Laman

Jumat, 04 Januari 2013

QASIM AMIN : EMANSIPASI WANITA

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODEREN DALAM ISLAM (PPMDI)
“QASIM AMIN : EMANSIPASI WANITA”


Dosen:
Prof. Dr. KH. Najamuddin Rauf

oke






Disusun Oleh :
Ahmad SholihinMuttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525





PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2012


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Penulis menghaturkan ucapan terimakasih kepada bapak dosen Prof. Dr. KH. Najamuddin Rauf yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Begitu pula kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalahini.
Di dalam makalah ini, penulis membahas mengenai Qasim Amin :Emansipasi Wanita yang merupakan sub bahasan dalam mata kuliah Perkembangan Pemikiran Moderen Dalam Islam (PPMDI). Tentunya, sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya jika terdapat kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang dirangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya. Amin.

Jambi, 4 Januari 2013

Ahmad SholihinMuttaqin


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………
  ii
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………
iii
BAB I PENDAHULUAN




A.      Latar Belakang
..…………………………………………………………………
1
B.      Rumusan Masalah
…..………………………………………………………………
2
C.      Tujuan
…..………………………………………………………………
2
BAB II PEMBAHASAN




A.      Biografi Qasim  Amin
...………………………………………………………………
3
B.      Konsep Emansipasi Wanita perspketif Qasim Amin


………………………………………………………………….


4
BAB III PENUTUP




A.      Kesimpulan
..…………………………………………………………………
11
B.      Kata Penutup
…..………………………………………………………………
11
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………
12
                                                                                                                             








BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Sebagai sebuah bangsa/ negara yang berpendudukan mayoritas muslim sudah seyogianya pemikiran pembaruan Islam tumbuh dan berkembang dengan pesat di Indonesia.Kita harus yakin akan negara kita ini bahwa perkembangan pemikiran moderen di dunia Islam (PPMDI) di masa depan akan tumbuh dan berkembang.
Sekitar abad ke-18 hingga saat ini (zaman modern), umat Islam di dunia mengalami keterpurukan yang luar biasa sehingga timbul pertanyaan “kenapa umat Islam mundur dan umat lain maju?”. Banyak para pembaru muslimyang selalu berusaha untuk memperjuangkan Islam dari penjajahan dan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dalam tataran praksis seperti yang telah dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad abduh, dan lain sebagainya.
Para pembaru muslim tersebut berusaha dengan segala cara untuk membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam menimba pengetahuan sehingga mereka mampu bersaing dengan yang lain. Sehingga, tak bisa dinafikan bahwa umat Islam ketika itu terjebak ke dalam kebodohan dan romantisme yang sementara tanpa berpikir untuk kembali menggali khazanah-khazanah Islam dan kemudian mengembangkannya di zaman modern. Berbeda dengan para pembaru muslim yang lain, Qasim Amin (1863-1908) di Mesir hadir dengan menawarkan gagasan-gagasannya untuk menjawab pertanyaan “kenapa umat Islam mundur dan yang lain maju?” dan mendorong umat Islam untuk bersaing dengan yang lain.
Qasim Amin memandang kemunduran umat Islam terletak pada pemberdayaan kaum perempuan.Dalam Islam seakan-akan ada diskriminasi antara kaum laki-laki dan kaum perempuan sehingga derajat kaum laki-laki cenderung berada di atas derajat kaum perempuan.Menurut Qasim, pendapat itu tidak sepenuhnya benar, karena kaum perempuan lah yang berperan penting dalam kehidupan dan mereka patut untuk diberdayakan, paling tidak disejajarkan dengan kaum laki-laki. Mungkin Qasim lah tokoh pembaru muslim yang pertama yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam Islam sehingga ia mendapatkan gelar “Bapak Feminisme Muslim/Arab” kendati pun ada tokoh-tokoh pembaru Muslim sebelumnya.

B.      Pokok Masalah
1.      Bagaimanakah biografi Qasim Amin?
2.      Bagaimanakah konsep emansipasi wanita perspektif Qasim Amin?

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui riwayat hidup Qasim Amin
2.      Untuk memahami konsep emansipasi wanita perspektif Qasim Amin




BAB II
PEMBAHASAN
A.     Biografi Qasim Amin
Qasim Amin yang bernama lengkap Qasim Amin Beydilahirkan di kota Iskandariyah (Mesir) pada bulan Desember 1863. Ayahnya bernama Muhamad Beik Amin berasal dari Turki (Suku Kurdi), seorang pengusaha yang kaya. Dia hidup di Sulaimaniyah hanya 8 tahun dan kemudian kembali ke kota tempat kelahirannya yaitu Iskandariyah. Qasim Amin memulai pendidikannya dari sekolah dasar pada umur 8 tahun. Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Alexandria, keluarganya hijrah ke Kairo. Pada tahun 1881, ia mencapai gelar licance dari Fakultas Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi. Pada waktu itu, Qasim Amin masih berumur 20 tahun. Pada masa kuliahnya itu, ia mulai kenal dengan sosok Jamaluddin Al-Afghani dan aliran-aliran pemikirannya yang memang berkembang di Mesir pada saat itu.
Dengan bekal gelar licance-nya ia bekerja sebagai pengacara pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya, seorang pengacara besar pada saat itu yang memang sudah memiliki hubungan baik dengan orang tua Qasim. Melalui perantara kantornya, Qasim berkesempatan untuk melanjutkan studi di Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya. Dalam masa perantauannya di Paris, di Mesir sendiri pada saat itu terjadi Revolusi Arab yang dipimpin murid-murid Jamaluddin al-Afghani.Revolusi ini berakhir dengan penjajahan Mesir oleh tentara Inggris dan tokoh tokoh revolusi tersebut dihadapkan ke Meja Hijau.Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir, dan pada akhirnya keduanya menetap di Paris.Di sinilah Qasim kembali menjalin hubungan dengan Al-Afghani dan juga menjadi penerjemah pribadi bagi Muhammad Abduh.[1]
Dorongan dari seorang ayah yang juga seorang ilmuwan membuat Qasim Amin semakin bersemangat menimba ilmu, baik dinegerinya sendiri maupun di Paris untuk mendalami ilmu hukum, sosiologi, psikologi dan etika. Beliau juga banyak mewarnai pemikirannya yang berkaitan dengan prospek masa depan umat Islam secara umum dan berpengaruh pula pada umat Islam Mesir khususnya setelah mempunyai hubungan pergaulan dengan Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Abdullah al-Nadim dan Adib Ishak.[2]
Qasim Amin yang pernah menjadi murid Muhammad Abduh (tokoh pembaharuan di Mesir tahun 1849-1905) dan tinggal di Kairo, selama mengikuti pendidikan di Perancis dengan polemik-polemik misionis Kristen yang didalaminya telah meyakinkan dirinya bahwa purdal, poligami dan perceraian adalah penyebab kelemahan kemunduran umat Islam.Qasim Amin memiliki perbedaan latar belakang pendidikan dengan teman-temannya yang kemudian berdampak terhadap perbedaan refleksi dalam mewujudkan cita-cita yang sama yaitu memajukan agama Islam.
Tahun 1894, Qasim Amin menikah dengan seorang gadis pilihannya yang masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab Amien Taufiq.[3] Dan pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis, karya pertamanya lahir, “Al-Mashriyyûn” (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa Perancis. Buku ini adalah counter terhadap tulisan seorang tokoh Perancis, Duc D’harcouri, yang mengecam realitas sosio-kultural masyarakat Mesir. Karya perdana ini rupanya bisa menggenjot kreatifitas Qasim Amin dalam dunia tulis-menulis.[4]Selanjutnya lahir karya-karya Qasim Amin yang menjadi magnum opus-nya, yaitu, “Tahrîr al-Mar’ah’” (Pembebasan Perempuan) terbit pada tahun 1899 dan “Al-Mar’ah Al-Jadîdah” (Perempuan Modern) yang terbit tahun 1900.

B.     Konsep Emansipasi Wanita Qasim Amin
1.      Pendidikan
Qasim amin mulai pembicaraannya tentang pendidikan wanita dengan mengajukan beberapa pertanyaan; siapa sebenarnya wanita itu? Kemudian dilanjutkan dengan pandangan masyarakat terhadap pendidikan wanita, setelah itu diakhirinya dengan pembicaraan tentang pentingnya pendidikan bagi wanita bila dikaitkan dengan tugas yang akan diembannya dalam keluarga dan ditengah-tengah masyarakat.
Berbicara tentang siapa sebenarnya wanita, Qasim Amin menjelaskan bahwa wanita itu manusia seperti pria, tidak ada perbedaan bila dilihat dari anggota badan, tugas, perasaan, pemikiran dan semua yang menyangkut dengan hakikat manusia. Kalaupun ada juga, itu hanyalah sekedar pengaruh perbedaan jenis.[5]
Timbulnya pemikiran mengenai pentingnya pendidikan bagi wanita merupakan reaksi terhadap pandangan masyarakat Mesir pada saat itu, bahwa wanita tidak perlu diberi pendidikan dan pengajaran.Bahkan mereka mempersoalkan apakah pelajaran menulis dan membaca sesuatu yang dibolehkan syara’ ataukah sesuatu yang dilarang.[6]Menurut mereka fungsi wanita hanya sebagai ibu rumah tangga, untuk itu cukup hanya diberi pendidikan menjahit dan memasak.
Pandangan seperti inilah yang akan dirombak oleh Qasim Amin. Untuk itu ia mencoba mengembangkan ide-ide dasar tentang bagaimana memberikan pendidikan kepada wanita yang telah diletakkan oleh Al-Tahtawy,[7] dan ia juga menerjemahkan ide-ide gurunya Muhammad Abduh.
Menurut Qasim Amin pendidikan bagi wanita merupakan sesuatu yang sangat penting dalam rangka memajukan suatu bangsa, baik ditinjau statusnya sebagai anggota masyarakat maupun sebagai ibu rumah tangga.
Wanita, menurut Qasim Amin tidak mungkin mengurus rumah tangga dengan baik, kecuali dengan bekal ilmu pengetahuan, setidak-tidaknya mesti mengetahui pengetahuan dasar yang sama diberikan kepada pria. Dengan bekal pengetahuan dasar ini dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan perasaannya dan dapat berbuat dengan penuh keyakinan.[8]Dengan pengetahuan tulis baca ia dapat memahami berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu bumi, sejarah bagsa-bangsa, astronomi, fisika dan lain-lain, sehingga dirinya penuh dengan pengetahuan dan dengan demikian pula dia juga dapat memahami masalah akidah dan etika agama. Intelektual (akal) nya akan dapat menerimapendapat-pendapat yang benar dengan penuh kesadarandan meghindarkan diri dari khufarat dan kebathilan yang mematikan akal sehat kewnitaannya.[9]Dengan  pendidikan mental maupun intelektual diharapkan pula akan dibentuk wanita yang berakhlak baik. Sebab wanita yang berakhlak baik akan lebih berguna dikalangannya, daripada laki-laki yang tidak berakhlak baik.[10]
Disamping pendidikan intelektual, pendidikan jasmani juga diperlukan.Wanita juga harus olahraga secara teratur sejak awal perkembangannya, agar kesehatan mereka terjamin. Dengan demikian diharapkan mereka akan hidup dengan penuh semangat dan melahirkan keturunan yang sehat pula.[11]
Pentingnya pendidikan wanita sebagai anggota masyarakat karena keluarga unit terkecil dari satu negara.Sedangkan inti keluarga dilihat dari segi pembinaan keluarga berada ditangan wanita. Oleh sebab itu Qasim Amin menyadari benar, bahwa bodohnya wanita akan menimbulkan akibat yang fatal terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat dan negara, terutama fungsinya sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya.[12]
Dapat dibayangkan bagaimana perkembangan suatu negara bila separuh penduduknya tidak berdaya guna dan berhasil guna, dan begitu juga hampir semua pendidik pertama generasi penerus bangsa adalah wanita-wanita bodoh.Inilah yang dialami Mesir waktu itu, kebodohan telah menghlangi mereka untuk menggeluti berbagai aktifitas yang dilakukan oleh wanita Barat, seperti pengetahuan sastra, kesenian, peradaban, perdagangan dan berbagai profesi yang cocok dengan wanita.Seandainya mereka ambil bagian dal ini sebagaimana wanita Barat, tentu hal ini sangat bermanfaat bagi tanah airnya.[13]
Qasim Amin mencoba membandingkan kehidupan wanita Mesir dengan kehidupan wanita Barat, perbedaannya jauh sekali.Wanita Barat telah maju karena mereka telah berhasil memainkan peranan dalam berbagai lapangan kehidupan.Inilah yang menyebabkan dunia Barat maju dan berkembang, sementara mesir pada waktu itu masih statis dan terbelakang.
Selanjutnya Qasim Amin mengemukakan bahwa wanita terdidik akan mampu berfikir dan kreatif. Sehingga mereka dapat membebaskan dirinya dari ketergantungan terhadap orang lain dalam bidang ekonomi, disamping itu dia juga dapat menambah penghasilan keluarga dan ekonomi keluarga dapat ditingkatkan.
Dengan memperhatikan uraian diatas, berarti pendidikan merupakan satu kebutuhan pokok manusia dalam menata kehidupannya, karena ilmu merupakan salah satu jalan yang dapat mengangkat derajat manusia menjadi mulia dan terhormat, dan ilmu juga dapat mengahantarkan manusia kepada kebahagiaan material dan spritual.[14]
Peranan wanita sebagai istri, diharapkan mampu menciptakan rumah tangga yang bahagia, karena setiap orang yang berumah tangga sudah pasti menambahkan kebahagiaan.Kebahagiaan rumah tangga bukan hanya kebutuhan materi saja, apakah itu harta, kecantikan, anak dan lainnya tetapi yang lebih utama ialah saling pengertian.Yang diistilahkan oleh Qasim Amin dengan saling pengertian ini hanya dapat dihidupkan oleh istri yang berpendidikan karena dengan pengetahuan yang dimilikinya diadapat melaksanakan tugasnya sebagai istri. Lebih lanjut Qasim Amin menjelaskan bahwa cinta dan saling pengertian tersebut tidak akan mungkin terwujud antara suami istri yang tidak seimbang pendidikannya.
Adapun fungsi wanita sebagai seorang ibu, berarti dia seorang guru pertama bagi anaknya.Karena anak lebih banyak bergaul dengan ibunya dibanding ayahnya.Maka yang banyak mempengaruhi pertumbuhan anaknya ialah si ibu. Dengan demikian karakter anak akan dapat tergantung kepada pendidikan yang diberikan oleh ibunya, jika baik akan menjadi baik, jika buruk akan menjadi buruk.Oleh sebab itu ibu yang berpendidikan sangat dibutuhkan dalam membentuk rumah tangga.Bahkan di Barat pendidikan yang dilaksanakan oleh wanita lebih berhasil dari pendidikan yang dilaksankan oleh pria.[15]
2.      Hijab
Dalam rangkaian menerapkan ide-idenya dalam kehidupan masyarakat, Qasim Amin berusaha mengatasi hambatan-hambatan yang akan menghambat idenya tersebut, satu diantaranya adalah hijab.
Menurut Qasim Amin, hijab yang dikalangan masyarakat kita yaitu mengharuskan wanita menutup seluruh tubunhnya, termasuk muka dan telapak tangan, bukan datang dari syarai’at Islam, tetapi dari adat isitiadat diluar Islam yang telah lama berkembang. Sedangkan Islam tidak mengharuskan wanita menutup muka dan kedua telapak tangannya.
Menurut penuturan Qasim Amin, ada orang yang beranggapan bahwa saya menolak hijab dan menganjurkan kaum wanita berpakaian seperti wanita Eropa.Sebenarnya bukan demikian, saya tetap mempertahankan hijab dan memandangnya sebagai salah satu prinsif dasar adab yang mesti dipegang, cuma saya menuntut hijab yang sesuai dengan syari’at Islam.Dia juga menjelaskan orang Barat terlalu berlebihan dalam menonjolkan anggota tubuhnya sampai kepada batas kurang amannya wanita, sementara kita terlalu berlebih-lebihan dalam menetapkan hijab wanita.Antara keduanya ini adalah yang pertengahan.Yang demikian yang dikehendaki oleh syari’at.Dan hijab seperti inilah yang saya maksud.
Disamping  pengertian hijab diatas menurut Qasim Amin, hijab juga mencakup larangan terhadap wanita mendatangi tempat yang indah-indah. Karena wanita itu hidup terkurung dalam rumahnya, tidak dapat melihat ala mini, kecuali melalui jendela atau dalam keranda kereta.[16]
Hijab seperti ini menghambat gerak wanita untuk melaksanakan akifitasnya.Bagaimana seorang yang muka dan tangannya tertutuup dapat berdagang, bertani, dan menjadi saksi pengadilan.Bagaimana pula bagi seorang pembantu rumah tangga melakukan pekerjaannya dengan muka dan kedua tangan yang tertutup.
3.      Perkawinan
Qasim Amin merasa perlu untuk meninjau masalah perkawinan dalam rangka menyempurnakan tatanan keluarga, karena tatanan keluarga masih terkait pada adat istiadat dan hukum syara’. Untuk itu perlu diberikan perhatian khusus untuk meninjau sejauh mana peran dan andil wanita dalam membina dan melangsungkan kehidupan keluarga.
Menurut pengamatannya, dalam masyarakat terdapat pandangan yang merendahkan kedudukan wanita,yaitu dalam perkawinan wanita hanya sebagai objek. Dan Qasim Amin kelihatannya inginmengangkat derajat kaum wanita dari sekedar objek ke tingkat wanita yang sama dengan pria, yaitu menjadi subjek dalam perkawinan. Oleh sebab itu dia menentang pilihan sepihak, yaitu dari pihak pria saja dalam masalah ini.Menurutnya wanita juga harus diberikan kesempatan untuk memilih jodohnya dan dia punya sendiri hak cerai.[17]
Ide yang dicetuskan Qasim Amin ini pada masanya boleh dikatakan belum dapat diterima karena dianggap teralu maju, berbahaya dan merusak sendi-sendi agama serta melelahkan bangsa Mesir, karena akan menimbulkan dekadensi moral. Bahkan Qasim Amin telah dituduh ditunggangi oleh imperialisme Eropa yang mau merusak kedudukan dan citra wanita muslim. Untuk itu masyarakat Mesir diperingatkan supaya tidak terpengaruh oleh gerakan tersebut.Mushtafa Kamil seorang pemikir nasionalis mesir termasuk orang yang menolak ide Qasim Amin ini.Bagi Mushtafa Kamil kesatuan dan ketahanan nasional jauh lebih penting dari perubahan sosial.
Sekalipun gerakan emansipasi wanita ini mendapatkan tantangan yang kuat, namun gerakan ini sangat berpengaruh bagi warga Mesir, terutama pada masa sesudahnya, pengaruh tersebut antara lain menimbulkan beberapa gerakan sebagai berikut:
1.      Adanya kesadaran baru dikalanggan masyarakat Mesir tentang perlunya pendidikan wanita.
2.      Mulai adanya kelonggaran hijab
3.      Adanya keluhan pemuda tentang sistem perkawinan yang berlaku. Mereka mengarapkan adanya perubahan sistem perkawinan tersebut.
4.      Adanya perhatian pemerintahan dan para pemuka negara terhadap undang-undang yang berlaku di peradilan agama.[18]
Dengan demikian ide Qasim Amin tersebut merupakan upaya untuk mengangkat kembali martabat kaum wanita sesuai dengan ajaran Islam, sehingga kaum wanita dapat melaksanakan tugasnya sebagai istri, sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak, serta sebagai anggota masyarat dengan baik.
Pada zamannya ide Qasim Amin ini mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, namun secara berangsur-angsur ide Qasim Amin ini dapat diterima dan bahkan berpengaruh besar untuk kemajuan Mesir pada khususnya dan umat Islam pada umumnya.
BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Qasim Amin yang bernama lengkap Qasim Amin Beydilahirkan di kota Iskandariyah (Mesir) pada bulan Desember 1863. Ayahnya bernama Muhamad Beik Amin berasal dari Turki (Suku Kurdi), seorang pengusaha yang kaya. Qasim Amin memulai pendidikannya dari sekolah dasar pada umur 8 tahun. Pada tahun 1881, ia mencapai gelar licance dari Fakultas Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi. Dorongan dari seorang ayah yang juga seorang ilmuwan membuat Qasim Amin semakin bersemangat menimba ilmu, baik dinegerinya sendiri maupun di Paris untuk mendalami ilmu hukum, sosiologi, psikologi dan etika.Tahun 1894, Qasim Amin menikah dengan seorang gadis pilihannya yang masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab Amien Taufiq. Karya-karya Qasim Amin yang menjadi magnum opus-nya, yaitu, “Tahrîr al-Mar’ah’” (Pembebasan Perempuan) terbit pada tahun 1899 dan “Al-Mar’ah Al-Jadîdah” (Perempuan Modern) yang terbit tahun 1900.
2.      Konsep emansipasi wanita Qasim Amin, diutamakan dalam tiga bidang yaitu pendidikan, hijan dan perkawinan.
3.      Pada zamannya ide Qasim Amin ini mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, namun secara berangsur-angsur ide Qasim Amin ini dapat diterima dan bahkan berpengaruh besar untuk kemajuan Mesir pada khususnya dan umat Islam pada umumnya.

B.      Kata Penutup
Dengan mengucap Alhamdulilla ar-Robba al-‘Alamin, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan dengan harapan agar hasil penulisan ini memberikan mamfaat dan hikmah terhadap semua pihak yang terkait.Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.Amin.



DAFTAR PUSTAKA

Amin,Qasim al-A’mâl al-Kâmilah, (editor Muhamad ‘Imarah), Cairo: Dâr Al-Syurûq, 1989

…………………., Tahrir Al-Mar’ah, Cairo: Dar al-Maarif, tt.

…………………., Al-Mar’ah Al-Jadidah, Cairo: Dar al-Maarif, tt.

Asy’ari, Suaidi, Panduan Penulisan Karya Ilmiah; Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2011.

Barakah,Iqbal al-Mar’ah al-Muslimah fi Shirâ‘ al-Tharbûsh wa al-Qab‘ah, Kairo: Maktabah Usrah, 2000.

Nasution, Harun,Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Philip, Thomas, Feminisme and Nationalist Politics in Egypt, dalam “Women in the Muslim World”, Lois Beck, (Ed), Hardward University, h. 279








[1] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Kairo: 1899, h. 7
[2] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 79
[3] Qasim Amien, al-A’mâl al-Kâmilah, (editor Muhamad ‘Imarah), Kairo: Dâr Al-Syurûq, 1989, cet. 3, hlm. 23
[4] Iqbal Barakah, al-Mar’ah al-Muslimah fi Shirâ‘ al-Tharbûsh wa al-Qab‘ah, Kairo: Maktabah Usrah, 2000, h. 205
[5] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, h. 41
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Qasim Amin, Tahrir Al-Mar’ah, Cairo, Dar al-Maarif, tt, h. 42
[9] Ibid
[10] Qasim Amin, Al-Mar’ah Al-Jadidah, Cairo, Dar al-Maarif, tt, h. 159
[11]Ibid, h. 157
[12] Qasim Amin, Tahrir Al-Mar’ah, h. 43
[13] Qasim Amin, Al-Mar’ah Al-Jadidah, h. 81
[14]Ibid
[15] Ibid, h. 66
[16] Ibid, h. 168
[17] Qasim Amin, Tahrir Al-Mar’ah, h. 84
[18] Thomas Philip, Feminisme and Nationalist Politics in Egypt, dalam “Women in the Muslim World”, Lois Beck, (Ed), Hardward University, h. 279

Tidak ada komentar:

Posting Komentar