Laman

Sabtu, 10 November 2012

QAWA'ID AL-FIQHIYYAH (AL-DARARU YUZAALU)

RESUME
QAWA’ID AL-FIQHIYYAH
“AL-DARARU YUZAALU”


Dosen:
Dr. Muhammad Nurung, Lc

oke






Disusun Oeh :
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525





PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2012


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada bapak dosen Dr. Muhammad Nurung, Lc yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan resume ini. Begitu pula kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalah ini.
Di dalam makalah ini, penulis membahas mengenai kaidah Ad-dhararu Yuzaalu yang merupakan sub bahasan dalam mata kuliah Qawa’idul fiqhiyyah. Tentunya, sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya jika tredapat kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang dirangkum dalam resume ini dapat bermamfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya. Amin.

Jambi,     Nopember 2012

Ahmad Sholihin Muttaqin



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………
ii
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………
iii
BAB I PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
..…………………………………………………………………
1
B.      Rumusan Masalah
…..………………………………………………………………
1
BAB II PEMBAHASAN


A.      Lafaz Kaidah
....………………………………………………………………
2
B.      Dasar Kaidah
………………………………………………………………….
2
C.      Sub Kaidah
………………………………………………………………….
4
BAB III PENUTUP


A.      Kesimpulan
..…………………………………………………………………
6
B.      Kata Penutup
…..………………………………………………………………
6
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………
7
                                                                                                                             








AL-DARARU YUZAALU
A.     PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Sebagai landasan aktifitas ummat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran Islam (maqasidul al-syari’ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan Qawa’id al-fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik di mata para ahli usul (usuliyyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad”. Manfaat keberadaan qawa’id al-fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadits kepada masyarakat.
Dengan qawa’id al-fiqhiyyah ini para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan garis panduan hidup bagi ummat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui Islam memberi kesempatan kepada ummatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu para ulama untuk melakukan ijtihad dengan berbagai caara yang dituntunkan oleh Rasulullah, melalui ijma’, qiyas, istihsan, istishab, istislah (maslahah mursalah) dan sebagainya untuk mencari kebenaran yang tak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadts Rasulullah SAW.
Adapun salah satu kaidah diantara puluhan qawa’id al-fiqhiyyah itu adalah al-dararu yuzaalu yang akan dipaparkan dalam resume ini.

2.      Rumusan Masalah
a.      Apakah kaidah al-dararu yuzaalu itu?
b.      Apakah sumber atau dasar kaidah al-dararu yuzaalu ?
c.       Apakah sub-sub kaidah al-dararu yuzaalu dan contohnya?



B.      PEMBAHASAN
1.      Lafaz kaidah dan terjemahannya
اَلضَّرَارُ يُزَالُ[1]
Artinya:
“Kemudaratan itu dihilangkan”
Kaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu tidak dibolehkan dalam agama Islam. Adapun yang berkaitan dengan ketentuan Allah, sehingga kerusakan itu menimpa seseorang, kedudukannya menjadi lain, bahkan bisa dianggap sebagai bagian dari keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah SWT karena segala sesuatu menjadi boleh bagi Allah SWT dan dai sisi-Nya lah kematian.[2]

2.      Dasar-dasar Kaidah
a.      Firman Allah SWT
1)      Surat Al-Baqarah ayat 231
وَلاَ تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوْا... âالبقرة:٢٣١ á
Artinya:
“Janganlah kamu rujuk mereka untuk memudaratkan…”[3]
2)      Surat Al-Nisa’ ayat 12
...مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصى بِهَا اَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَّآرٍ... âالبقرة:٢٣١ á
Artinya:
“… sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutang olehnya dengan tidak memberi mudharat…”[4]
b.      Hadits Rasulullah SAW:
1)      Diriwayatkan Imam Malik dan Ibnu Majah
لاَ ضَرَارَ وَلاَ ضِرَارَ مَنْ ضَرَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْهِ âرواه مالك  وابن ماجهá
Artinya:
“Tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan, barang siapa yang memudaratkan maka Allah akan memudaratkannya dan siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya”[5]

2)      Diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim
مَنْ ضَرَّ اَضَرَّهُ اللهُ بِهِ وَمَنْ شَقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْهِ âرواه البخارى ومسلمá
Artinya:
“Barang siapa yang memudaratkan (orang lain), maka Allah akan memudaratkannya dan barang siapa yang menyusahkan (orang lain), maka Allah akan menyusahkannya”[6]

3)      Diriwayatkan Imam Turmudzi
مِنْ حُسْنِ اِسْلاَمِ الْمَرْءِ مَالاَيَعْنِيْهِ
Artinya:
“Di antara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat”[7]


3.      Sub-sub Kaidah
a.      الضَّروْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْفُوْرَاتِ[8]  
Artinya:
“Kemudaratan membolehkan yang mudarat (dilarang).
Contoh:
Dibolehkan memakan daging babi (binatang yang diharamkan) apabila tidak ditemukannya sesuatu (makanan yang dihalalkan) untuk dimakan dalam kondisi yang apabila tidak dimakan akan membahayakan jiwa (kematian).

b.      مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا[9]
Artinya:
“Apa-apa yang dibolehkan karena mudarat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan.”
Contoh:
Dibolehkannya memakan daging babi dalam waktu yang membahayakan namun dengan kadar sewajarnya (hanya sebatas untuk mencegah kematian).

c.       الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ[10]
Artinya:
“Kemudaratan tidak bisa hilang dengan kemudaratan lain”
Contohnya:
Dilarang membunuh anak karena alasan kesulitan ekonomi atau sebagainya karena ingin meringankan beban ekonomi tetapi dengan cara membunuh anak, merupakan menghilangkan bahaya tetapi menimbulkan bahaya yang lain.

d.      الحَاجَةُ قَدْ تَنْزُلُ مَنْزِلَةَ الضَّروْرَةِ[11]
Artinya:
“Kebutuhan itu terkadang menempati kemudaratan baik secara umum maupun khusus”
Contohnya:
Penjualan paksa barang milik monopoli yang menolak menjualnya sementara orang-orang (masyarakat) lain sangat membutuhkannya.

e.      إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِإِرْتِكَابٍ أَخَفِّهِمَا[12]
Artinya:
“Jika ada dua kemudaratan yang bertentangan, maka diambil kemudaratan yang lebih besar”
Contohnya:
Dibolehkan membedah perut mayit seorang ibu untuk menyelamatkan bayi yang diduga masih hidup.

f.        دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَصَالِحِ[13]
Artinya:
“Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”
Contohnya:
Berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung merupakan sunat dalam berwudhu, namun menjadi makruh apabila dalam keadaan berpuasa karena dikhawatirkan dapat membatalkan puasanya.


C.      PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari penjelasan singkat diatas dapatlah diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
a.      Kaidah اَلضَّرَارُ يُزَالُ berarti kemudaratan itu dihilangkan.
b.      Dasar atau sumber dari kaidah ini adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 231 dan al-Nisa’ ayat 12. Serta hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibnu Majah, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Turmudzi.
c.       Cabang-cabang kaidah ini ada 6 yaitu:
a)      مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
b)       الضَّروْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْفُوْرَاتِ
c)      الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
d)      الحَاجَةُ قَدْ تَنْزُلُ مَنْزِلَةَ الضَّروْرَةِ
e)      إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِإِرْتِكَابٍ أَخَفِّهِمَا
f)       دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

2.      Kata Penutup
Dengan mengucap alhamdulillahi robba al-‘alamin, maka akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan reume ini dengan sebaik-baiknya dan dengan harapan agar hasil penulisan ini memberikan manfaat dan hikmah terhadap semua pihak yang terkait dan juga membawa rahmat bagi penulis. Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin.




D.     DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1998.

Asy’ari, Suaidi, Panduan Penulisan Karya Ilmiah; Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2011.

Hamid, Abdul Hakim, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Jakarta: CV. Sa’adiyah Putra, tt.

Syafe’I, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010

Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hadikarya, 1990.








[1] Abdul Hakim Hamid, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Jakarta: CV. Sa’adiyah Putra, tt), h. 32
[2] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 287-288
[3] Al-Baqarah (2) : 231
[4] Al-Nisa’ (4) : 12
[5] HR. Imam Malik dan Ibnu Majah
[6] HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim
[7] HR. Imam Turmudzi
[8] Abdul Hakim Hamid, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, h. 33
[9] Ibid,.
[10] Ibid, h. 32
[11] Ibid, h. 34
[12] Ibid, h. 35
[13] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar