MAKALAH
USHUL
FIQIH MUQARRIN
“UNSUR-UNSUR HUKUM”
Dosen:
Prof.
Dr. H. Sulaiman Abdullah
Disusun Oleh
:
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2013
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta
alam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada bapak dosen Prof.
Dr. Sulaiman Abdullah yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis
mampu menyelesaikan perbaikan makalah ini. Begitu pula kepada rekan-rekan mahasiswa
pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam
penyempurnaan makalah ini.
Di dalam makalah ini, penulis membahas
mengenai Unsur-unsur HUkum yang merupakan masalah yang dipilih untuk melengkapi
tugas yang diberikan pada mata kuliah Ushul Fiqih Muqarrin. Tentunya,
sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau
bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya jika terdapat
kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang
dirangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi
para pembacanya. Amin.
Jambi, 11 Maret 2013
Ahmad SholihinMuttaqin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
…………………………………………………………………
|
Ii
|
DAFTAR ISI
|
…………………………………………………………………
|
Iii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
||
A. Latar Belakang
|
....………………………………………………………………
|
1
|
B. Rumusan Masalah
|
....………………………………………………………………
|
2
|
BAB II PEMBAHASAN
|
||
A.
Unsur-unsur Hukum
|
....………………………………………………………………
|
3
|
B.
Pembagian Hukum
|
....………………………………………………………………
|
8
|
BAB III PENUTUP
|
||
A.
Kesimpulan
|
....………………………………………………………………
|
13
|
B.
Kata Penutup
|
....………………………………………………………………
|
13
|
DAFTAR PUSTAKA
|
…………………………………………………………………
|
14
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum,secara
bahasa bermakna keputusan[1].Dan secara istilah yaitu:
مَااْقتَضَاهُخِطَابُ اللهِالشَّرْعِالمُتعلِّقُبِأَفْعالِالمُكَلَّفِينَمِنْطَلَبٍ،أَوْتَخْيِيرٍ،أَوْوَضْعٍ
Artinya: "Apa-apa yang ditetapkan
oleh (khitab Allah) seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
(orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan."[2]
Mayoritas ulama ushul
mendefenisikan hukum sebagai berikut:
خِطَابُ اللهِالمُتعلِّقُبِأَفْعالِالمُكَلَّفِينَإِقْتِضَاءً
أوتَخْيِيرًا،أَوْوَضْعًا
Artinya:"Kalam Allah yang
mneyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperative,
fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang."[3]
Yang dimaksud dengan khitab Allah
dalamdefenisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik al-Quran, al-Hadits,
maupun lainnya sepeti ijma’ dan qiyas.Namun, para ulama ushul
kontemporer, seperti Ali Hasaballah dan Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa
yang dimaksuddalil disini hanya al-Quran dan Sunnah.Adapun ijma’ dan
qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari al-Quran dan Sunnah
tersebut.Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut
tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum.[4]
Yang dimaksud dengan perbuatan mukallaf
ialah perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang cukup umur dan berakal sehat.Pada
defenisi pertama thalab bermakna tuntutan untuk melakukan sesuatu, sedangkan
iqtidha’ pada defenisi yang kedua bermakna tuntutan untuk melakukan
sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya (melarang), baik
tuntutan itu bersifat memaksa maupun tidak.Sedangkan tahyirbermakna
kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya, wadh’I bermakna
memposisikan sesuatu sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat,
maupun penghalang.[5]
Selain yang telah dipaparkan diatas,
ada hal yang sangat berkaitan dalam hukum yaitu unsur-unsur hukum dan pembagian
hukum.Unsur-unsur hukum merupakan hal yang harus terpenuhi dalam suatu hukum
dan pembagian hukum merupakan hal yang harus diketahui oleh pelaku hukum.Hal
tersebutlah yang akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan Hakim,
Mahkum Bih/ Mahkum FihdanMahkum Alaih?
b. Bagaimanakah pembagian hukum menurut
ulama ushul fiqih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Unsur-Unsur Hukum
Menurut ulama ushul,
unsur-unsur hukum ada 3 (tiga) yaitu, Hakim, Mahkum Bih/ Mahkum Fih dan Mahkum
Alaih.
1.
Hakim
Dari segi
bahasa, hakim adalah isim fa’il dari kata حَكَمَ – يَحْكُمُ - حَاكِمٌbermakna yang memerintah[6]. Sedangkan dari segi
istilah, yaitu:
Pertama:
وَاضِعُ اْلاَحْكَامِ
وَمُثْبِتُهَا وَمُنْشِئُهَا وَمَصْدَرُهَا
Artinya:“Pembuat
hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum”.
Kedua:
اَلَّذِيْ يُدْرِكُ
اْلاَحْكَامِ وَيُظْهِرُهَا وَيُعْرِفُهَا وَيُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya: “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan”.[7]
Dari pengertian pertama tentang hakim
diatas, dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT.Dalam Islam, tidak ada
syari’at, kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hukum taklif maupun
hukum wadh’i.Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum di atas
bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun ijtihad para mujtahid
melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma’ dan metode
istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam
hal ini, para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah:
لاَ حُكْمَ اِلاَّ ِللهِ
Artinya:“Tidak ada hukum kecuali
bersumber dari Allah”.
Kaidah ini berdasarkan firman Allah
SWT:
اِنِ الْحُكْمُ اِلاَّ
لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ[8]
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.
Sedangkan dari pengertian kedua
tentang hakim di atas, ulama ushul fiqih membedakannya sebagai berikut:
a.
Sebelum
Nabi Muhammad SAW, diangkat sebagai Rasul
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang siapa
yang menemukan, memperkenalkan dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Nabi
Muhammad sebagai Rasul.Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan ahlussunnah
waljama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum
syara’, sementara akal tidak mampu mencapainya.Oleh sebab itu, hakim adalah
Allah SWT dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’
belum ada. Golongan muktazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim
pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT, namun
akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT dan menyingkap serta
menjelaskannya sebelum datangnya syara’.
b.
Setelah
diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dan menyebarnya dakwah Islam
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah
syari’at yang turun dari Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW.Apa yang
telah dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang
diharamkan-Nya hukumnya haram. Juga disepakati bahwa apa-apa yang dihalalkan
itu disebut hasan (baik), didalamnya terdapat kemaslahatan bagi
manusia. Sedangkan segala sesuatu yang diharamkan Allah disebut qabih (buruk), yang didalamnya terdapat kemudharatan
atau kerusakan bagi manusia.[9]
2.
Mahkum Bih/ Mahkum Fih
a.
Pengertian
Sebagian ulama ushul menyebut istilah peristiwa hukum
atau objek hukum dengan menggunakan istilah mahkum fih, karena di dalam
perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun hukum
haram.Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena
perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat yang
diperintahkan maupun yang dilarang.[10]
Para ulama sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu
ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf.Dan terhadap perbuatan mukallaf
tersebut ditetapkan suatu hukum, misalnya:
1)
Firman
Allah SWT:
(#qßJÏ%r&urno4qn=¢Á9$#(#qè?#uäurno4qx.¨9$#(#qãèx.ö$#uryìtBtûüÏèÏ.º§9$#
Artinya: “dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'.”[11]
Ayat ini berkaian
dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan salat,
atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan salat, berzakat dan ruku’.[12]
2)
Firman Allah SWT:
wur(#qè=çGø)s?[øÿ¨Z9$#ÓÉL©9$#tP§ymª!$#wÎ)Èd,ysø9$$Î/4ö/ä3Ï9ºsNä38¢¹ur¾ÏmÎ/÷/ä3ª=yès9tbqè=É)÷ès?
Artinya: “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”[13]
Dalam ayat ini
mengandung suatu larangan yang berkaitan dengan orang mukallaf, yaitu
larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa hak itu hukumnya
haram.[14]
3)
Firman Allah SWT:
$pkr'¯»túïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä#sÎ)óOçFôJè%n<Î)Ío4qn=¢Á9$#(#qè=Å¡øî$$sùöNä3ydqã_ãröNä3tÏ÷r&urn<Î)È,Ïù#tyJø9$#(#qßs|¡øB$#uröNä3ÅrâäãÎ/öNà6n=ã_ör&urn<Î)Èû÷üt6÷ès3ø9$#4bÎ)uröNçGZä.$Y6ãZã_(#rã£g©Û$$sù4bÎ)urNçGYä.#ÓyÌó£D÷rr&4n?tã@xÿy÷rr&uä!%y`Ótnr&Nä3YÏiBz`ÏiBÅÝͬ!$tóø9$#÷rr&ãMçGó¡yJ»s9uä!$|¡ÏiY9$#öNn=sù(#rßÅgrB[ä!$tB(#qßJ£JutFsù#YÏè|¹$Y6ÍhsÛ(#qßs|¡øB$$sùöNà6Ïdqã_âqÎ/Nä3Ï÷r&urçm÷YÏiB4$tBßÌãª!$#@yèôfuÏ9Nà6øn=tæô`ÏiB8ltym`Å3»s9urßÌãöNä.tÎdgsÜãÏ9§NÏGãÏ9ur¼çmtGyJ÷èÏRöNä3øn=tæöNà6¯=yès9crãä3ô±n@ÇÏÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.[15]
Dari kandungan ayat di atas, difahami bahwa wudlu merupakan
salah satu perbuatan orang mukallaf, yang termasuk salah satu syarat
sahnya salat.
Dari beberapa contoh di atas, dapat
diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.Berdasarkan
hal itu, ulama ushul fiqih menetapkan kaidah “tidak ada taklif
(pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan”.[16]
b.
Syarat-syarat
Mahkum Bih
1)
Mukallaf
mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap
dengan jelas dan dapat ia laksanakan.
2)
Mukallaf
harus mengetahui sumber taklif.
3)
Perbuatan
harus mungkin untuk tidak dilaksanakan atau ditinggalkan.
3.
Mahkum Alaih
a.
Pengertian
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah
seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang
yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf
disebut juga mahkum alaih (subjek hukum).Mukallaf adalah orang
yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang beranggapan dengan
perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallafakan
diminta pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat.
b.
Taklif
1)
Dasar
taklif
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa dasar pembebanan
hukum bagi seorang mukallaf adalahhukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan kata lain,
seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara
baik taklif yang ditujukan kepadanya.[17] Rasulullah Saw bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ
ثَلاَثٍ عَنِ النَّاعِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِطَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقُ.
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai ia sembuh”.[18]
2)
Syarat-syarat
taklif
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf
bisa dikenai taklif apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
a)
Orang
yang telah mampu memahami khitab syar’I (tuntutan syra’) yang terkandung
dalaam al-Quran dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain.
Kemampuan untuk memahami khitab syar’I tidak bisa dicapai kecuali
melalui akal, hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus
dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi akal adalah sesuatu yang abstrak
dan sulit diukur, dan dipastikan berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka
syara’ menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang konkrit (jelas)
dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum dan hal tersebut adalah
balighnya seseorang. Penentu bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan
bagi laki-laki, keluarnya air mani melalui mimpi yang pertama kali dan bagi
wanita melalui keluarnya haid yang pertama kali atau telah sempurna berumur
lima belas tahun.[19]
b)
Seseorang
harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut ahliyyah.
Ahliyyah terbagi kepada 2 jenis, yaitu:
1)
Ahliyyah
al-Ada’
Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang
telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik
yang positif maupun negatif.
2)
Ahliyyah
al-Wajib
Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi
haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.[20]
B.
Pembagian Hukum
Hukum syari'at dibagi menjadi dua bagian :Taklifiyyah
(pembebanan)dan Wadh'iyyah (peletakan).
Al-Ahkam at-Taklifiyyah ada
lima :wajib, mandub (sunat), haram,makruh, dan mubah.
1. Wajib
(الواجب).Secara bahasa berarti ( واللازمالساقط)"yang
jatuh dan harus".Dan secara istilah :
مَاأَمَرَبِهِالشَّارِعُعَلَىوَجْهِاْلإِلْزَامِ
Artinya :"Apa-apa yang
diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentukkeharusan".
Dan
suatu yang wajib itu pelakunya diganjar jika ia melakukannyauntuk mendapatkan
pahala (ikhlas), dan orang yang meninggalkannyaberhak mendapatkan adzab.[21]
Contohnya,
firman Allah SWT yaitu:
(#qßJÏ%r&urno4qn=¢Á9$#(#qè?#uäurno4qx.¨9$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#öNà6¯=yès9tbqçHxqöè?ÇÎÏÈ
Artinya: “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat”.[22]
2. Mandub
( المندوب ) secara bahasa : (المدعوُّ) "yang diseru".Dan
secara istilah :
مَا أَمَرَبِهِالشَّارِعُلاّعَلَىوَجْهِاْلإِلْزَامِ
Artinya: "Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak
dalam bentukkeharusan".
Dan
suatu yang mandub itu pelakunya diganjar jika ia melakukannyauntuk mendapatkan
pahala (ikhlas), dan orang yang meninggalkannya tidakmendapatkan adzab.[23]
Contohnya,
firman Allah SWT yaitu:
$ygr'¯»túïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sÎ)LäêZt#ys?AûøïyÎ/#n<Î)9@y_r&wK|¡Bçnqç7çFò2$$sù4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.[24]
3. Haram
( المحرم ).Secara bahasa :( الممنوع ) "yang
dilarang".Dan secara istilah :
مَانَهىعَنْهُ الشَّارِعِعَلَىوَجْهِاْلإِلْزَامِبِالتَّرْكِ
Artinya: "Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk
keharusanuntuk ditinggalkan".
Dan
suatu yang haram itu pelakunya diganjar jika ia meninggalkannyauntuk
mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang melakukannyaberhak mendapatkan
adzab.[25]
wur(#qè=çGø)s?[øÿ¨Z9$#ÓÉL©9$#tP§ymª!$#wÎ)Èd,ysø9$$Î/4ö/ä3Ï9ºsNä38¢¹ur¾ÏmÎ/÷/ä3ª=yès9tbqè=É)÷ès?
Artinya: “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”[26]
4. Makruh
( المكروه) secara bahasa : ( المبغض) "yang dimurkai".
Dan
secara istilah :
مَانَهىعَنْهُ الشَّارِعُ
لاَعَلَىوَجْهِاْلإِلْزَامِبِالتَّرْكِ
Artinya: "Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam
bentukkeharusan untuk ditinggalkan",
Dan
suatu yang makruh itu pelakunya diganjar jika ia meninggalkannyauntuk
mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang melakukannyatidak mendapatkan
adzab.[27]
Contohnya,
dalam hadits RasulullahSAW yaitu:
اَبْعَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ
اللهِ الطَّلَاقُ
Artinya:“Perbuatan halal yang dibeci Allah
adalah talak”[28]
5. Mubah
( المباح ) secara bahasa : (المعلن
والمأذون فيه)
"yang diumumkan dan diizinkandengannya".Dan secara istilah :
مَالاَيَتَعَلَّقُبِهِأَمْرٌ،وَلاَنَهيٌلِذَاتِهِ
Artinya: "Apa-apa yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan
secaraasalnya".
Dan yang demikian tidak mengeluarkannya
(yakni hal yang mubah)dari keberadaannya sebagai sesuatu yang hukumnya mubah
pada asalnya.Dan mubah yang senantiasa berada pada sifat mubah (boleh), maka
iatidak mengakibatkan ganjaran dan tidak pula adzab.[29]
Seperti makan pada malam hari di bulan Ramadhan.
Al-Ahkam
Al-Ahkam al-wadh'iyyah adalah :
مَاوَضَعَهُالشَّارِعُمِنْأَمَارَاتٍ،لِثُبُوْتٍأَوْاِنْتِفَاءٍ،َأوْ
نُفُوْذٍ،أوْإِلْغَاءٍ
Artinya: "Apa-apa yang diletakkan oleh pembuat
syari'at dari tanda-tanda untukmenetapkan atau menolak, melaksanakan atau
membatalkan."[30]
Al-Ahkam al-wadh'iyyah ada
tujuh :sebab, syarat, mani’, shihah, bathil, azimah dan
rukhsah.
1. Sebab.
Yaitu
sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain, berarti
jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan.
Contoh:
salat zuhur dilakukan karena sebab telah masuk waktunya.
2. Syarat.
Yaitu
sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’
bergantung kepadanya.Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada,
tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.Oleh
sebab itu, suatu hukum taklif tidak dapat diterapkan kecuali bila telah
memenuhisyarat yang telah ditetapkan syara’.
Contoh:Wudhu’
adalah salah satu syarat sahnya salat.
3. Mani’.
Yaitu
sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Contoh:
hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan
waris mewarisi. Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapat pembagian warisan
dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian
masing-masing.Tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri
yang membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut.
4. Shihhah.
Yaitu
suatu hukum yang sesuai dengan tuntunan syara’ yaitu terpenuhinya sebab, syarat
dan tidak ada mani’.
Contoh:
salat dikatakan sah apabila sebabnya ada, syaratnya terpenuhi dan
tidak terdapatmani’nya.
5. Bathil.
Yaitu
terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang telah ditetapkan dan tidak ada
akibat hukum yang ditimbulkannya.
Contoh:
memperjualbelikan minuman keras.
6. Azimah.
Yaitu
hukum-hukum yang disyaratkan Allah kepada seluruh hambanya sejak
semula.Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyaratkan Allah, sehingga
sejak disyariatkannnya seluruh mukallaf wajib mengikutinya.
Contoh:
Melaksanakan salat zuhur dengan empat raka’at.
7. Rukhsah(keringanan).
Yaitu
hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.
Contoh:
salat zuhur yang berjumlah empat raka’at bisa menjadi dua raka’at karena sebab
musafir.[31]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan diataslah, dapatlah
diambil kesimpulan, yaitu:
1.
Unsur-unsur
hukum ada tiga yaitu hakim,mahkum bih/ mahkum fih danmahkum alaih.Hakim
adalah pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.Mahkum fih adalah hukum atau
objek hukum. Mahkum alaih adalah subjek hukum atau seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, atau disebut mukallaf.
2.
Hukum
terbagi dua yaitu hukum taklifidan hukum wadh’i. hukumtaklifi ialah
apa-apa yang ditetapkan oleh seruan
syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani
syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan.Sedangkan hukum wadh’I ialahapa-apa
yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun
akad."
3.
Al-Ahkam al-Taklifiyyah ada
lima :wajib, mandub (sunat), haram,makruh, dan mubah. Sedangkan al-Ahkam
al-Wadh'iyyah ada tujuh :sebab, syarat,
mani’, shihah, bathil, azimah dan rukhsah.
B.
Kata Penutup
Dengan
mengucap Alhamdulilla ar-Robba al-‘Alamin, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan
dengan harapan agar hasil penulisan ini memberikan mamfaat dan hikmah terhadap
semua pihak yang terkait.Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya
kepada kita semua.Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahan, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1998.
Abdullah, Sulaiman, Sumber
Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya,cet. I,Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2004.
Al-'Utsaimin,Muhammad bin Sholeh,Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, alih
bahasa Abu
SHilah & Ummu SHilah, http://tholib.wordpress.com, 2007.
Asy’ari, Suaidi, Panduan
Penulisan Karya Ilmiah; Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi,
2011.
Hamid, Abdul Hakim, Mabadi
Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Jakarta: CV.
Sa’adiyah Putra, tt.
Syafe’I,Rahmat,Ilmu
Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Yunus, Mahmud,Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hadikarya,
1990.
[1]
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hadikarya,
1990), h. 107
[2]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin,
Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, alih bahasa Abu SHilah & Ummu SHilah, (http://tholib.wordpress.com, 2007),
h. 6.
[3]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 295
[4]
Ibid
[5]
Ibid
[6]
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, h. 107
[7]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 345
[8]
Al-An’am (6) : 57
[9]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 349
[10]Ibid,
h. 317
[11]
Al-Baqarah (2) : 43
[12]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 318
[13]
A-An’am (6) : 151
[14]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 318
[15]
Al-Maidah (3): 6
[16]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 319
[17]Ibid,
h. 335
[18]
Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan darul Quthni
[19]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 336
[20]Ibid,
h. 340-341
[21]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin,
Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, h. 7-8.
[22]
An-Nur (24) : 56
[23]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin,
Prinsif Ilmu Ushul Fiqih,h. 8-9
[24]
Al-Baqarah (1) : 282
[25]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin,
Prinsif Ilmu Ushul Fiqih,h. 9
[26]
A-An’am (4) : 151
[27]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin,
Prinsif Ilmu Ushul Fiqih,h.10
[28]HR.
Abu Daud, Ibnu Majah, Baihaqi
dan Hakim
[29]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin,
Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, h. 11
[30]Ibid.
[31]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 313-316
Tidak ada komentar:
Posting Komentar