Laman

Jumat, 22 Mei 2009

RASA MALU

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Al-Quran dan Sunnah merupakan dasar yang paling pokok dalam agama Islam. Sunnah atau al-Hadits ialah segala perkataan, perbuatan dan penetapan dari Rasulullah SAW. Percaya kepada Rasulullah termasuk kedalam rukun Iman, maka wajib hukumnya untuk mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Sedangkan orang yang telah menolak hadits Rasulullah SAW merupakan orang-orang yang celaka dan disebut sebagai kaum Ingkar as-Sunnah.
Rasulullah semasa hidupnya telah melewati banyak lika-liku kehidupan, baik itu dari segi positif maupun negatif. Dan kaum muslim pada waktu itu sangat menjunjung tinggi kenabian Rasulullah. Dalam pada itu jugalah setiap masalah yang terjadi pada kehidupan sahabat selalu ditanyakan secara langsung kepada Rasulullah SAW.

B.  Pokok Masalah
Demi terfokusnya pembahasan dalam makalah ini, sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah Hadits III. Maka, penyusun akan mengetengahkan pembahasan tentang hadits Rasulullah yang berkaitan dengan rasa malu yang merupakan sebagian dari iman.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hadits
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكِ بْنِ اَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ اْلاَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ اَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَاِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلاِيْمَانِ (رواه البخارى)
B.  Artinya
Dari Abdullah bin Yusuf berkata telah memberitakan kepada kami Malik bin Anas dari Ibn Syihab dan Salim bin Abdillah dari ayahnya sesungguhnya Rasulullah SAW melihat seorang dari golongan Anshor yang menasehati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Biarkanlah, sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. (Muttafaq ‘Alaih)

C.  Penjelasan
Nabi SAW mengatakan bahwasanya perasaan malu, yaitu suatu “pekerti menjauhi yang buruk, menghalangi membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi hak orang yang mempunyai hak”, adalah suatu suku (bagian) daripada iman. Dan di dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa malu adalah merasa sangat taksenang, rendah, hina,dsb.,karena berbuat sesuatu yang kurang baik; cacat, merasa berkekurangan dsb.
Sebabnya dikhususkan sebutan malu sebagai suatu cabang iman adalah karena malu inilah yang menarik kita untuk melaksanakan cabang-cabang yang lain lantaran dialah yang membangkitkan kita kepada takut mengalami keaiban di dunia dan keaiban di akhirat. Barangsiapa memperlihatkan makna malu dan memperhatikan sabda-sabda Rasul yang berkenaan dengan dia, maka tentulah orang akan memelihara kepala dan memelihara perut. Orang yang menghendaki akhirat, tentulah meninggalkan hiasan-hiasan dunia dan mengutamakan akhirat atas dunia. Orang yang berbuat demikian, itulah orang yang benar-benar malu kepada Allah. Hadits ini dikenal dengan syu’aibul iman.
Hakikat malu ialah perangai yang mendorong meninggalkan perbuatan buruk dan menegah kita berlaku ceroboh terhadap hak orang lain (hak orang yang mempunyai hak). Malu dari menuturkan kebenaran di hadapan orang yang dimuliakan, dan tidak berani mengerjakan sesuatu yang baik sebenarnya bukan malu. Malu yang semacam ini pada hakikatnya, kelemahan dan rendah diri. Orang yang menaminya malu, secara majaz karena menyerupai malu yang sebenarnya.
Tatkala Nabi mendengar nasihat orang Anshar kepada saudaranya, Nabi berkata: “Janganlah kamu menghalanginya berperasaan malau, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”. Nabi berkata demikian karena sifat malu menghalangi orang mengerjakan maksiat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan jelek dipandang orang, sebagaimana iman menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandang keji oleh manusia. Lantaran itulah Nabi menamakan malu dengan iman. Sungguh pun demikian, tidaklah dapat kita mengatakan bahwa orang yang menghilangkan malu dari dirinya berarti telah meninggalkan iman dari hatinya, karena malu ini adalah dari hal-hal yang menyempurnakan iman. Menurut zhohir hadits, orang Anshar itu benar-benar memandang jelek terhadap saudaranya yang berperasaaan malu. Oleh karena itu Nabi menandaskan dengan sungguh-sungguh, bahwasanya malu adalah sebagian dari iman. Nabi juga menandaskan bahwa kebajikan sajalah yang dihasilkan oleh perasaan malu apabila malu itu ditempatkan pada tempat yang benar.[1]


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa malu yaitu suatu “pekerti menjauhi yang buruk, menghalangi membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi hak orang yang mempunyai hak”, adalah suatu bagian daripada iman. Dan di dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa malu adalah merasa sangat taksenang, rendah, hina,dsb.,karena berbuat sesuatu yang kurang baik; cacat, merasa berkekurangan dsb. Tatkala Nabi mendengar nasihat orang Anshar kepada saudaranya, Nabi berkata: “Janganlah kamu menghalanginya berperasaan malau, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”. Nabi berkata demikian karena sifat malu menghalangi orang mengerjakan maksiat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan jelek dipandang orang, sebagaimana iman menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandang keji oleh manusia. Lantaran itulah Nabi menamakan malu dengan iman.

B.  Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Lu’lu’ Wal Marjan terj. (Surabaya. PT. Bina Ilmu. 2003)
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002)





[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, hal. 92-93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar