MAKALAH
PEMIKIRAN
ISLAM KLASIK DAN MODERN
“WASHIL
BIN ATHA’ DAN PEMIKIRANNYA”
Dosen:
Drs. H. ABDUL
KADIR SOBUR, P.hd
Disusun Oeh :
AHMAD SHOLIHIN
MUTTAQIN
NIM. P.h. 211.2.1525
PROGRAM
PENDIDIKAN ISLAM
ANAK USIA DINI (PIAUD)
PROGRAM
PASCASARJANA
IAIN STS JAMBI
2012
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT
karena atas taufiq, hidayah dan inayah-Nya lah penulis bisa menyelesaikan
makalah ini.
Shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya dan keturunannya.
Mudah-mudahan kita mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak. Amin.
Dengan berbekal segala kekurangan dan keterbatasan, serta
mengharap taufiq dari Allah SWT, penyusun dapat menyajikan sebuah makalah yang
berjudul “Washil bin Atha’ dan Pemikirannya” pada
mata kuliah pemikiran Islam Klasik dan Modern. Makalah disusun dengan persediaan yang
sederhana. Oleh sebab itu, penulis meminta maaf
jika terdapat kesalahan dan kekhilafan di dalamnya, semoga dapat kita
perbaiki bersama. Dan mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat. Ucapan terima kasih kepada bapak dosen yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam proses pengajaran pada mata kuliah Pemikiran
Islam Klasik dan Modern ini.
Jambi,
Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
…........……………………………………
|
i
|
DAFTAR ISI
|
....…………………………………………
|
ii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
||
A.
Latar Belakang
B.
Pokok Masalah
|
……………………………………………
……………………………………………
|
1
1
|
BAB II PEMBAHASAN
|
||
A.
Washil
bin Atha’ dan Pemikirannya
B.
Muktazilah
1.
Sejarah
Munculnya
2.
Ushul
al-Khamsah
|
……………………………………………
……………………………………………
……………………………………………
……………………………………………
|
2
4
4
6
|
BAB III PENUTUP
|
||
A.
Kesimpulan
B.
Kata Penutup
|
……………………………………………
……………………………………………
|
11
11
|
DAFTAR PUSTAKA
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam khazanah
pemikiran Islam, sejarah telah mencatat bahwa terdapat lebih dari satu aliran
teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat rasional, tradisonal dan
ada yang mengambil jalan tengah sebagai moderat. Kondisi demikian membawa
hikmah bagi sebagian umat Islam. Bagi mereka yang berpikiran rasional tentu
akan mengambil argumentasi pemikiran dan pemahaman berdasarkan teologi yang
beraliran rasional tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau moderat,
cenderung akan menyesuaikan diri dengan aliran-aliran yang cocok dengan
pikirannya.
Salah satu pokok
persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang
ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya.
Adakah manusia dalam segala aktifitasnya terikat pada kehendak dan kekuasaan
mutlak Tuhan, atau Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya.
Secara umum, pemikiran
Washil bin Atha’ dapat dikatakan termasuk dalam pemikiran yang
beraliran rasional, dia cenderung mengutamakan kemampuan rasio yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan
pada akal, sehingga sebagian kalangan umat islam menilai bahwa mereka lebih
mengedepankan rasio daripada wahyu. Penganut pemikiran ini cenderung
menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur'an secara lebih bebas dibanding kebanyakan
umat muslim, sehingga ajaran Washil bin Atha’ kurang diterima oleh
kebanyakan ulama Sunni. Bahkan, tidak sedikit orang islam yang menganggap
golongan pemikiran Washil bin Atha’ini sudah tersesat dari jalan yang lurus.
B.
Pokok Masalah
Pada
perkembangannya, ajaran-ajaran Washil bin Atha’ semakin banyak dikaji karena
menurut sebagian kalangan, pemahaman ini memiliki andil besar dalam
perkembangan pemikiran islam. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai
Washil bin Atha’ dan pemikirannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Washil bin
Atha’ dan pemikirannya
Washil bin Atha’ hidup
pada paruh pertama abad ke-8 M. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H/ 699
M, dan wafat pada tahun 131 H/ 749 M, di Bashrah (Irak). Ia merupakan tokoh
terkenal yang mendirikan mazhab rasionalisme kondang yang disebut al-Mu’tazilah
pada masa Dinasti Bani Umayyah.[1]
Nama aslinya
adalah Abu Huzaifah Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazzal. Ia begitu dihargai
dikalangan al-Mu’tazilah karena pengetahuan dan tabiatnya. Washil pernah
menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan berbagai cabang ilmu
selama pemerintahan ‘Abd Al-Malik ibn Marwan dan Hisyam ibn ‘Abd Al-Malik.[2]
Sebagaimana
dikatakan diatas bahwa Washil merupakan pendiri dan pemuka dari aliran
al-Mu’tazilah, pengikut ajaran-ajaran yang dibawanya dikenal dengan sebutan
Washiliyyah. Sub-golongan Mu’tazilah ini pada prinsipnya memiliki empat doktrin
dasar sebagai berikut:
Pertama, posisi diantara dua posisi bagi para
pembuat dosa besar (al-manzilah bayn al-manzilatayn). Asal doktrin ini
adalah bermula pada ketidaksepahaman Washil ibn ‘Atha’ dengan Hasan Al-Bashri
dalam permasalahan posisi pelaku dosa besar.
Kedua, kepercayaan kepada Qadar. Menurut Washil,
Tuhan itu bijaksana dan adil, sehingga keburukan dan ketidakadilan tidak bisa
dinisbahkan kepada-Nya. Tuhan tidak bisa berkehendak kepada makhluk-Nya atas
sesuatu yang bertentangan dengan apa yang Dia perintahkan kepada mereka. Dia
tidak bisa menetapkan apa yang mereka kerjakan dan kemudian menghukumnya
lantaran mereka tidak melakukan perintah itu. Oleh karena itu, manusia adalah
pencipta kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekufuran, kepatuhan dan
pengingkaran, dan dialah yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.[3]
Paham ini dalam bahasa inggris dikenal dengan
istilah, free will and free act (kebebasan berkehendak dan bertindak). Dalam
paham ini, Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang melakukan perbuatan
dalam arti kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatan. Dan dalam mewujudkan
hal tersebut haruslah atas kehendak dan daya manusia itu sendiri, bukan Tuhan.
Dan apabila manusia berbuat jahat, maka itu berarti atas kehendak dan dayanya
sendiri sehingga paham kemahadilan Tuhan dapat dipertahankan untuk menghukumnya
dalam neraka. Tetapi, sekiranya manusia berbuat jahat bukan atas kehendak dan
daya upayanya sendiri, melainkan atas kehendak dan daya yang bersumber dari
luar dirinya, maka sungguh tidak adillah Tuhan kalau menghukum pembuat
kejahatan itu dalam neraka.[4]
Ketiga, peniadaan sifat-sifat Tuhan, seperti mengetahui,
berkuasa, berkehendak dan hidup. Telah disepakati secara universal bahwa
eksistensi dua Tuhan yang kadimadalah sebuah hal yang mustahil. Jadi,
menyatakan eksistensi sebuah entitas yang kadim atau sifat yang kadim pada
Tuhan, akan berarti bahwa ada dua Tuhan.[5] Washil menolak adanya sifat Tuhan dalam
pengertian sesuatu yang melekat pada zat Tuhan. Ini tidak berarti bahwa ia
menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahman,
al-Rahim, al-Qadir, dan sebagainya sebagaimana yang dipahami aliran teologi
islam lain. Ia menerima kebenaran ayat-ayat itu sama dengan kebenaran ayat-ayat
lain, hanya saja penafsirannyalah yang berbeda tentang ayat-ayat tersebut.[6] Menurutnya, Kalau Tuhan
dikatakan memiliki sifat Maha Mengetahui, baginya yang mengetahui itu
adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya.[7]
Keempat, pandangan mengenai kelompok-kelompok yang
beroposisi dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin. menurut
Washil, salah satu dari kelompok ini berada pada posisi yang salah, tetapi ia
tidak merinci kelompok mana yang salah. Dia juga berpandangan sama terhadap
kasus Utsman, mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya dan
mengenai mereka yang mengkhianatinya. Menurutnya, salah satu dari kelompok ini
pasti berdosa. Sama halnya dengan dua kelompok yang saling menghujat satu sama
lain, maka yang satu pasti berdosa. Mengenai status kelompok yang berseteru
tersebut, ia berpandangan bahwa kesaksian mereka tidak dapat diterima.
Konsekuensinya, kesaksian Ali, Thalhah dan Zubair, sekalipun dalam hal-hal yang
signifikan, adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Boleh jadi bahwa Utsman
dan Ali keduanya bersalah.
B.
Mu’tazilah
1.
Sejarah
Munculnya
Adapun pemikiran
yang lebih luas dari washil; bin Atha’ adalah dengan hadirnya alirn mu’tazilah.
Secara sederhana, al-Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang mendasarkan
ajaran Islam kepada al-Qur’an dan pikiran, serta sangat kritis terhadap hadits
dan cara penafsiran al-Qur’an.[8] Aliran ini muncul pertama kali di kota
Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 101-125 H, tepatnya di
masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn ‘Abd al-Malik dari Bani
Umayyah.[9] Pada masa-masa awal kemunculannya,
aliran ini tidak memperoleh dukungan dan simpati dari umat islam. Hal ini
disebabkan karena sulitnya memahami ajaran-ajaran mereka yang rasionalis dan
filosofis. Disamping itu, aliran ini dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah
Rasulullah dan para sahabat.
Sejarah kemunculan
aliran al-Mu’tazilah dapat dikatakan berawal dari reaksi atas paham-paham
teologi yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan Murji’ah mengenai kedudukan
seorang mu’min yang berdosa besar.[10] Menurut mereka, kata
“mukmin” mengandung pujian, sehingga pembuat dosa besar bukanlah orang
yang terpuji. Tetapi sebaliknya, pembuat dosa besar bukanlah kafir karena masih
mengakui dua kalimat syahadat. Karena pembuat dosa besar tidaklah kafir dan
tidak juga mukmin, ia mempunyai posisi diantara keduanya (al-manzilah bayna manzilatayni) dan boleh diberi predikat sebagai seorang muslim.[11] Menurut Fazlur Rahman,[12] Doktrin “posisi tengah” dari pelaku
dosa besar inilah yang memberikan nama tekhnis Mu’tazilah, atau kaum netralis
kepada gerakan baru tersebut, dan yang membedakannya dengan kaum netralis
politik yang lama.
Menurut tradisi
sunni yang umumnya diterima, asal mula golongan ini memperoleh nama Mu’tazilah
berawal ketika suatu hari, pada saat diskusi seseorang datang menghadap pada
Hasan Al-Bashri seraya berkata padanya,
“Wahai Imam!
Sekarang ini ada beberapa orang yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah
kafir, bagi mereka, pelaku dosa besar adalah murtad yang dengannya ia
dikeluarkan dari masyarakat islam. Kelompok ini adalah Wa’idiyyah, sub-golongan
Khawarij. Pada sisi lain, ada kelompok lain yang menangguhkan hukuman atas
pelaku dosa besar. Bagi mereka, dosa tidak berpengaruh buruk kepada seseorang
selagi ia memiliki iman. Mereka berpegang bahwa perbuatan-perbuatan tidak
membentuk suatu bagian iman yang integral. Karenanya, dosa tidak berpengaruh
buruk pada seseorang yang memiliki iman, sama halnya ketaatan tidak berfaedah
kepada seseorang apabila tanpa iman. Ini adalah golongan Murji’ah. Menurutmu,
mana yang harus kita yakini?”[13]
Ketika Hasan
Al-Bashri masih memikirkan jawaban atas pertanyaan orang tersebut, salah
seorang peserta diskusi dalam majelis itu yaitu, Washil bin Atha’ mengeluarkan
pendapat sendiri yang mendahului gurunya. Ia berpendapat bahwa orang yang
demikian berada antara dua posisi, bukan seorang yang beriman dan bukan pula
seorang kafir. Setelah itu, ia kemudian berdiri dan pindah kedekat sebuah tiang
mesjid yang lain, tempat ia mulai menjelaskan kepada sebuah kelompok lain
pengikut Hasan Al-Bashri maksud dari apa yang ia katakana. Hasan kemudian
kemudian berujar pada kelompok yang masih setia padanya, “Washil telah
memisahkan diri (i’tazala) dari kita.” Sejak saat itu, pengikut Washil
dikenal sebagai Mu’tazilah (golongan yang memisahkan diri).[14]
Menurut teori
lain, Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari
kata i’tazala yang dinisbahkan kepada orang-orang yang mengasingkan
diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman ‘Utsman bin Affan dan ‘Ali
bin Abi Thalib. Menurut beberapa penulis sejarah, kata i’tazala dan
Mu’tazilah memang telah dipakai pada zaman itu untuk golongan yang tidak mau
turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan memusatkan
perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Dan diantara orang-orang demikian
terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husain. Washil sendiri mempunyai hubungan yang
erat dengan Abu Husain.[15]
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kata i’tazala dan Mu’tazilah sebenarnya telah dikenal
jauh sebelum kronologis terjadinya ketidaksepahaman Hasan Al-Bashri dan Washil
bin Atha’ dalam masalah posisi pendosa besar. Namun, kata i’tazala dan
istilah Mu’tazilah yang dipakai untuk menisbatkan pengikut Washil, baru mulai
menjadi populer dan dikenal lebih luas pasca kejadian ketidaksepahaman
guru dan murid tersebut yang melahirkan pemahaman baru.
2.
Ushul
al-Khamsah
Ciri khas paling
khusus dari Mu’tazilah ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal.
Prinsip ini mereka gunakan dalam memberikan fatwa hukum terhadap berbagai hal.[16] Hal ini disebabkan bahwa mereka sangat
giat dalam mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan
pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Ilmu logika
sangat menarik perhatian mereka karena menjunjung tinggi cara berfikir logis.
Sebagian kalangan bahkan menilai bahwa Mu’tazilah lebih mengutamakan akal
pikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an dan Hadits atau yang dikenal
dengan taqdim al-‘aql ‘ala al-nash. Hal ini berbeda dengan golongan Ahlusunnah
wa al-Jama’ah yang cenderung mendahulukan al-Qur’an dan Hadits baru kemudian
akal pikiran, taqdim al-nash
‘ala al-‘aql.[17]
Dalam penjelasan
sebelumnya, telah disebutkan bahwa karena ketidaksepahaman Washil bin ‘Atha’
dengan Hasan al-Bashri, maka pengikut Washil disebut dengan al-Mu’tazilah
(orang yang mengasingkan diri). Namun, ia sendiri dan para pengikutnya lebih
senang menamakan diri mereka sebagai ahl
al-‘adl wa al-tauhid
(kaum pendukung keadilan dan keesaan).[18] Dari pendirian ini, tokoh-tokoh
penganut aliran al-Mu’tazilah bersepakat pada lima ajaran resmi yang harus
diyakini tiap pengikut aliran ini.[19] Bahkan al-Khayyath yang
merupakan tokoh al-Mu’tazilah abad k-3 H, seperti yang
dikutip Nasir, menegaskan:
وَلَيْسَ يَسْتَحِقُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ إِسْمَ اْلإِعْتِزَالِ
حَتَّي يَجْمَعَ اْلقَوْلَ بِاْلأُصُوْلِ اْلخَمْسَةِ : اَلتَّوْحِيْدُ
وَاْلعَدْلُ وَاْلوَعِيْدُ وَالَمَنْزِلَةُ بَيْنَ اْلمَنْزِلَتَيْنِ وَاْلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ اْلمُنْكَرِ. فَإِذَا كَمُلَتْ فِيْهِ هذِهِ
اْلخِصْلَةُ فَهُوَ مُعْتَزِلِيٌّ.
Artinya :
“seseorang
tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran.
Yaitu, tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat diantara dua tempat dan amar
ma’ruf nahi munkar. Apabila padanya telah sempurna kelima ajaran ini, dinamakan
Mu’tazilah”.[20]
Kelima ajaran ini
adalah ajaran-ajaran yang disepakati oleh seluruh pengikut paham ini. Walaupun
demikian, dalam memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ajaran-ajaran dasar
tersebut, mestilah terjadi perbedaan diantara tokoh-tokohnya. Hal ini menjadi wajar,
mengingat al-Mu’tazilah memberikan peranan yang sangat besar pada akal manusia,
sementara setiap akal mesti memiliki telaah dan cara pandang yang berbeda dalam
memaknai sebuah permasalahan. Doktrin al-Mu’tazilah dalam bentuk lima ajaran
dasar yang populer ini dikenal dengan istilah al-ushul al-khamsah.
Pertama, Al-Tawhid, yaitu kemahaesaan Tuhan. Menurut mereka,
Paham-paham yang membuat Tuhan tidak unik lagi seperti adanya sifat, atau
adanya yangkadim selain Tuhan dan sebagainya, mereka tolak dengan kuat.[21] Golongan al-Mu’tazilah menganggap
bahwa konsep tauhid mereka adalah yang paling murni, sehingga mereka lebih
senang disebut sebagai Ahl al-Tauhid (pembela tauhid). Dalam
mempertahankan paham keesaan Allah SWT, mereka menafikkan segala sifat bagi
Tuhan, sehingga mereka sering juga disebut sebagai golongan Nafy al-Sifat.[22]
Dalam ajaran ini,
mereka benar-benar menyucikan Allah SWT dari materi dan
segala aksidensianya, karena Allah SWT bukanlhah jism juga bukan
bayangan, bukan bagian juga bukan keseluruhan, tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu. Selanjutnya, konsep ini membawa pada paham penolakan
terhadap antropomorfisme. Bagi mereka, Tuhan tidak boleh dipersamakan
dengan makhluk-Nya seperti mempunyai muka atau tangan. Karena itu, ayat-ayat yang
menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat tajasum), haruslah
ditakwilkan secara rasional sedemikan rupa. Mereka memerangi
pemikiran al-Tasybih dan al-Tajsim yang gemanya menyusup
kedalam Islam dari agama lain.
Penulis cenderung
tidak sepakat dengan ajaran ini, karena pada prinsipnya bahwa sifat-sifat itu
bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat
tersebut ditetapkan maka ini tidaklah menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih
dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang
disifati tersebut. Menetapkan sifat-sifat Allah tidaklah termasuk
meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah
dengan makhluk-Nya. Pada prinsipnya, ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wa al-shifat sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Justru
dengan meniadakan sifat ini, berarti telah mengakui adanya dua identitas,
karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu
menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika
mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka
menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya.
Kedua, Al-‘Adl, yaitu paham keadilan Tuhan. Paham ini
meletakkan tanggung jawab manusia atas
perbuatan-perbuatannya. Kalau al-Tawhid mengandung keunikan
Tuhan dalam zat, paham keadilan Tuhan ini mengandung keunikan Tuhan dalam
perbuatannya. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, maka segala kehendak dan
perbuatan Tuhan tidak bisa bertentangan dengan paham keadilan. Paham keadilan
inilah yang menjadi titik tolak dari pemikiran rasional al-Mu’tazilah mengenai
pendapat-pendapat keagamaan mereka.[23]
Menurut
al-Mu’tazilah, Tuhan adalah sosok yang amat bijaksana sehingga Ia
mesti mempunyai tujuan kebajikan dalam menciptakan manusia. Pendek kata, karena
Tuhan bijaksana, maka Ia wajib hukumnya berbuat kebajikan pada manusia, karena
akal sehat mengasumsikan demikian.[24] Lebih lanjut menurut mereka, bahwa
Tuhan tidak bisa melakukan hal-hal yang tak masuk akal dan tak
adil. Bahkan, manusia diciptakan mandiri yang mampu bertindak secara bebas
dan independen dari semua campur tangan Ilahi.[25] Karena independensi manusia
dalam bertindak itulah, maka paham keadilan menuntut manusia mempertanggung
jawabkan akibat dari perbuatannya.
Ketiga, Al-Wa’d wa
al-Wa’id, yaitu paham mengenai janji dan ancaman.
Paham ini mengandung pemahaman bahwa Tuhan tidak akan adil kalau Dia tidak
memberi pahala pada orang yang berbuat baik, dan kalau Dia tidak menghukum
orang yang berbuat jahat. Sementara, Allah SWT telah menegaskan bahwa ia tidak
akan mengingkari janji-Nya. Hal ini termaktub dalam QS. Ali ‘Imran ayat 9,
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعَادَ
Artinya:
“Sungguh, Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. (QS. Ali ‘Imran: 9)
Menurut
al-Mu’tazilah, seorang Mukmin apabila meninggal dalam keadaan taubat dan taat,
maka dia berhak mendapatkan pahala. Tetapi, apabila ia meninggal sebelum
terlebih dahulu melakukan taubat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, maka
ia akan ditempatkan dalam neraka selama-lamanya, akan tetapi siksaan yang
didapatkannya lebih ringan daripada siksaan yang diberikan oleh kaum kafir.
Inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman.[26]
Keempat, Al-Manzilah
bayn al-Manzilatain, yaitu posisi
menengah bagi pembuat dosa besar. Tidak posisi mukmin, tidak pula posisi kafir,
tetapi posisi Muslim yang terletak diantara keduanya. Tidak posisi surga, tidak
pula posisi berat di neraka, tetapi posisi siksa ringan yang terletak diantara
keduanya.[27]
Kelima, Al-Amr bi
al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, yaitu perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk
berbuat jahat. Ajaran dasar ini sangat erat hubungannya dengan pembinaan moral.
Ajaran ini menekankan bahwa iman tidaklah cukup hanya dihati, tetapi merupakan
pengakuan yang harus diikuti oleh perbuatan-perbuatan baik.[28] Menurut mereka, kepatuhan merupakan
suatu tiang dari esensi nyata iman sedemikian rupa sehingga siapapun yang
mengabaikannya, maka dia bukan seorang yang percaya.[29] Orang yang masuk surga adalah orang
yang imannya tercermin dalam perbuatan-perbuatan dan kelakuan baik. Maka untuk
membina moral umat, mereka menganggap bahwa al-amr bi al-ma’ruf wa
al-nahy al-munkar, sebagai suatu bentuk kontrol sosial, harus
dijalankan. Kalau dapat, cukup dengan seruan, tetapi kalau terpaksa boleh
dengan kekerasan.
Prinsip dari
ajaran ini mengarahkan seseorang untuk tidak menaati atau mungkin memberontak
pada pemimpin yang keimanannya tidak tercermin dalam perbuatannya dalam
memimpin. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya ajaran ini bertentangan
dengan etika Islam yang menganjurkan cara-cara kebijaksanaan dalam
mengkonfrontir sesuatu yang bertentangan dengan aplikasi keimanan itu sendiri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapatlah diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Abu Huzaifah
Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazzal, itulah nama aslinya. Ia begitu dihargai
dikalangan al-Mu’tazilah karena pengetahuan dan tabiatnya. Washil pernah
menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan berbagai cabang ilmu
selama pemerintahan ‘Abd Al-Malik ibn Marwan dan Hisyam ibn ‘Abd
Al-Malik.
2. Adapun pemikiran yang lebih luas dari Washil bin
Atha’ adalah dengan hadirnya aliran mu’tazilah. Secara sederhana, al-Mu’tazilah
dikenal sebagai aliran yang mendasarkan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan
pikiran, serta sangat kritis terhadap hadits dan cara penafsiran al-Qur’an.
Aliran ini muncul pertama kali di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah,
antara tahun 101-125 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn
‘Abd al-Malik dari Bani Umayyah. Pada masa-masa awal kemunculannya, aliran
ini tidak memperoleh dukungan dan simpati dari umat islam. Hal ini disebabkan
karena sulitnya memahami ajaran-ajaran mereka yang rasionalis dan filosofis.
Disamping itu, aliran ini dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah
dan para sahabat.
3. Prinsip utama ajaran
dasar al-Mu’tazilah dikenal dengan istilah al-ushu>l
al-khamsah. Yaitu, Al-Tawhi>d, atau kemahaesaan
Tuhan, Al-‘Adl, atau paham keadilan Tuhan, Al-Wa’d wa
al-Wa’i>d, atau paham mengenai janji dan ancaman, Al-Manzilah bayn
al-Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi pembuat dosa besar,
dan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.
B.
Kata Penutup
Dengan mengucap segala puji bagi Allah,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini, namun penulis tetap mengharapkan kritik dan saran
kepada para pembaca. Sehingga makalah ini dapat mendekati kekesempurnaan.
DAFTAR PUTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta:
CV. Naladana, 2004.
A Nasir, Sahilun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah,
Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
Al-Syahrastani, Muhammad Ibn ‘Abd Al-Karim Ah}mad. Al-Milal Wa
Al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam. Penerjemah Syuaidi
Asy’ari. Bandung: Mizan, 2004.
Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Hitti, Philip K. History Of The Arabs. New York: Palgrave
Macmillan, 2002.
Izutsu, Toshihiko. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam:
Analisis Semantik Iman Dan Islam. Diterjemahkan Oleh Agus Fahri
Husein. Cet. I. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
Mujtahid, “Sejarah Asal Usul
Aliran Teologi Islam.” http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2649:sejarah-asal-usul-aliran-teologi-islam&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210 (Diakses tanggal 16 Juli
2012).
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun
Nasution. Cet. III. Bandung: Mizan, 2005.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam. Penerjemah Hasan Basri. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Rahman, Fazlur. Islam. New York: Anchor Books, 1968.
Syukur NC, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2010.
Thahir, Lukman S. Kritik Islam Rasional Harun Nasution: Dari
Nalar Tradisi, Modernitas, Hingga Nalar Kritis. Makassar: Pustaka
Refleksi, 2012.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Yasid, Abu. Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses
Pembentukan Wahyu. Jakarta: Erlangga, Tanpa Tahun.
[1] Philip
K. Hitti, History of the Arabs, (New York: Palgrave Macmillan, 2002),
h. 306.
[2] Muhammad
Ibn ‘Abd Al-Karim Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal:
Aliran-aliran Teologi dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2004), h. 88.
[3] Ibid.,
h. 88-89.
[4] Harun Nasution, Islam Rasional:
Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, (Bandung:
Mizan, 2005), 130.
[5] Al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 88.
[6] Harun Nasution, Islam
Rasional, h, 130.
[7]
Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001), 292.
[8] Tim Redaksi Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), h. 979.
[9] Sahilun A Nasir, Pemikiran
Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), h. 163.
[10] Philip
K. Hitti, History of the Arabs, h. 306.
[11] Harun Nasution, Islam
Rasional, h, 128.
[12] Fazlur
Rahman, Islam (New York: Anchor Books, 1968), 120.
[13]
Al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 88.
[14]
Ibid,h. 90
[15]
Harun Nasution, Islam
Rasional, h. 128.
[16] Ibrahim
Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), h. 48.
[17]
Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h. 167.
[18]
C.A.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam , (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 54.
[19] Harun Nasution, Islam
Rasional, h. 135.
[20]
Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h. 168.
[21]
Harun
Nasution, Islam Rasional, h. 135.
[22]
Ensiklopedi, h, 292.
[23]
Harun
Nasution, Islam Rasional, h. 135-136.
[24] Abu
Yasid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Wahyu, (Jakarta:
Erlangga, Tanpa Tahun), 48.
[25]
Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis
Semantik Iman Dan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), 186
[26] Sahilun
A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h. 172.
[27]
Harun Nasution, Islam
Rasional, h. 136.
[28] Ibid,.
[29] Toshihiko
Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, h. 186
Tidak ada komentar:
Posting Komentar