PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran
dan Sunnah merupakan dasar yang paling pokok dalam agama Islam. Sunnah atau
al-Hadits ialah segala perkataan, perbuatan dan penetapan dari Rasulullah SAW.
Percaya kepada Rasulullah termasuk kedalam rukun Iman, maka wajib hukumnya
untuk mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Sedangkan orang yang telah
menolak hadits Rasulullah SAW merupakan orang-orang yang celaka dan disebut
sebagai kaum Ingkar as-Sunnah.
Rasulullah
semasa hidupnya telah melewati banyak lika-liku kehidupan, baik itu dari segi
positif maupun negatif. Dan kaum muslim pada waktu itu sangat menjunjung tinggi
kenabian Rasulullah. Dalam pada itu jugalah setiap masalah yang terjadi pada
kehidupan sahabat selalu ditanyakan secara langsung kepada Rasulullah SAW.
B. Pokok Masalah
Demi
terfokusnya pembahasan dalam makalah ini, sesuai dengan tugas yang diberikan
oleh Dosen pada mata kuliah Hadits III. Maka, penyusun akan mengetengahkan pembahasan
tentang hadits Rasulullah yang berkaitan dengan rasa malu yang merupakan
sebagian dari iman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits
عَنْ
عَبْدِ اللهِ ابْنِ يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكِ بْنِ اَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ اْلاَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ اَخَاهُ
فِى الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ
فَاِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلاِيْمَانِ (رواه البخارى)
B. Artinya
Dari Abdullah
bin Yusuf berkata telah memberitakan kepada kami Malik bin Anas dari Ibn Syihab
dan Salim bin Abdillah dari ayahnya sesungguhnya Rasulullah SAW melihat seorang
dari golongan Anshor yang menasehati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah
SAW bersabda : “Biarkanlah, sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. (Muttafaq ‘Alaih)
C. Penjelasan
Nabi
SAW mengatakan bahwasanya perasaan malu, yaitu suatu “pekerti menjauhi yang
buruk, menghalangi membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi hak orang yang
mempunyai hak”, adalah suatu suku (bagian) daripada iman. Dan di dalam kamus
besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa malu adalah merasa sangat taksenang,
rendah, hina,dsb.,karena berbuat sesuatu yang kurang baik; cacat, merasa
berkekurangan dsb.
Sebabnya
dikhususkan sebutan malu sebagai suatu cabang iman adalah karena malu inilah
yang menarik kita untuk melaksanakan cabang-cabang yang lain lantaran dialah
yang membangkitkan kita kepada takut mengalami keaiban di dunia dan keaiban di
akhirat. Barangsiapa memperlihatkan makna malu dan memperhatikan sabda-sabda
Rasul yang berkenaan dengan dia, maka tentulah orang akan memelihara kepala dan
memelihara perut. Orang yang menghendaki akhirat, tentulah meninggalkan
hiasan-hiasan dunia dan mengutamakan akhirat atas dunia. Orang yang berbuat
demikian, itulah orang yang benar-benar malu kepada Allah. Hadits ini dikenal
dengan syu’aibul iman.
Hakikat
malu ialah perangai yang mendorong meninggalkan perbuatan buruk dan menegah
kita berlaku ceroboh terhadap hak orang lain (hak orang yang mempunyai hak).
Malu dari menuturkan kebenaran di hadapan orang yang dimuliakan, dan tidak
berani mengerjakan sesuatu yang baik sebenarnya bukan malu. Malu yang semacam
ini pada hakikatnya, kelemahan dan rendah diri. Orang yang menaminya malu,
secara majaz karena menyerupai malu yang sebenarnya.
Tatkala
Nabi mendengar nasihat orang Anshar kepada saudaranya, Nabi berkata: “Janganlah
kamu menghalanginya berperasaan malau, karena sesungguhnya malu itu sebagian
dari iman”. Nabi berkata demikian karena sifat malu menghalangi orang
mengerjakan maksiat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan jelek dipandang orang,
sebagaimana iman menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandang keji oleh
manusia. Lantaran itulah Nabi menamakan malu dengan iman. Sungguh pun demikian,
tidaklah dapat kita mengatakan bahwa orang yang menghilangkan malu dari dirinya
berarti telah meninggalkan iman dari hatinya, karena malu ini adalah dari
hal-hal yang menyempurnakan iman. Menurut zhohir hadits, orang Anshar itu
benar-benar memandang jelek terhadap saudaranya yang berperasaaan malu. Oleh
karena itu Nabi menandaskan dengan sungguh-sungguh, bahwasanya malu adalah
sebagian dari iman. Nabi juga menandaskan bahwa kebajikan sajalah yang
dihasilkan oleh perasaan malu apabila malu itu ditempatkan pada tempat yang
benar.[1]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa malu yaitu suatu “pekerti
menjauhi yang buruk, menghalangi membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi
hak orang yang mempunyai hak”, adalah suatu bagian daripada iman. Dan di dalam
kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa malu adalah merasa sangat
taksenang, rendah, hina,dsb.,karena berbuat sesuatu yang kurang baik; cacat,
merasa berkekurangan dsb. Tatkala Nabi mendengar nasihat orang Anshar kepada
saudaranya, Nabi berkata: “Janganlah kamu menghalanginya berperasaan malau,
karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”. Nabi berkata demikian
karena sifat malu menghalangi orang mengerjakan maksiat dan mengerjakan
perbuatan-perbuatan jelek dipandang orang, sebagaimana iman menghalangi manusia
dari perbuatan yang dipandang keji oleh manusia. Lantaran itulah Nabi menamakan
malu dengan iman.
B. Saran
Penyusun menyadari bahwa
dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena
itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian
demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi. Lu’lu’ Wal Marjan terj. (Surabaya . PT. Bina Ilmu. 2003)
Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar