Laman

Minggu, 20 Januari 2013

HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum)

MAKALAH
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum)



Dosen:
Prof. Dr. Sukamto Satoto

oke






Disusun Oeh :
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525





PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2013


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada bapak dosen Prof. Dr. Sukamto Satoto yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Begitu pula kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalah ini.
Di dalam makalah ini, penulis membahas mengenai Hukum Islam di Indonesia yang merupakan masalah yang dipilih untuk melengkapi tugas yang diberikan pada mata kulaiah Teori-teori Hukum. Tentunya, sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya jika terdapat kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang dirangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya. Amin.

Jambi,     Januari 2013

Ahmad Sholihin Muttaqin



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………
ii
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………
iii
BAB I PENDAHULUAN
…………………………………………………………………
1
BAB II PEMBAHASAN
…………………………………………………………………
2
A.      Pemikiran Politik Hukum Islam di Indonesia
....………………………………………………………………
2
B.      Dinamika Politik Hukum Islam di Indonesia
....………………………………………………………………
3
C.      Gagasan Transformasi Hukum Islam di Indonesia


....………………………………………………………………


9
A.      Produk Hukum Islam di Indonesia

………………………………………………………………….

13
BAB III PENUTUP
…………………………………………………………………
17
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………
18
                                                                                                                             








BAB I
PENDAHULUAN

Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan dibalik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan.Baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya.[1]
M. Atho Mudzhar misalnya menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.[2] Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, dimana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat.Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi.Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasionaI. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk meiaksanakannya. Atas dasar itu, tulisan ini akan mengkaji hukum Islam di Indonesia dalam perspektif pemikiran, tradisi, politik hukum dan produk hukum.



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pemikiran Politik Hukum Islam di Indonesia
Ismail Sunny, mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode persuasive source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua, periode authority source di mana setiap orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal apabila dikodifikasikan dalam perundang-undangan nasional.[3]Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya.Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar. Politik hukum masa Orde Baru seperti termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak 1973, 1978, 1983, 1988 dan 1993. Kurun waktu 1973- 1988 pengembangan hukum nasional diarahkan bagi kodifikasi dan unifikasi hukum sesuai kepentingan masyarakat.Bentuk hukum tertulis tertentu dikodifikasikan dan diunifikasikan, terutama hukum yang bersifat ‚netral‛ yang berfungsi bagi rekayasa sosial.Demikian halnya bagi orang Islam, unifikasi hukum Islam memperoleh pengakuan dalam sistem hukum nasional.[4]
Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU Perkawinan No.1/1974 peranan elite Islam cukup dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.[5]Adapun prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak. Pendekatan konsepsinal prosedur legislasi hukum Islam sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi adalah bahwa pemerintah dan DPR memegang kekuasaan di dalam pembentukan undang-undang.Disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sedangkan dalam penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “kecuali executive power, Presiden bersama- sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif power dalam negara.”[6]Berdasarkan pandangan tersebut, maka DPR hendaknya memberi persetujuan kepada tiap-tiap Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah.Hal ini senada dengan penjelasan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kendati DPR tidak harus selalu meyatakan setuju terhadap semua rancangan Undang-undang dari pemerintah. Keberadaan DPR sesungguhnya harus memberikan suatu consent atau kesepakatan dalam arti menerima atau menolak rancangan undang-undang.

B.      Dinamika Politik Hukum Islam di Indonesia
Peralihan kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru ditandai dengan turunnya Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta G30/S/PKI pada tahun 1965.[7] Peristiwa politik tersebut telah berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem politik dan pemulihan keamanan negara.[8]Puncaknya terjadi pada tahun 1966, di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam negeri Indonesia semakin carut marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang pada intinya berisi perintah untuk pemulihan kamanan dan ketertihan nasional, konsolidasi semua aparat militer dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas dan tanggung jawab surat perintah tersebut.[9] Proses politik dalam negeri saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal Soeharto secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemegang kendali atas setiap proses politik. Ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi percepatan dan pemulihan kondisi sosial, politik dan ekonomi saat itu, hingga digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan Juni - Juli 1966. Ketetapan MPRS No, TX/MPRS/1966 menjadi landasan konstitusinal bagi Supersemar dan sekaligus digelarnya Sidang Umum MPRS tahun 1967 berhasil menggusur Soekarno dan kursi kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden oleh MPRS dalam Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.Hal ini telah memuluskan jalan bagi Soeharto untuk naik ke puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi presiden kedua yang ditetapkan dalam ketetapan MPRS No.XLITI/MPRS/1968.[10]
Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh kalangan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang para anggotanya mayoritas beragama Islam.Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung tombak runtuhnya pemerintahan Orde Lama.Pada awal Orde Baru banyak dilakukan perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggungjawab yang warisan Orde Lama.Dengan memakai format politik yang berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk tujuan melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintah yang stabil dan kuat.Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin politik untuk menata kehidupan sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde Baru melalui dua komponen tersebut menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia.[11] Adapun format politik yang tercipta antara lain[12]: Pertama, peranan birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan organisasi sosial politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam wujud lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde Baru.Ketiga, penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa, seperti menerapkan konsep floating mass dan NKK/BKK di lingkungan pendidikan tinggi. Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan (Security Approach) dan pendekatan kesejahteraan (Welfare Approuch) dalam pembagunan sosial politik; kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan yang berbasis korporatis. Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah terjadi di negara-negara Barat. Kiblat pembangunan di Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amenka.Banyak didapatkan kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sementara itu, bagi kalangan Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional.[13] Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia.Hal ini terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam konservatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim Orde Baru.Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi urnat Islam untuk tetap memainkan perannya daam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun 1970-an.[14]
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara.Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif.Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru.Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.[15]
Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945.[16]
Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan hukum Islam di Indonesia kesempatan umat Islam untuk mendapatkan hak-haknya pada pola hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang begitu lemah, seperti ketika merumuskan UU Perkawinan No.1 tahun 1974, aliran kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), isu ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras (SARA), isu kristenisasi dan kebijakan ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam atas UU Perkawinan No.1/1974 yang disusul dengan PP No.9/1975, dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk menggeser Hukum Islam dan akar tatanan sosial masyarakat Islam di Indonesia.[17]
Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang  tidak harmonis berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde Lama Islam lebih nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik Masyumi, tegas berhalapan dengan ideologi nasionalis sekuler (PNI Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI, selanjutnya pada masa Orde Baru Islam terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai Masyumi. Hal ini terjadi karena kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam merespon munculnya kembali kuatnya ideologi Islam politik.Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak- hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU Perkawinan No.1/1974 yang kemudian disusul dengan PP No.9/1975.Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No.28/1977.Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama resmi yang diakui negara.Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-undang Peradilan Agama (RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.[18]
Kemudian pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan.Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam harus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru.[19] Melalui pendekatan strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil Islam dan militer.
Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara.Tercatat realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyalcini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UUPA No.7/1989 sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalarn UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14/1970, disusul dengan UU Perbankan No.10/1998 (pengganti UU No.7/1992), UU Zakat No.38/ 1999, KHI Inpres No.1/1991.[20]
Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dan pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia.

C.      Gagasan Transformasi Hukum Islam di Indonesia
Gagasan transformasi hukum Islam dapat dilihat dan segi ilmu negara.Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, maka kedaulatan negara/kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang berdasar atas hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri.[21]
Rousseau misalnya dalam teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dan para warga negaranya.Pendapat Rousseau tersebut mempunyai pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas perundang- undangan.Sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuatnya adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (valonte generale), di mana seluruh rakyat secara langsung megambil bagian dalam proses pembentukan undang-undang itu.[22]
Dalam konteks kenegaraan di Indonesia kehendak rakyat secara umum diimplementasikan menjadi sebuah lembaga tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Jadi, munculnya pemahaman tertulis bahwa eksekutif membuat sebuah rancangan undang-undang sebelum ditetapkan bagi pemberlakuannya, terlebih dahulu harus disetujui DPR.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo tentang falsafah negara integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga faham yang ia ajukan, yaitu; (1) Faham Individualisme: 2) Faham Kolektifisme; dan (3) Faham Integralistik.[23]
Dalam sejarah Indonesia, para politisi menghendaki faham integralistik sebagai ideologi negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara.
Undang-undang dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang tertinggi, di dalamnya telah dapat dicantumkan adanya sanksi dan sekaligus dapat langsung berlaku dan mengikat masyarakat secara umum. Istilah undang-undang dalam anti formil dan materil merupakan terjemahan dan wet in formelezin dan wet in materielezin yang dikenal Belanda. Di Belanda undang-undang dalam anti formil (wet in formelezin) merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama (gejamenlijk) terlepas apakah isinya peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking).Ini  dilihat dari segi pembentukannya atau siapa yang membentuknya.
Sedangkan undang-undang dalam arti materil (wet in materielezin) adalah setiap keputusan yang mengikat umum (algemeen verbidende voorschnften), baik yang dibuat oleh lembaga tinggi Regering dan Staten Generaal bersama-sama, maupun oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah seperti Regering Kroon, Minister, Provinde dan Garneente yang masing- masing membentuk Algemene Maatre gel van Bestuur, Ministeriele Verordening, Pro vinciale Wetten, Gemeeteljkewetten, serta peraturan-peraturan lainnya yang mengikat umum (Aloemeeri Verbiridende Voorschnfteri).[24]
Jika pengertian wet diidentikan dengan Presiden dan DPR, baik secara formil maupun materil kurang tepat. Di Indonesia hanya dikenal istilah undang-undang saja yang diidentikan dengan wet. Dengan kata lain, undang-undang di Indonesia yang ditetapkan oleh presiden dan atas persetujuan DPR disebut setara muatan hukumnva baik secara formil maupun materil dan berlaku umum.
Hubungannya dengan undang-undang pokok tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.Berdasarkan kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia. Pasal 5 ayat (1) telah menggariskan bahwa semua undang-undang di Indonesia adalah undang-undang pokok yang kedudukannya setara, dan berada di bawah hierarki norma hukum dan konstitusi UUD 1945. Atas dasar itu, maka dapat dipahami bahwa Undang-undang Dasar (UUD) jelas berbeda dengan undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam sistem hukum Indonesia yang diatur dalam ketetapan MPR No.XX/MPRS/ 1966 sebagai berikut: UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, Perda Tk. I, Perda Tk. II, dan seterusnya.[25]
Di samping itu, berbagai jenis peraturan perundang-undanan di negara Indonesia dalam suatu tata susunan hierarki mengakibatkan pula adanya perbedaan fungsi maupun materi muatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut. Secara umum fungsi dan undang-undang adalah: Pertama, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan dalam UUD 1945 secara tegas; Kedua, pengaturan lebih lanjut secara umum mengenai penjelasan dalam batang tubuh UUD 1945; Ketiga, pengaturan lebih lanjut mengenai Tap MPR; dan Keempat, pengaturan di bidang materi konatitusi.[26]
Sedangkan materi muatan undang-undang telah diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi dengan istilah het eigenaarding orderwerp der wet yang juga digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening op de Grondwet yang terjemaahannya sebagai berikut:
”Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dan orang/badan hukum yang membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan grondwet- grondwet lainnya, Grondwet (inipun) berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (het eigenaarding orderwerp der wet)”[27]

Apabila pendapat Thorbecke ini dipersamakan dengan UUD 1945, pandangan ini ada benarnya, karena UUD 1945 ditentukan mengenai siapa yang berhak membentuk undang-undang. Dalam pasal 5 ayat (1), yang menentukan adalah presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan persetujuan DPR, dan materi muatan undang-undang sama sekali tidak disebutkan. Kendati demikian, para ahli hukum menyebutkan bahwa materi muatan undang-undang tidak dapat ditentukan ruang lingkup materinya mengingat semua undang-undang adalah perwujudan aspirasi rakyat (kedaulatan rakyat).Atas dasar itu, sesungguhnya semua materi muatan dapat menjadi undang-undang, kecuali jika undang-undang tidak berkenan mangatur atau rnenetapkannva.[28]
Bila diteliti lebih seksama kekhasan undang-undang dan peraturan lainnya adalah undang-undang dibentuk dan ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR.Jadi.muatan materi hukum undang-undang akan menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan lain di bawahnya. Adapun pedoman untuk mengetahui materi muatan undang-undang dapat ditentukan melalui tiga pedoman, yaitu: Pertama, dan ketentuan dalam Batang Tuhuh UUD 1945 terdapat sekitar 18 masalah (18 pasal) tentang hak- hak asasi manusia, pembagian kekuasaan negara, dan penetapan organisasi dan alat kelengkapan negara; Kedua, Berdasar wawasan negara berdasar atas hukum/rechtstaat) yang dimulai dan kekuasaan absolut negara (polizeistacit, terus pembentukan negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal (rechtstciat sempit/liberal), berdasar atas hukum formal (rechtstaat formal), dan negara berdasar atas hukum material/sosial yang modern (rechtstaat material sosial); dan Ketiga, berdasar pada wawasan pemerintahan sistem konsitusional, di mana penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum serta yang lainnya harus mengacu pada norma dasar (ground norm) dan Undang- undang Dasar. Dengan kata lain, yang dimaksud adalah Pancasila dan UUD 1945.[29]
 Dari rumusan-rumusan tersebut, dapat diambil gambaran konseptual bahwa kodifikasi hukum Islam menjadi sebuah undang-undang (takhrij al- ahkam fi al-nash al-taqnin) diharuskan mengikuti prosedur konstitusional dan sejalan dengan norma hukum serta cita hukum di Indonesia. Kodifikasi dan unifikasi hukum Islam serta penyusunan rancangan perundang-undangan yang barn diarahkan untuk terjaminnya kepastian hukum (law enforcement) di masyarakat.

D.     Produk Hukum Islam di Indonesia
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Daru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu lebar bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia.
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat.Kemudian diubah arahnya yakni secara kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara.Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum Islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum Islam yang secara fonnil maupun material menggunakan corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum Islam dalam proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan perundang-undangan; Ketiga, hukum Islam yang secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis.Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum.Salah satunya adalah diundangkannya Hukum Perkawinan No. 1/1974.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Implementasi dan tiga alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya UUPA No.7/1989 yang secara yuridis terkait dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya, seperti UU No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU Pokok Agraria No.5/1960, UU No.14/1970, UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu Nol/SD 1946 dan No.5/SD 1946, PP. No.10/1947 Jo. PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983 Jo, PP. No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan UU No.7/1989 tantang Dradi1an Agama.[30]
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peratunan :an perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
a.      UU No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
b.      UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini UU No. 3,72006)
c.       UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998)
d.      UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
e.      UU No. 38/ 1000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZTS)
f.        UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam
g.      UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam
h.      UU No. 4 1/2004 tentang Wakaf
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
a.      PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan 
b.      PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
c.       PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
d.      Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
e.      Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dan sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal :ahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
Kehadiran ICMI pada awal tahun 1990-an sesungguhnya merupakan realitas sosial dan politik yang tidak dapat dihindari. Di mana peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalani berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang- undangan dan peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama.



BAB II
PENUTUP

Dari penjelasan diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa perjalanan sejarah transformasi hukurn Islam, sarat dengan berbagai dimensi historis, filosofis, politik, sosiologis dan yuridis.Dalam kenyataan hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring degan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Ini semua, berakar pada kekuatan sosial budaya mayoritas umat Islam di Indonesia telah berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik, sehingga melahirkan berbagai kebijakan politik bagi kepentingan masyarakat Islam tersebut. Oleh karena itu, pada bagian akhir ini dapat penulis katakan bahwa hukum Islam di Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan, baik itu melalui saluran infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasiona1. Bukti sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat digugat kebenarannya.Semoga hukum Islam tetap eksis beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V, (Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI)
Affan Gaffar, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Ahmad Sukarja, Keberiakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia‛ dalam Cik Hasan Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997)
Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1976)
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara: Suatu Anailisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV, Disertasi Doktor Universitas Indonesia (Jakarta: UI, 1990)
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1985) 
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998)
Fuad Hasan, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto, (Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991)
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1978)
Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 88-90.
Isma’il Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislamart di IndonesIa dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 1997)
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990)
Lance Castle, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia, (Surakarta: Hapsara, 1983)
Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES)
Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Reproduksi Setneg. tt.)
M. Atho Mudzhar, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991)
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993)
M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan, 1995)
________. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995),
Soehino, llmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980),






[1]Keanekaragaman yang dimaksud adalah perbedaan pemahaman orang Islam di dalam memahami hukum Islam yang memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan syari’ah dan identik dengan fiqh.Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi hukum Islam.
[2]M. Atho Mudzhar, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991), him. 21-30.
[3] Isma’il Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislamart di IndonesIa dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 997), hlm. 40-43.
[4] Teuku Mohammad Radhie, Politik dan Pembaharuan Hukum, dalam Prisma No. 6 tahun II (Jakarta: LP3ES, 1973), hlm. 4; M. Yahya Harahap, ‘Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam‛ dalam Mimbar Hukum, No. 5 Tahun II, Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1992), him. 17-21
[5]Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1976).hIm. 35-48
[6] A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemenntah Negara: Suatu Anaiisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV”, Disertasi Doktor Universitas donesia (Jakarta: UI, 1990), him. 120-135.
[7]Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, hlm. 47-53
[8]Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), Ke-3, hlm. 140
[9]Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1978 Bab. VII
[10] Fuad Hasan, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto, (Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991), him. 261-262.
[11] Lance Castle, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia, (Surakarta: Hapsara, 1983), hlm. 27.
[12] Affan Gaffar, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 37.
[13] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 38 1-382.
[14] M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 32-235; Lihat juga Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1985), hIm. 108-110. 
[15] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 9. 17 Ibid., hlm. 238-239.
[16]Ibid.
[17]Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 88-90.
[18]Ahmad Sukarja, ‚Keberiakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia‛ dalam Cik Hasan Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), hlm.24-25. 20 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi, op. cit., him. 241.
[19]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi, op. cit., him. 241.
[20] Cik Hasan Bisri, ‛Peradilan Agama dan Peradilan Islam‛ dalam Cik Hasan Bisri. op. cit. him. 116-117.
[21] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 64-65.
[22]Soehino, llmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm.156-160; Bandingkan dengan Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm.  24
[23]Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Reproduksi Setneg. tt.). Jilid I, hlm. 26-28; Lihat pula dalam tulisan sejenis tentang Naskah Persiapan UUD 1945 jilid I, cet ke2 (Jakarta: Prapanca, 1971), hlm. 113 dan A. Hamid S. Attamimi, op. cit., hlm. 82-83. 
[24] Maria Farida Indrati Soeprapto, op. tt., hlm. 93-95; A. Hamid S. Attamimi, op. ct., hlm. 211.
[25]Ibid. hlm.92-103
[26]Ibid Ibid. hlm. 113-115
[27] Hamid S. Attamimi, op. cit., hlm. 205 dan tulisannya tentang Materi Muatan Peraturan Pemerintah Perundang-.undangan dalam Majalah Hukum dan Pembangunan Jakarta, 1979).
[28]Ibid., hlm. 1-2. Perihal perbedaan cara pandang tentang teori kekuasaa, Yusril Iliza Mahendra telah menjelaskan dalam bukunya Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Pess, 1996), him. 15-18. Bandingkan dengan Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hIm. 5-7. 
[29]Maria Fanda Indrati Suprapto, op. cit., hlm. 124-130. Konsepsi negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) memiliki muatan ciri-ciri berikut; 1).Prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia; 2).Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan; 3).Pemenntah berdasar undang- undang; 4). Prinsip Keadilan; 5). Prinsip kesejahteraan rakyat.Untuk menemukan ini dapat dilihat dalam naskah Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
[30]Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V (Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI) hIm. 94-106.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar