinamai juga ziwaj mu’aqqat (nikah yang terbatas waktunya), ziwaj munqathi’ (nikah yang terputus) atau di Indonesia sering juga disebut dengan kawin kontrak.
Namun setelah diteliti dalam hadits yang lain Rasullullah SAW membolehkan nikah mut’ah ini, di antaranya :
Ø Abdullah bin Mas’ud berkata :
كُنَّا نَغْزُو مَعَ النَّبِى صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ, فَقُلْنَا: اَلاَ نَخْتَصِى؟ فَنَهَانَا عَنْ ذًالِكَ, فَرَخَّصَ لَنَا بَعْدَ ذَالِكَ اَنْ نَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ ثُمَّ قَرَأَ-يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تُحَرِّمُوْا طَيِّبَاتِ مَااَحَلَّ اللهُ لَكُمْ
Artinya :
Kami pergi berperang bersama-sama Nabi SAW, dan tidak membawa istri kami. Karena itu kami bertanya; apakah tidak lebih baik kami mengebirikan diri kami? Rasulullah melarangnya. Kemudian Rasulullah membolehkan kami menikahi perempuan dengan sekerat kain (untuk batas tertentu). Sesudah itu beliau membaca: Ya ayyuhal ladzina amanu la tuharrimu thayyibati ma ahallallahu lakum = wahai para mukmin yang beriman jangan kamu mengharamkan yang baik-baik, yeng telah dihalalkan Allah untuk kamu”.
(HR. Bukhori Muslim)
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Sidieqi dalam bukunya Mutiara Hadits menjelaskan tentang hadits di atas bahwa beberapa sahabat pergi berperang beserta Rasul tanpa didampingi istri. Karena itu mereka berunding untuk mengebirikan diri. Setelah Nabi mengetahui keinginan mereka, Nabi pun melarang mereka mengebirikan diri, karena hal itu berarti melawan kodrat, menyiksa diri serta memutuskan tali keturunan.
Ø Jabir dan Salamah bin al-Akwa’ berkata :
كُنَّا فِى جَيْسٍ, فَأَتَانَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا: اِنَّهُ قَدْ اُذِنَ لَكُمْ اَنْ تَسْتَمْتِعُوْا, فَاسْتَمْتِعُوْا.
Artinya :
Kami berada dalam satu pasukan, maka pesuruh Rasulullah SAW datang kepada kami dan berkata: Sesungguhnya Rasulullah telah mengizinkan kamu mengawini perempuan secara terbatas. Karena itu berbuatlah seperti itu. (HR. Bukhori dan Muslim)
Maksud hadits ini pun sama dengan hadits yang pertama bahwa para sahabat dalam salah satu peperangan mendapat izin dari Nabi untuk bernikah mut’ah karena itu mereka pun melakukannya.
Riwayat-riwayat mengenai masalah ini berbeda satu sama lainnya. Ada yang menerangkan bahwa nikah mut’ah diharamkan pada peperangan Khoibar. Ada yang mengatakan pada peperangan Tabu’. Tetapi perbedaan riwayat tentang saat Nabi melarangnya, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah.


Hadits-hadits yang membolehkan nikah mut’ah oleh segolongan sahabat, diantaranya Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Salamah dan Jabir. Riwayat-riwayat itu semua menerangkan bahwa kejadian nikah mut’ah adalah di saat menghadapi peperangan.
Sedangkan Sabrah Ibnu Ma’bad Al-Juhary mengatakan bahwa di haji wada’, kemudian Nabi mengharamkannya hingga hari kiamat. Sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi :
يَآاَيُّهَاالنَّاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ بِالاِسْتِمْتَاعِ مِنْ هذِهِ النِّسَاءِ, اَلاَ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ اِلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْ ذَالِكَ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهَا وَلاَ تـَــأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا
Artinya :
Hai manusia, sungguh aku mengizinkan mengambil kesenangan (istimta’) dengan perempuan ini. Ketahuilah, sesungguhnya Allah mengharamkan yang demikian itu sampai hari kiamat. Maka barangsiapa yang berbuat sesuatu mengenai hal itu maka hendaklah dia melepaskannya, dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka”.

Asbabul wurudnya ialah Sabrah berkata : “Kami bersama Nabi SAW dalam haji wada’. Ketika kami tiba di Mekah kami bertahallul. Carilah olehmu kesenangan karena tahallul ini dengan istri (mu). Maka kami mencari perempuan (untuk bersenang-senang) namun mereka menolak dinikahi kecuali sampai masa tertentu. Maka kami sebutkan hal itu kepada Rasulullah SAW, Beliau bersabda : “Hendaklah kalian tetapkan batas waktu antara kamu dengan mereka. Maka aku keluar dengan seorang anak pamanku. Aku dan dia sama-sama memiliki baju (burdah) namun bajunya lebih baik dari bajuku, padahal aku lebih muda. Kami berjumpa dengan seorang perempuan yang merasa kagum dengan baju sahabatku, sedangkan perempuan itu mengagumi kegantenganku. Perempuan itu berkata “pakaian itu seperti bau”. Maka aku langsung menikahinya dan aku tetapkan jangka waktu perkawinan itu selama sepuluh hari. Maka aku bermalam  bersamanya pada malam itu. Kemudian, besok paginya, tiba-tiba Rasulullah berdiri antara pintu dan tiang rumah dan berkhutbah di hadapan manusia dengan sabdanya: “Wahai manusia …..dst”.
Menurut analisis saya tentang nikah mut’ah ini adalah pada awalnya (sebelum perang khaibar) nikah mut’ah itu dibolehkan sebagaimana hadits : ……….. كُنَّا نَغْزُو مَعَ النَّبِى, kemudian ketika perang khoibar hadits itu dinasikh (dihapus) oleh hadits ………… نَهى عَنِ الْمُتْعَةِ , Lalu dibolehkan lagi ketika perang tabu’ ……. اِنِّى كُنَّا فِى جَيْسٍ  , akhirnya diharamkan kembali pada waktu haji wada’ sampai hari kiamat ….…...  يَآاَيُّهَاالنَّاسُ
Agar lebih difahami saya akan menjelaskan analisis di atas secara terperinci. pertama; ketika menghadapi suatu perang, Nabi membolehkan nikah mut’ah, kedua; ketika perang khoibar pada tahun 6 Hijrah Nabi mengharamkannya. ketiga; pada perang tabu’ yang terjadi pada tahun 9 Hijrah nikah mut’ah dibolehkan lagi oleh Nabi keempat; pada peristiwa haji wada’ tahun 10 Hijrah, disinilah Nabi mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat.
Pada awalnya saya tidak meyakini hal yang seperti ini, tidak mungkin Allah SWT melakukan dua kali penghapusan hukum, namun setelah di analisis lebih dalam hal ini persis dengan pemahaman Asy-Syafi’I yang secara zhohir tentang nikah mut’ah ini, beliau berkata; “Saya tidak mengetahui ada sesuatu yang dihalakan Allah kemudian diharamkanNya, kemudian dihalalkanNya lagi dan akhirnya diharamkanNya kembali, selain daripada nikah mut’ah”.
Nikah mut’ah ini menurut aliran Syi’ah dan Imamiyah itu dibolehkan karena menurut mereka tidak ada ditemukan suatu hadits yang menasakhkan hukum tersebut.
Menurut saya tujuan nikah bukanlah sekedar menyalurkan nafsu syahwat saja tetapi juga memperoleh keturunan, menyambung tali silaturrahmi antara kedua belah pihak keluarga dan yang terpenting menjalankan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW. Jadi yang membolehkan nikah mut’ah (kawin kontrak) pada saat ini berarti menjadikan perempuan seperti  barang dagangan yang bisa diperjual belikan.

4.          Kesimpulan
Nikah mut’ah adalah nikah yang ditentukan batas waktunya, bisa seminggu, sebulan, dan tidak ada saling mempusakai antara suami dan istri. Mereka bercerai dengan sampainya waktu yang telah ditentukan tanpa perlu menjatuhkan talak.  Dinamai juga ziwaj mu’aqqat (nikah yang terbatas waktunya), ziwaj munqathi’ (nikah yang terputus) atau di Indonesia sering juga disebut dengan kawin kontrak.

Berdasarkan hadits yang ada, pada awalnya nikah mut’ah ini dibolehkan kemudian dimansukhkan oleh hadits lain yang mengharamkannya ketika perang khoibar (6 Hijrah), Lalu dibolehkan kembali pada perang tabu’ (9 Hijrah) dan akhirnya ketika Rasul mengerjakan haji wada’ (10 Hijrah) nikah mut’ah diharamkan sampai saat ini dan sampai akhir kiamat .






والله اعلم بالصواب

š  lee_hyn