MAKALAH
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum)
Dosen:
Prof.
Dr. Sukamto Satoto
Disusun
Oeh :
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2013
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan
semesta alam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Penulis
menghaturkan ucapan terima kasih kepada bapak dosen Prof. Dr. Sukamto Satoto yang
telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan
makalah ini. Begitu pula kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalah
ini.
Di dalam makalah ini, penulis
membahas mengenai Hukum Islam di Indonesia yang merupakan masalah yang dipilih
untuk melengkapi tugas yang diberikan pada mata kulaiah Teori-teori Hukum.
Tentunya, sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang
tidaklah mutlak atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan
perbaikan-perbaikan nantinya jika terdapat kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang
dirangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan
bagi para pembacanya. Amin.
Jambi, Januari 2013
Ahmad Sholihin Muttaqin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
…………………………………………………………………
|
ii
|
DAFTAR ISI
|
…………………………………………………………………
|
iii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
…………………………………………………………………
|
1
|
BAB II PEMBAHASAN
|
…………………………………………………………………
|
2
|
A.
Pemikiran Politik Hukum Islam di Indonesia
|
....………………………………………………………………
|
2
|
B.
Dinamika Politik Hukum Islam di Indonesia
|
....………………………………………………………………
|
3
|
C.
Gagasan Transformasi Hukum Islam di Indonesia
|
....………………………………………………………………
|
9
|
A.
Produk Hukum Islam di Indonesia
|
………………………………………………………………….
|
13
|
BAB III PENUTUP
|
…………………………………………………………………
|
17
|
DAFTAR PUSTAKA
|
…………………………………………………………………
|
18
|
BAB I
PENDAHULUAN
Berlakunya hukum Islam di Indonesia
telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh
kekuasaan negara. Bahkan dibalik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya
yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian,
hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan.Baik melalui
jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan
kekuatan sosial budaya itu.Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam
keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah
berimplikasi dalam sudut aplikasinya.[1]
M. Atho Mudzhar misalnya menjelaskan
cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi
menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan
agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa
ulama.[2] Keempat faktor tersebut
diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di
Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak
kedatangan pertama Islam di Indonesia, dimana stigma hukum yang berlaku
dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat.Sedangkan hukum
Islam dilihat dari dua segi.Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis
formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasionaI. Kedua,
hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini
memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk
meiaksanakannya. Atas dasar itu, tulisan ini akan mengkaji hukum Islam di
Indonesia dalam perspektif pemikiran, tradisi, politik hukum dan produk hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Politik Hukum Islam di Indonesia
Ismail Sunny, mengilustrasikan politik hukum sebagai
suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan kedudukannva menjadi dua
periode yakni pertama, periode persuasive source di mana setiap orang Islam
diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua, periode authority
source di mana setiap orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan
yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara
yuridis formal apabila dikodifikasikan dalam perundang-undangan nasional.[3]Untuk mengembangkan proses
transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan
partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum
Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum
yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik hukum tersebut merupakan produk
interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial
budaya.Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi
politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan
semakin besar. Politik hukum masa Orde Baru seperti termaktub dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) sejak 1973, 1978, 1983, 1988 dan 1993. Kurun waktu 1973- 1988
pengembangan hukum nasional diarahkan bagi kodifikasi dan unifikasi hukum
sesuai kepentingan masyarakat.Bentuk hukum tertulis tertentu dikodifikasikan
dan diunifikasikan, terutama hukum yang bersifat ‚netral‛ yang berfungsi bagi
rekayasa sosial.Demikian halnya bagi orang Islam, unifikasi hukum Islam
memperoleh pengakuan dalam sistem hukum nasional.[4]
Transformasi hukum Islam dalam bentuk
perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk
interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan
cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan
politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU Perkawinan No.1/1974
peranan elite Islam cukup dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan
elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat
dikodifikasikan.[5]Adapun
prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif
dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu kepada
politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu
undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan
apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu
legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan
perundang-undangan yang layak. Pendekatan konsepsinal prosedur legislasi hukum
Islam sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi adalah bahwa pemerintah
dan DPR memegang kekuasaan di dalam pembentukan undang-undang.Disebutkan dalam
pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sedangkan dalam
penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “kecuali
executive power, Presiden bersama- sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
menjalankan legislatif power dalam negara.”[6]Berdasarkan pandangan
tersebut, maka DPR hendaknya memberi persetujuan kepada tiap-tiap Rancangan
Undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah.Hal ini senada dengan penjelasan
pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kendati DPR tidak harus selalu meyatakan setuju
terhadap semua rancangan Undang-undang dari pemerintah. Keberadaan DPR
sesungguhnya harus memberikan suatu consent atau kesepakatan dalam arti
menerima atau menolak rancangan undang-undang.
B.
Dinamika Politik Hukum Islam di Indonesia
Peralihan kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada
Orde Baru ditandai dengan turunnya Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta
G30/S/PKI pada tahun 1965.[7] Peristiwa politik tersebut
telah berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan
berupa gerakan massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan
sistem politik dan pemulihan keamanan negara.[8]Puncaknya terjadi pada
tahun 1966, di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam negeri Indonesia
semakin carut marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang pada intinya berisi perintah
untuk pemulihan kamanan dan ketertihan nasional, konsolidasi semua aparat
militer dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas dan tanggung jawab surat
perintah tersebut.[9]
Proses politik dalam negeri saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal Soeharto
secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemegang kendali atas setiap
proses politik. Ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi percepatan
dan pemulihan kondisi sosial, politik dan ekonomi saat itu, hingga digelarnya
Sidang Umum MPRS pada bulan Juni - Juli 1966. Ketetapan MPRS No, TX/MPRS/1966 menjadi
landasan konstitusinal bagi Supersemar dan sekaligus digelarnya Sidang Umum
MPRS tahun 1967 berhasil menggusur Soekarno dan kursi kepresidenan berupa
pencabutan mandat presiden oleh MPRS dalam Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.Hal
ini telah memuluskan jalan bagi Soeharto untuk naik ke puncak kekuasaan yakni
diangkat menjadi presiden kedua yang ditetapkan dalam ketetapan MPRS No.XLITI/MPRS/1968.[10]
Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh kalangan pelajar
dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan
Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang para anggotanya
mayoritas beragama Islam.Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung tombak runtuhnya
pemerintahan Orde Lama.Pada awal Orde Baru banyak dilakukan perubahan terhadap
kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggungjawab yang warisan Orde
Lama.Dengan memakai format politik yang berporos pada eratnya hubungan militer
dan teknokrat untuk tujuan melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintah
yang stabil dan kuat.Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin politik
untuk menata kehidupan sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde Baru melalui
dua komponen tersebut menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia.[11] Adapun format politik
yang tercipta antara lain[12]: Pertama, peranan
birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya
demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas
politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan organisasi
sosial politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam wujud
lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde Baru.Ketiga,
penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa, seperti
menerapkan konsep floating mass dan NKK/BKK di lingkungan pendidikan tinggi.
Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan (Security Approach) dan
pendekatan kesejahteraan (Welfare Approuch) dalam pembagunan sosial politik;
kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui organisasi-organisasi sosial dan
kemasyarakatan yang berbasis korporatis. Persentuhan Islam dan politik pada
masa Orde Baru sesungguhnya telah diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan
modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa
Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak
mengadopsi apa yang pernah terjadi di negara-negara Barat. Kiblat pembangunan
di Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa
Barat dan Amenka.Banyak didapatkan kalangan cendekiawan dan kalangan
intelektual mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sementara itu, bagi
kalangan Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan,
yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung
Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan
kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional.[13] Sikap pro-kontra di
kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi modernisasi melahirkan tiga pola
berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan
kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana
modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan
westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk
sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis
yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi.
Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena
pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih
representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia.Hal ini terjadi
sebagai antitesa dari kalangan Islam konservatif yang lebih mengarah kepada
upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang mengakibatkan
lahirnnya ketegangan dengan rezim Orde Baru.Pola pertautan politik yang serba
provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi islamisasi di Indonesia, mengingat
penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat Islam yang dapat disatukan dalam
bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam
kultural sebagai jalan tengah bagi urnat Islam untuk tetap memainkan perannya
daam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai
membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi
politik Orde Baru di penghujung tahun 1970-an.[14]
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan
Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah
melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara.Sejarah telah mencatat
hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami
pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai
akomodatif.Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang
hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru.Keadaan negara yang kuat
memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah
berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik
ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.[15]
Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982-
1985) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan
merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik
Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan
saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam
kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam
landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif
(1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam
telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan
akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk
membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada
nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam
falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945.[16]
Namun demikian, khusus dalam sudut pandang
perkembangan hukum Islam di Indonesia kesempatan umat Islam untuk mendapatkan
hak-haknya pada pola hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang
begitu lemah, seperti ketika merumuskan UU Perkawinan No.1 tahun 1974, aliran
kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), isu
ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras (SARA), isu kristenisasi dan kebijakan
ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam atas UU Perkawinan No.1/1974 yang
disusul dengan PP No.9/1975, dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk menggeser
Hukum Islam dan akar tatanan sosial masyarakat Islam di Indonesia.[17]
Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada
tahap antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan
yang tidak harmonis berupa konflik
ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde Lama Islam lebih nampak mengkristal
dalam bingkai organisasi politik Masyumi, tegas berhalapan dengan ideologi
nasionalis sekuler (PNI Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI, selanjutnya pada masa
Orde Baru Islam terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai Masyumi. Hal ini
terjadi karena kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam merespon munculnya
kembali kuatnya ideologi Islam politik.Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam
di dalam mendapatkan hak- hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika
dilegislasikannya UU Perkawinan No.1/1974 yang kemudian disusul dengan PP
No.9/1975.Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP
No.28/1977.Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif
kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama
resmi yang diakui negara.Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam
untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-undang Peradilan Agama (RUUPA) bagi
penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.[18]
Kemudian pada pola hubungan resiprokal kritis, umat
Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada
sistem kenegaraan.Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam
harus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru.[19] Melalui pendekatan
strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa
masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat
hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai
akumulasi sipil Islam dan militer.
Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola
hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan
negara.Tercatat realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan
peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyalcini
sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin
tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UUPA No.7/1989
sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang
diatur dalarn UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14/1970, disusul dengan UU
Perbankan No.10/1998 (pengganti UU No.7/1992), UU Zakat No.38/ 1999, KHI Inpres
No.1/1991.[20]
Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam
demikian tampak mulai dan pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis
sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam
sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara
represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini
merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan
negara di Indonesia.
C.
Gagasan Transformasi Hukum Islam di Indonesia
Gagasan transformasi hukum Islam dapat dilihat dan
segi ilmu negara.Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan
rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula
negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, maka kedaulatan negara/kekuasaan
(rechtstaat) dan negara yang berdasar atas hukum (machtstaat), sangat
tergantung kepada gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri.[21]
Rousseau misalnya dalam teori kedaulatan rakyatnya
mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin
kebebasan dan para warga negaranya.Pendapat Rousseau tersebut mempunyai
pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas perundang- undangan.Sedangkan
undang-undang di sini yang berhak membuatnya adalah rakyat itu sendiri. Atas
dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk
oleh kehendak umum (valonte generale), di mana seluruh rakyat secara langsung
megambil bagian dalam proses pembentukan undang-undang itu.[22]
Dalam konteks kenegaraan di Indonesia kehendak rakyat
secara umum diimplementasikan menjadi sebuah lembaga tertinggi negara yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Jadi,
munculnya pemahaman tertulis bahwa eksekutif membuat sebuah rancangan
undang-undang sebelum ditetapkan bagi pemberlakuannya, terlebih dahulu harus
disetujui DPR.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal
ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo
tentang falsafah negara integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945
telah membuka wacana pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu
di antara tiga faham yang ia ajukan, yaitu; (1) Faham Individualisme: 2) Faham
Kolektifisme; dan (3) Faham Integralistik.[23]
Dalam sejarah Indonesia, para politisi menghendaki
faham integralistik sebagai ideologi negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian
disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan
diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum
masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik
ideologis antara Islam dan negara.
Undang-undang dinyatakan sebagai peraturan
perundang-undangan yang tertinggi, di dalamnya telah dapat dicantumkan adanya
sanksi dan sekaligus dapat langsung berlaku dan mengikat masyarakat secara
umum. Istilah undang-undang dalam anti formil dan materil merupakan terjemahan
dan wet in formelezin dan wet in materielezin yang dikenal Belanda. Di Belanda
undang-undang dalam anti formil (wet in formelezin) merupakan keputusan yang
dibuat oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama (gejamenlijk) terlepas
apakah isinya peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking).Ini dilihat dari segi pembentukannya atau siapa
yang membentuknya.
Sedangkan undang-undang dalam arti materil (wet in
materielezin) adalah setiap keputusan yang mengikat umum (algemeen verbidende
voorschnften), baik yang dibuat oleh lembaga tinggi Regering dan Staten
Generaal bersama-sama, maupun oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah
seperti Regering Kroon, Minister, Provinde dan Garneente yang masing- masing
membentuk Algemene Maatre gel van Bestuur, Ministeriele Verordening, Pro
vinciale Wetten, Gemeeteljkewetten, serta peraturan-peraturan lainnya yang
mengikat umum (Aloemeeri Verbiridende Voorschnfteri).[24]
Jika pengertian wet diidentikan dengan Presiden dan
DPR, baik secara formil maupun materil kurang tepat. Di Indonesia hanya dikenal
istilah undang-undang saja yang diidentikan dengan wet. Dengan kata lain,
undang-undang di Indonesia yang ditetapkan oleh presiden dan atas persetujuan
DPR disebut setara muatan hukumnva baik secara formil maupun materil dan
berlaku umum.
Hubungannya dengan undang-undang pokok tidak dikenal
dalam sistem hukum Indonesia.Berdasarkan kepada UUD 1945 sebagai konstitusi
negara Indonesia. Pasal 5 ayat (1) telah menggariskan bahwa semua undang-undang
di Indonesia adalah undang-undang pokok yang kedudukannya setara, dan berada di
bawah hierarki norma hukum dan konstitusi UUD 1945. Atas dasar itu, maka dapat
dipahami bahwa Undang-undang Dasar (UUD) jelas berbeda dengan undang-undang.
Hal ini dapat dilihat dalam sistem hukum Indonesia yang diatur dalam ketetapan
MPR No.XX/MPRS/ 1966 sebagai berikut: UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Kepres,
Kepmen, Perda Tk. I, Perda Tk. II, dan seterusnya.[25]
Di samping itu, berbagai jenis peraturan
perundang-undanan di negara Indonesia dalam suatu tata susunan hierarki
mengakibatkan pula adanya perbedaan fungsi maupun materi muatan berbagai jenis
peraturan perundang-undangan tersebut. Secara umum fungsi dan undang-undang
adalah: Pertama, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan
dalam UUD 1945 secara tegas; Kedua, pengaturan lebih lanjut secara umum
mengenai penjelasan dalam batang tubuh UUD 1945; Ketiga, pengaturan lebih
lanjut mengenai Tap MPR; dan Keempat, pengaturan di bidang materi konatitusi.[26]
Sedangkan materi muatan undang-undang telah
diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi dengan istilah het eigenaarding orderwerp
der wet yang juga digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening op de Grondwet
yang terjemaahannya sebagai berikut:
”Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dan
orang/badan hukum yang membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka
mengenai apa yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh
ditetapkan dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan grondwet- grondwet
lainnya, Grondwet (inipun) berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang
khas bagi wet (het eigenaarding orderwerp der wet)”[27]
Apabila pendapat Thorbecke ini dipersamakan dengan UUD
1945, pandangan ini ada benarnya, karena UUD 1945 ditentukan mengenai siapa
yang berhak membentuk undang-undang. Dalam pasal 5 ayat (1), yang menentukan
adalah presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan persetujuan
DPR, dan materi muatan undang-undang sama sekali tidak disebutkan. Kendati
demikian, para ahli hukum menyebutkan bahwa materi muatan undang-undang tidak
dapat ditentukan ruang lingkup materinya mengingat semua undang-undang adalah
perwujudan aspirasi rakyat (kedaulatan rakyat).Atas dasar itu, sesungguhnya
semua materi muatan dapat menjadi undang-undang, kecuali jika undang-undang
tidak berkenan mangatur atau rnenetapkannva.[28]
Bila diteliti lebih seksama kekhasan undang-undang dan
peraturan lainnya adalah undang-undang dibentuk dan ditetapkan oleh presiden
dengan persetujuan DPR.Jadi.muatan materi hukum undang-undang akan menjadi
pedoman bagi peraturan-peraturan lain di bawahnya. Adapun pedoman untuk
mengetahui materi muatan undang-undang dapat ditentukan melalui tiga pedoman,
yaitu: Pertama, dan ketentuan dalam Batang Tuhuh UUD 1945 terdapat sekitar 18
masalah (18 pasal) tentang hak- hak asasi manusia, pembagian kekuasaan negara,
dan penetapan organisasi dan alat kelengkapan negara; Kedua, Berdasar wawasan
negara berdasar atas hukum/rechtstaat) yang dimulai dan kekuasaan absolut
negara (polizeistacit, terus pembentukan negara berdasar atas hukum yang
sempit/liberal (rechtstciat sempit/liberal), berdasar atas hukum formal
(rechtstaat formal), dan negara berdasar atas hukum material/sosial yang modern
(rechtstaat material sosial); dan Ketiga, berdasar pada wawasan pemerintahan
sistem konsitusional, di mana penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum serta
yang lainnya harus mengacu pada norma dasar (ground norm) dan Undang- undang
Dasar. Dengan kata lain, yang dimaksud adalah Pancasila dan UUD 1945.[29]
Dari
rumusan-rumusan tersebut, dapat diambil gambaran konseptual bahwa kodifikasi
hukum Islam menjadi sebuah undang-undang (takhrij al- ahkam fi al-nash
al-taqnin) diharuskan mengikuti prosedur konstitusional dan sejalan dengan
norma hukum serta cita hukum di Indonesia. Kodifikasi dan unifikasi hukum Islam
serta penyusunan rancangan perundang-undangan yang barn diarahkan untuk
terjaminnya kepastian hukum (law enforcement) di masyarakat.
D.
Produk Hukum Islam di Indonesia
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah
dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan
sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara
Islam dan negara pada masa Orde Daru yakni fase antagonistik yang bernuansa
konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase
akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu
lebar bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di
Indonesia.
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum
Islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya,
politik dan hukum dalam masyarakat.Kemudian diubah arahnya yakni secara
kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan
perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan
negara.Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha
transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang
bernuansa hukum Islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum Islam yang
secara fonnil maupun material menggunakan corak dan pendekatan keislaman;
Kedua, hukum Islam dalam proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber materi
muatan hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan
dan perundang-undangan; Ketiga, hukum Islam yang secara formil dan material
ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem
hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis.Pengakuan berlakunya
hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi
kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum.Salah satunya
adalah diundangkannya Hukum Perkawinan No. 1/1974.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya
hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar
pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan
pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan
mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara
Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam
Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam
memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis
yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi
keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Implementasi dan tiga alasan di atas, sebagai contoh
adalah ditetapkannya UUPA No.7/1989 yang secara yuridis terkait dengan
peraturan dan perundang-undangan lainnya, seperti UU No.2/1946 Jo, UU
No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU Pokok Agraria No.5/1960, UU No.14/1970, UU
No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu Nol/SD 1946 dan No.5/SD 1946, PP. No.10/1947
Jo. PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983 Jo, PP.
No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula dengan UU
No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, dan UU No.7/1989 tantang Dradi1an Agama.[30]
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa
produk peratunan :an perundang-undangan yang secara formil maupun material
tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
a.
UU
No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
b.
UU
No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini UU No. 3,72006)
c.
UU
No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998)
d.
UU
No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
e.
UU
No. 38/ 1000 tentang Pangelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZTS)
f.
UU
No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam
g.
UU
Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam
h.
UU
No. 4 1/2004 tentang Wakaf
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang,
juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang,
antara lain:
a. PP No.9/1975 tentang Petunjuk
Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
b. PP No.28/1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik
c. PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan
Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
d. Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam
e. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan
Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dan sekian
banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa
paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa
penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama
hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan
sehagai undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam pasal 10-12 dengan tegas
mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan UU
No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan
masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun
sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan
panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UU No.7/1989
pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan
dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal :ahun 1980-an sampai
sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam
seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam
proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin
membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem
hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan
kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam
membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
Kehadiran
ICMI pada awal tahun 1990-an sesungguhnya merupakan realitas sosial dan politik
yang tidak dapat dihindari. Di mana peran besar yang ditampilkan oleh elite
politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif
dalani berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting
terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain,
adanya berbagai produk perundang- undangan dan peraturan berdasarkan hukum
Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan,
tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah
yang cukup lama.
BAB II
PENUTUP
Dari penjelasan diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa perjalanan
sejarah transformasi hukurn Islam, sarat dengan berbagai dimensi historis,
filosofis, politik, sosiologis dan yuridis.Dalam kenyataan hukum Islam di
Indonesia telah mengalami pasang surut seiring degan politik hukum yang
diterapkan oleh kekuasaan negara. Ini semua, berakar pada kekuatan sosial
budaya mayoritas umat Islam di Indonesia telah berinteraksi dalam proses
pengambilan keputusan politik, sehingga melahirkan berbagai kebijakan politik
bagi kepentingan masyarakat Islam tersebut. Oleh karena itu, pada bagian akhir
ini dapat penulis katakan bahwa hukum Islam di Indonesia telah mengalami
perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan, baik itu melalui saluran
infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan realitas, tuntutan
dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam
sistem hukum Nasiona1. Bukti sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan
hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah
dapat digugat kebenarannya.Semoga hukum Islam tetap eksis beriringan dengan
tegaknya Islam itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989
dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun
V, (Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI)
Affan Gaffar, Politik Indonesia: Tradisi Menuju
Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Ahmad Sukarja, Keberiakuan Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia‛ dalam Cik Hasan Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I,
(Bandung: Ulul Albab Press, 1997)
Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung:
Al-Ma’arif. 1976)
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara: Suatu Anailisis
Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita
1-Pelita IV, Disertasi Doktor Universitas Indonesia (Jakarta: UI, 1990)
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru
Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan,
1985)
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan:
Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998)
Fuad Hasan, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di
antara Para Sahabat Pak Harto, (Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991)
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia,
(Ithaca: Cornell University Press, 1978)
Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal
Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 88-90.
Isma’il Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislamart di
IndonesIa dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan Islam di
Indonesia, Jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 1997)
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1990)
Lance Castle, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia,
(Surakarta: Hapsara, 1983)
Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru
1966-1971, (Jakarta: LP3ES)
Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 (Jakarta:
Reproduksi Setneg. tt.)
M. Atho Mudzhar, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap
Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II
(Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991)
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan
Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993)
M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan
Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan,
1995)
________. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah
Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina,
1995),
Soehino, llmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980),
[1]Keanekaragaman
yang dimaksud adalah perbedaan pemahaman orang Islam di dalam memahami hukum
Islam yang memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan
syari’ah dan identik dengan fiqh.Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan
ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi hukum Islam.
[2]M.
Atho Mudzhar, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum
Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: AI-Hikmah dan
Ditbinbapera Islam, 1991), him. 21-30.
[3]
Isma’il Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislamart di IndonesIa dalam Bidang Hukum
Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung:
Ulul Albab Press, 997), hlm. 40-43.
[4]
Teuku Mohammad Radhie, Politik dan Pembaharuan Hukum, dalam Prisma No. 6 tahun
II (Jakarta: LP3ES, 1973), hlm. 4; M. Yahya Harahap, ‘Informasi Materi
Kompilasi Hukum Islam‛ dalam Mimbar Hukum, No. 5 Tahun II, Jakarta: Al-Hikmah
dan Ditbinbapera Islam, 1992), him. 17-21
[5]Amak
F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1976).hIm. 35-48
[6]
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemenntah Negara: Suatu Anaiisis Mengenai Keputusan Presiden
yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV”, Disertasi
Doktor Universitas donesia (Jakarta: UI, 1990), him. 120-135.
[7]Mochtar
Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, hlm.
47-53
[8]Joeniarto,
Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), Ke-3,
hlm. 140
[9]Harold
Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press,
1978 Bab. VII
[10]
Fuad Hasan, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak
Harto, (Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991), him. 261-262.
[11]
Lance Castle, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia, (Surakarta: Hapsara, 1983),
hlm. 27.
[12]
Affan Gaffar, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 37.
[13]
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa,
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 38 1-382.
[14]
M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru:
Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 32-235; Lihat
juga Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1985), hIm.
108-110.
[15]
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 9. 17
Ibid., hlm. 238-239.
[16]Ibid.
[17]Hasanudin
M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 88-90.
[18]Ahmad
Sukarja, ‚Keberiakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia‛ dalam Cik Hasan
Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997),
hlm.24-25. 20 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi, op. cit., him. 241.
[19]M.
Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi, op. cit., him. 241.
[20]
Cik Hasan Bisri, ‛Peradilan Agama dan Peradilan Islam‛ dalam Cik Hasan Bisri.
op. cit. him. 116-117.
[21]
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan
Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 64-65.
[22]Soehino,
llmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm.156-160; Bandingkan dengan Theo
Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982),
hlm. 24
[23]Moh.
Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Reproduksi Setneg. tt.). Jilid I,
hlm. 26-28; Lihat pula dalam tulisan sejenis tentang Naskah Persiapan UUD 1945
jilid I, cet ke2 (Jakarta: Prapanca, 1971), hlm. 113 dan A. Hamid S. Attamimi,
op. cit., hlm. 82-83.
[24]
Maria Farida Indrati Soeprapto, op. tt., hlm. 93-95; A. Hamid S. Attamimi, op.
ct., hlm. 211.
[25]Ibid.
hlm.92-103
[26]Ibid
Ibid. hlm. 113-115
[27]
Hamid S. Attamimi, op. cit., hlm. 205 dan tulisannya tentang Materi Muatan
Peraturan Pemerintah Perundang-.undangan dalam Majalah Hukum dan Pembangunan
Jakarta, 1979).
[28]Ibid.,
hlm. 1-2. Perihal perbedaan cara pandang tentang teori kekuasaa, Yusril Iliza
Mahendra telah menjelaskan dalam bukunya Dinamika Tata Negara Indonesia:
Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian
(Jakarta: Gema Insani Pess, 1996), him. 15-18. Bandingkan dengan Wiryono
Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat,
1989), hIm. 5-7.
[29]Maria
Fanda Indrati Suprapto, op. cit., hlm. 124-130. Konsepsi negara berdasarkan
atas hukum (rechtstaat) memiliki muatan ciri-ciri berikut; 1).Prinsip
perlindungan Hak Asasi Manusia; 2).Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan;
3).Pemenntah berdasar undang- undang; 4). Prinsip Keadilan; 5). Prinsip
kesejahteraan rakyat.Untuk menemukan ini dapat dilihat dalam naskah Pembukaan
UUD 1945 alinea ke-4.
[30]Abdul
Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum
Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V (Jakarta: al-Hikmah &
Ditbinpera Islam Depag RI) hIm. 94-106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar