MAKALAH
PEMIKIRAN
ISLAM KLASIK DAN MODERN
“T
A S A W U F”
Dosen:
Drs. H. Abdul Kadir Sobur, P.hd
Disusun Oeh :
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525
KONSENTRASI
METODOLOGI DAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
PRODI
HUKUM ISLAM
PROGRAM
PASCASARJANA IAIN STS JAMBI
2012
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah
SWT karena atas taufiq, hidayah dan inayah-Nya lah penulis bisa menyelesaikan
makalah ini.
Shalawat dan salam kita kirimkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya dan
keturunannya. Mudah-mudahan kita mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak.
Amin.
Dengan berbekal segala kekurangan dan keterbatasan, serta
mengharap taufiq dari Allah SWT, penyusun dapat menyajikan sebuah makalah yang
bertemakan tentang “Tasawuf” ini, makalah disusun dengan persediaan yang
sederhana. Oleh sebab itu, penulis meminta maaf jika terdapat kesalahan
dan kekhilafan di dalamnya, semoga dapat kita perbaiki bersama. Dan
mudah-mudahan makalah ini bermanfaat. Ucapan terima
kasih kepada bapak dosen yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam
proses pengajaran pada mata kuliah Pemikiran Islam Klasik dan Modern ini.
Jambi,
Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
|
…........……………………………………
|
i
|
DAFTAR ISI
|
....…………………………………………
|
ii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
||
A.
Latar Belakang
Masalah
B.
Pokok Masalah
|
……………………………………………
……………………………………………
|
1
1
|
BAB II PEMBAHASAN
|
||
A.
Pengertian Tasawuf
B.
Asal-Usul Tasawuf
C.
Sejarah Perkembangan
Tasawuf
|
……………………………………………
|
4
7
|
BAB III PENUTUP
|
||
A.
Kesimpulan
B.
Kata Penutup
|
……………………………………………
……………………………………………
|
10
10
|
DAFTAR
PUSTAKA
|
……………………………………………
|
11
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur`an dan hadis bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang
membatasi ruang gerak manusia. Al-Qur`an dan hadis adalah panduan hidup yang menggiring
manusia menuju ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sempurna
adalah kebahagiaan yang meliputi dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi
akhirat. Kebahagiaan di dunia dapat dirasakan dengan jiwa yang tentram.
Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan berkomunikasi dengan Allah.
Berkomunikasi bukan dalam arti melalui panca indra dan organ tubuh yang
dimiliki manusia, tetapi proses komunikasi yang dilakukan antara jiwa suci
dengan jiwa Yang Maha Suci. Suatu kebahagiaan yang luar biasa dan anugrah yang
tiada tara.
Mengikat lingkaran rohani dengan Allah merupakan tujuan akhir kehidupan
manusia. Kehidupan yang berlandaskan rohani dan fitrah yang diciptakan Allah
disebut dengan kehidupan yang hakiki. Sedangkan kehidupan yang hanya
bersandarkan kepada materi saja adalah kehidupan yang semu. Oleh karena itu
manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan oleh sebagian
manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha yang mengarah
kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf.
Tasawuf merupakan suatu ajaran untuk mendekatkan
diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan kalau bisa menyatu dengan Allah
melalui jalan dan cara, yaitu maqâmât dan ahwâl. Dalam
perkembangannya tasawuf mendapatkan berbagai kendala, ada pendapat yang
mengatakan bahwa tasawuf bukan berasal dari Islam itu sendiri tetapi
merupakan pengaruh dari ajaran-ajarn agama lain.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian
Tasawuf?
2. Bagaimanakah asal-usul
tasawuf?
3. Bagaimanakah sejarah
perkembangan Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli
mengenai asal kata tasawuf. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal
dari kata ahl alsuffah, yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi
dari Mekkah ke Medinah, kehilangan harta benda dan dalam keadaan miskin, mereka
tinggal di mesjid dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal.
Pelana ini disebut suffah. Meskipun miskin, ahl suffah berhati
mulia, tidak mementingkan keduniaan, itu merupakan sifat-sifat kaum sufi.[1]
Ada yang bependapat bahwa tasawuf berasal dari kata shaf
pertama dalam shalat. Sebagaimana halnya orang yang shalat di shaf pertama akan
mendapat kemuliaan dan pahala, maka demikian juga kaum sufi dimuliakan Allah
dan diberi pahala. Dan ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari
kata al-Shafa’ yang berarti suci. Seorang sufi adalah orang yang
mensucikan dirinya melalui latihanlatihan yang lama.[2]
Sophos kata Yunani yang berarti hikmah
merupakan asal kata tasawuf. Didalam transliterisasi huruf s yang
terdapat di dalam kata sophos ke dalam Bahasa Arab menjadi س (sin) dan bukan ص (shod), sebagaimana halnya kata
falsafat dari kata philosophia. Dengan demikian kata sufi ditulis dengan
سوف (sufi) dan bukan
صوف (shufi). Selain
itu ada yang menisbahkannya kepada kata shuf (صاف) yang berarti wol kasar. Kain yang terbuat
dari wol kasar merupakan symbol kesederhanaan dan kemiskinan. walaupun hidup
penuh kesederhanaan dan miskin, mereka berhati suci, tekun beribadah.[3]
Pendapat yang paling banyak dipakai dan megacu kepada makna sufi
itu sendiri menurut para ahli adalah pendapat yang terakhir. Wol merupakan symbol
kesederhanaan yang melambangkan kehidupan para sufi itu sendiri. Memberikan
suatu definisi yang definitif terhadap tasawuf tidaklah mudah, karena
esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang sulit untuk dijelaskan
melalui bahasa lisan. Tasawuf bersifat subyektif kerena pengalaman para
sufi berbeda satu sama lain. Walupun demikian para ulama berusaha memberikan
definisi tasawuf sejauh pantauan mereka terhadapnya. Tasawuf menurut
Junaid al-Bagdadi (W.297 H/910 M) adalah membersihkan hati dari sifat-sifat
yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyah, menjauhi hawa nafsu,
memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran,
mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, menepati janji
kepada Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah.[4]
Tasawuf menurut Husni adalah kesucian hati
dari pencemaran ketidakselarasan. Maksudnya bahwa seorang sufi harus menjaga
hatinya dari ketidakselarasan dengan Tuhan, karena cinta adalah keselarasan dan
pencinta hanya punya satu kewajiban di dunia, yaitu menjaga atau melaksanakan
perintah sang kekasih.[5]
Menurut Abu Yazid al-Bustami (261 H/875 M) tasawuf mencakup
tiga aspek, yaitu: Kha’, maksudnya takhalli, berarti mengosongkan
diri dari perangai yang tercela, Ha’, maksudnya tahalli, yang
berarti menghiasi diri dengan akhlak terpuji, dan Jim, maksudnya tajalli,
yang berarti mengalami kenyataan ketuhanaan. Maksudnya Allah menampakkan
dirinya kepada sufi tersebut. Ibrahim Basuni mengkategorikan pengertian tasawuf
kepada tiga hal, yaitu al-bidâyah, al-mujâhadah, al-mudzâqah.
Definisi berdasarkan al-bidâyah bahwa prinsip awal tumbuhnya tasawuf sebagi
manisfestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk
Tuhan. Kategori ini menekankan kecenderungan jiwa dan kerinduannya secara
fitrah kepada yang Maha Mutlak, sehingga orang senantiasa berusaha mendekatkan
diri kepada Allah. Definisi berdasarkan al-mujâhadah yaitu pengertian
yang membatasi tasawuf pada pengamalan-yang lebih menonjolkan akhlak dan
amal dalam mendekatkan diri kepada Allah- yang didasarkan atas kesungguhan.
Definisi berdasarkan kategori al-madzâqah adalah pengertian yang cenderung
membatasi tasawuf pada pengalaman batin dan perasaan keagamaan, terutama
dalam mendekati zat yang mutlak.
Abu Bakr Muhammad al-Kattani memberikan pengertian yang singkat
dan padat bahwa tasawuf adalah kejernihan dan penyaksian.10 Pengertian
ini mencakup dua segi, keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang. Pertama
adalah cara yaitu kejernihan hati. Cara yang dilakukan adalah melakukan mujâhadah,
menghapus sifat-sifat tercela, memutus hubungan dengan kesenangan duniawi dan
berkonsentrasi penuh ke hadirat Allah. Kedua adalah tujuan yaitu penyaksian.
Penyaksian adalah derajat ma’rifah yang paling tinggi yang merupakan
tujuan akhir bagi orang-orang yang memiliki perasan halus dan berkepribadian
mulia.
Dari beberapa pengertian di atas, disimpulkan bahwa tasawuf adalah
suatu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin bahkan menunggal
dengan Allah.
B.
Asal-usul Tasawuf
Teori-teori mengenai asal timbul atau munculnya aliran ini dalam Islam
banyak berbeda-beda, antara lain:
1. Pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup
mengasingkan diri dalam biara-biara. Dikatakan bahwa Zahid dan sufi Islam
meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah
pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen.
2. Falsafat Mistik pythagoras yang berpendapat bahwa roh
manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani
merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh adalah di alam samawi. untuk
memeproleh hidup senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan
meninggalkan hidup materi, yaitu Zuhud. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan
dunia dan pergi berkontlemplasi, inilah menurut pendapat sebagian orang yang
mempengaruhi timbulya Zuhud san Sufisme dalam Islam.
3. Falsafat amanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud
ini memancar dari Zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya kealam materi , roh jadi kotor,
dan untuk dapat kembali keasalnya Roh harus terlebih dahulu dibersihkan.
Penyucian Roh adalah dengan dunia dan mendekati Tuhan dengan sedekat mungkin.
Dikatan pula bahwa falsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum
Zahid dan Sufi dalam Islam.
4. Ajaran Budha dengan faham Nirwananya. Untuk mencapai
Nirwana, orang harus bisa meninggalkan Dunia dan memasuki hidup Kontemplasi.
Faham Fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham Nirwana.
5. Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia
untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhanuntuk mencapai persatuan Atman dan
Brahman.[6]
Inilah beberapa faham dan ajaran yang menurut teorinya mempengaruhi
timbul dan munculya sufisme dikalangan umat Islam.
Zuhud yang dalam ajaran-ajaran agama non
Islam semula hanya merupakan usaha individu untuk tidak tertarik terhadap
kesenangan duniawi perlahan-lahan seiring perjalanan waktu mulai diterima oleh
umat Islam. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa zuhud adalah sebuah tiang
penyangga bagi perilaku luhur. Atau dalam bahasa yang lebih tegas, zuhud pada
hakikatnya merupakan solusi bagi problematika sosial yang disebabkan
kecenderungan yang berlebihan terhadap materi. Dengan demikian, zuhud tidak
bisa dipahami sebagai sikap antipati terhadap permasalahan keduniawian, namun
harus dipandang sebagai satu sikap berlaku proporsional dan bertindak bijaksana
dalam menyikapi permasalah keduniawian. Artinya, zuhud bukan berarti
keterputusan dari kehidupan duniawi sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh
kalangan pendeta, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang
memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja
dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan
kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhan-nya.
Yang menarik, penerimaan umat Islam terhadap
zuhud ternyata dengan signifikan dibarengi munculnya kesadaran rohani. Apalagi
bila mengingat bahwa zuhud yang pada hakikatnya merupakan benih-benih tasawuf
ternyata tergambar dalam pribadi Nabi. Dalam kehidupan Nabi, umat bisa berkaca
dan mengambil contoh bagaimana siklus kehidupan Nabi sangatlah sufistik.[7]
Tetapi bagaimanapun, dengan ataupun tampa pengaru-pengaruh dari luar,
sufisme bisa timbul dalam Islam. Di dalam Islam terdapat ayat-ayat yang
mengatakan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhan. Diantaranya:
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.(QS. Al-Baqarah: 186)
Tuhan disini menyatakan bahwa ia dekat pada manusia dan mengabulkan
permintaan yang meminta. Oleh kaum sufi do’a disini diartikan berseru, yaitu
Tuhan mengabulkan seruan orang yang ingin dekat dengan-Nya.
Artinya: Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya. (QS. Qaaf : 16)
Ayat ini mengandung
arti bahwa Tuhan ada didalam, bukan diluar diri manusia. Dalam Hadits ada yang
mengabarkan dekatnya hubungan manusia dengan Tuhan.
“ orang yang
mengetahui dirinya, itulah orang-orang yang mengetahui Tuhan.”
Jadi, terlepas dari kemungkinan adanya atau tidak adanya pengaruh dari
luar, ayat-ayat serta Hadits seperti tersebut di atas dapat membawa kepada
aliran sufi dalam Islam.
C.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf
Mengenali sejarah
tasawuf sama saja dengan memahami potongan-potongan sejarah Islam dan para
pemeluknya, terutama pada masa Nabi. Sebab, secara faktual, tasawuf mempunyai
kaitan yang erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh para
Sahabat di bawah bimbingan Nabi. Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska
era Shahabat dan Tabi'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat
itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil.
Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan
secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme,
materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya
materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan
para Tabi'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah
mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada
Allah Swt sebagai sang Khaliq.
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial
makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun
menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2
Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup.
Para mayoritas ahli sejarah berpendapat bahwa terma tasawuf dan sufi
adalah sebuah tema yang muncul setelah abad II Hijriah. Sebuah terma yang sama
sekali baru dalam agama Islam. Pakar sejarah juga sepakat bahwa yang mula-mula
menggunakan istilah ini adalah orang-orang yang berada di kota Bagdad Irak.
Pendapat yang menyatakan bahwa tema tasawuf dan sufi adalah baru serta terlahir
dari kalangan komunitas Bagdad merupakan satu pendapat yang disetujui oleh
mayoritas penulis buku-buku tasawuf.[8]
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang
sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan
orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang
sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut
paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara
kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini
didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam
hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan.
Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang
sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai
akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut.
Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut PAHAM SUFI, SUFISME atau PAHAM
TASAWUF, dan orangnya disebut ORANG SUFI.[9]
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal
dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan
pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka
dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi
Muhammad. Kemudian, menurut catatn sejarah, diantara sekalian sahabat Nabi,
maka yang pertama sekali memfilsyafatkan ibadah dan menjadikan ibadah secara
satu yang khusus, adalah sahabat Nabi Yang bernama Huzaifa bin Al Yamani, salah
seorang sahabat Nabi yang Mulia dan terhormat. Beliaulah yang pertama kali
menyampaikan ilmu-ilmu yang kemudian hari ini kita kenal dengan “Tasawuf” dan
beliaulah yang membuka jalan serta teori-teori untuk tasawuf itu.[10]
Menurut cacatan sejarah, dari shabat Nabi Huzaifah bin al Yamani inilah
pertama-tama mendirikan Madrasah Tasawuf . tetapi pada masa itu belumlah
terkenal dengan nama Tasawuf, masih sangat sederhana sekali. Imam
sufi yang pertama di dalam sejarah Islam yaitu Al Hasan Al Basry
seorang ulama besar Tabiin, adalah murid pertama Huzaifah bin al Yamani dan
adalah keluaran dari Madrasah yang pernah didirikan oleh Huzaifah bin Al
Yamani.[11]
Selanjutnya, Tasawuf itu berkembang yang dimulai oleh Madrasah huzaifah
bin Al yamani di madinah, kemudian diteruskan Madrasah Al Hasanul basry di
basrah dan seterusnya oleh Sa’ad bin Al Mussayib salah seorang ulama besar
Tabi’in, dan masih banyak lagitokoh-tokoh ilmu Tasawuf lainnya. Sejak itulah
pelajaran Ilmu tasawwuf telah mendapat kedudukan yang tetap dan tidak akan
terlepas lagi dari masyarakat ummat Islam sepanjang masa.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis mengambil
beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh
beberapa ahli mengenai asal kata tasawuf. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal
dari kata ahl alsuffah, yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi
dari Mekkah ke Medinah, kehilangan harta benda dan dalam keadaan miskin, mereka
tinggal di mesjid dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal.
Pelana ini disebut suffah. Meskipun miskin, ahl suffah berhati
mulia, tidak mementingkan keduniaan, itu merupakan sifat-sifat kaum sufi.
2.
Teori-teori
mengenai asal timbul atau munculnya aliran ini dalam Islam banyak berbeda-beda,
antara lain: Pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup
mengasingkan diri dalam biara-biara. Dikatakan bahwa Zahid dan sufi Islam
meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah
pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen.
3.
Menurut cacatan
sejarah, dari shabat Nabi Huzaifah bin al Yamani inilah pertama-tama mendirikan
Madrasah Tasawuf . tetapi pada masa itu belumlah terkenal dengan nama Tasawuf,
masih sangat sederhana sekali. Imam sufi yang pertama di dalam
sejarah Islam yaitu Al Hasan Al Basry seorang ulama besar Tabiin, adalah murid
pertama Huzaifah bin al Yamani dan adalah keluaran dari Madrasah yang pernah
didirikan oleh Huzaifah bin Al Yamani.
B. Kata Penutup
Dengan mengucap Alhamdulilla ar-Robba al-‘Alamin,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah
ini, namun penulis tetap mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca.
Sehingga makalah ini dapat mendekati kekesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ibn Usman al-Hujwiri, Kasyful Mahjub
(the oldest Persian Treatis on Sufism), Alih Bahasa:
Suwardjo Muthori, Abdul Hadi WM, Bandung: Mizan, 1994, h.47
Harun
Nasution, Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
Mustafa Zahri, Kunci Memahami ilmu
Tasawuf. Surabaya; Pt. Bina Ilmu. 1984.
Tim
Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan: Proyek PPTA Sumut, 1982, h.9
Taufik
Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradapan,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tth.
[1] Harun
Nasution, Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintangt, 1973, h.57
[2] Tim
Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan: Proyek PPTA Sumut, 1982, h.9
[3] Taufik
Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradapan,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tth, h.139
[4] Ibid,.
[5] Ali
Ibn Usman al-Hujwiri, Kasyful Mahjub (the oldest Persian Treatis on Sufism),
Alih Bahasa:
Suwardjo Muthori, Abdul Hadi WM, Bandung: Mizan, 1994, h.47
[6] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 55-56
[10] Mustafa Zahri, 1984. Kunci Memahami
ilmu Tasawuf. Surabaya; Pt. Bina Ilmu Hal. 155
[11] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar