MAKALAH
PEMIKIRAN
MODERN HUKUM ISLAM
“MAQASHID
ASY-SYARI’AH”
Dosen:
Prof. Dr.
H. Hasbi Umar
DisusunOeh
:
Ahmad SholihinMuttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525
PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن
الرحيم
Segalapujibagi Allah SWT,
TuhansemestaalamdanShalawatkepadaNabi Muhammad SAW, nabiakhirzaman.
Penulismenghaturkanucapanterimakasihkepadabapakdosen
Prof. Dr. H. Hasbi Umar yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis
mampu menyelesaikan makalah ini. Begitu pula kepada rekan-rekanmahasiswa pascasarjana
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan
makalahini.
Di dalam makalah ini, penulis membahas
mengenai MaqashidAsy-Syari’ah yang merupakan sub bahasan dalam mata kuliah
Pemikiran Moderen Dalam Islam. Tentunya, sebagaimana yang difahami penulis bahwa
pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan
perbaikan-perbaikan nantinya jika terdapat kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang
dirangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi
para pembacanya. Amin.
Jambi, 4
Januari 2013
Ahmad SholihinMuttaqin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
…………………………………………………………………
|
ii
|
DAFTAR ISI
|
…………………………………………………………………
|
iii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
||
A. Latar Belakang
|
..…………………………………………………………………
|
1
|
B. Rumusan Masalah
|
…..………………………………………………………………
|
3
|
C. Tujuan Pembahasan
|
…..………………………………………………………………
|
3
|
BAB II PEMBAHASAN
|
||
A. Pengertian
Maqashid Asy-Syari’ah
|
…..………………………………………………………………
|
4
|
B. Kategori Maqashid
|
..…………………………………………………………………
|
8
|
C.
Maksud-maksud Syari’at dan Klasifikasinya
|
…..………………………………………………………………
|
9
|
D.
Metode Penetapan Maqashid
|
..…………………………………………………………………
|
11
|
E. Tujuan Maqashid
Asy-Syari’ah
|
…..………………………………………………………………
|
12
|
BAB III PENUTUP
|
||
A. Kesimpulan
|
..…………………………………………………………………
|
14
|
B. Kata
Penutup
|
…..………………………………………………………………
|
14
|
DAFTAR PUSTAKA
|
…………………………………………………………………
|
15
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT adalah Tuhan kita yang Maha
Bijaksana dan Maha Sempurna.Dia sangat sayang kepada seluruh hambaNya.Tidak ada
satupun hukum yang telah ditetapkan untuk hambaNya di dalam Al-Quran, kecuali
untuk kebaikan dan kemaslahatan.
Manusia adalah maksud tertinggi dari segala
ciptaanNya.Oleh karena itu, semua pembebanan syari’at kepada manusia adalah
untuk memelihara maksud-maksudNya. Maksud-maksud syari’at yang telah
diformulasikan Allah tersebut tidak keluar dari tiga bagian yang digeluti oleh
manusia, yaitu: Pertama;Dharuriyyat, Kedua; Hajjiyyat dan
Ketiga: Tahsiniyyat.[1]
Penalaran hukum yang mengabaikan
maksud-maksud syari’at, atau menganulir teks-teks Al-Quran dan Sunnah terjadi
kejanggalan dan ketidakadilan dalam realitas.Karena itu, ulama Islam, dalam
menetapkan hukum, bersikap moderat (wasatha) di antara
literal dan liberal.
Abu Ishak al-Syathiby, dalam kitabnya yang
sangat terkenal, berjudul: Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’ah bahkan Al-Gazali dan gurunya Al-Juwaini, sudah
memulai melihat hukum Islam dari aspek maksud-maksud syari’at tersebut, bukan
saja dari aspek ‘illatnya.
Memahami maksud-maksud syari’at adalah inti dan tujuan dari semua penelitian dan
pengkajian dalam ilmu fiqh usul fiqh,[2]Karena
hukum Syar’i terus berkembang. Dan karena itulah Allah
mengirim RasulNya yang terakhir, disertai kitab petunjuk, yaitu Al-Quran dan
pada RasulNya ada Sunnah (uswah), untuk
menjelaskan dan bahkan mewujudkan yang mungkin belum tersurat dalam Al-Quran.
Di sini terlihat, bahwa hukum syari’at satu Nabi berbeda dengan syari’at Nabi
yang lain, begitu juga dengan syari’at Nabi Muhammad SAW sangat berbeda dengan
nabi-nabi sebelumnya.
Al-Quran dan Sunnah menjadi landasan untuk
mengkaji hukum syar’i dan menjadi lapangan
berijtihad serta mengembangkannya untuk kemaslahat manusia, sebagai khalifah di
muka bumi. Karena satu generasi umat Nabi Muhammad berbeda dengan generasi
berikutnya, juga satu negara berbeda dengan negara yang lain. Karena Allah Maha
Mengetahui dengan kebutuhan hambaNya di pojok bumi manapun berada.Dengan
demikian mereka tidak buruk sangka kepada Allah, karena Allah tidak membuat
hukum untuk mereka.Umat Islam ada di mana-mana, maka hukumnya pun harus dibuat
untuk mereka di mana saja mereka berada, dengan berbagai ragam budaya dan
realitas yang mereka hadapi.
Sebagaimana telah dipahami bahwa hukum syar’i terus berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman, maka ehistemologi pembahasan tentang hal tersebutpun terus berkembang
pula.Pemahaman fiqh masa lalu umpamanya, tentang kewajiban mengeluarkan zakat
tumbuh-tumbuhan, hanya dibatasi pada tumbuhan yang menjadi makanan pokok.Dengan
alasan itulah wajib dizakati seperti gandum, padi, jagung dan lain
sebagainya.Sedangkan kelapa, sawit, serta biji-bijian lainnya – termasuk
rempah-rempah walaupun mahal harganya – tidak digolongkan dalam tumbuhan yang
wajib dizakati.Begitu halnya dengan zakat profesi, gaji dan penghasilan yang
sah lainnya selain perniagaan, juga tidak wajib dizakat, dengan alasan tidak
ada ‘illat hukum dan tidak ada dalil teks dari
Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Namun, setelah para ulama Islam terus
mengkaji hukum syar’i ini pada aspek al-maqashid al-syari’ah,menemukan perkembangan ‘llat hukum makanan pokok menjadi ‘illat “produktif”. Sehingga, sederetan benda yang
dulunya belum masuk dalam daftar benda yang wajib dizakat pada saat itu,
menjadi wajib dizakati karenaillatnya produktif.
Ibnu al-Qayyim berkata: “Seluruh syari’at
mengandung keadilan, rahmat dan kemaslahatan, dan hikmah. Segala maslahat yang
mengubah keadilan menjadi kezaliman, rahmat menjadi bencana, maslahat menjadi
kemudharatan dan hikmah menjadi kebatilan, adalah bukan syari’at, meski
masalah tersebut dicoba untuk ditakwil.”[3]
Begitulah seterusnya, hukum syar’i itu akan terus berkembang dan berubah
seiring dengan perubahan peradaban manusia, bahkan, pada saat ini sudah mulai
dikembangkan dan merambah dari al-maqashid al-syari’ah dan
bahkan ke hal yang lebih jauh lagi, yaitu maqashid al-khalqi (maksud-maksud
manusia).
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan
makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian Maqasid al-Syari’ah?
2.
Apa
tujuan Maqasid al-Syari’ah?
3.
Bagaimana
Klasifikasi dan apa istilah-istilah yang digunakan para ulama?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan dalam pembahasan makalah ini
adalah :
1.
Untuk
mengetahui pengertian Maqasid al-Syari’ah;
2.
Untuk
mengetahui tujuan Maqasid al-Syari’ah dalam
pembentukan hukum fiqh Islam;
3.
Untuk
mengetahu klasifikasi dan istilah-istilah yang digunakan para ulama tentang
maqashid syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqashid Syariah
Secara
etimologi, term Maqashid Asy-Syariah berasal dua kata yaitu kata maqashid
dan al-syariah.Kata maqashid adalah kata yang berasal dari
kata kerja dalam bentuk fii'l tsulasi yaitu kataقَصَدَ،
يَقْصِدُ، قَصْدًا, kalimat ini seringkali dipergunakan dengan makna yang
berbeda. Di antara makna tersebut adalah :
1.
al-
I'timad wa al- I'tishamالإعتماد والإعتصام، وطلب
الشئى
2.
Adil
dan moderat, atau tidak berpihak pada satu sisi, sebagai mana firman Allah
ta’ala ومنهم مقتصد
3.
Istiqamu
al-Tariq, sebagaimana firman Allah ta’ala وعلى
الله قصد السبيل
4.
al-Qurbu, sebagaimana firmanNya لو كان
عرضا قريبا وسفرا قاصدا
5.
al-Kasr
(mematahkan) sebagaimana kalau dikatakan
قصدت العود قصدا
Dari
beberapa makna tersebut pengertian secara etimologi dalam pembahasan ini adalah
pengertian pertama yaitu الإعتماد والإعتصام(kesengajaan
atau tujuan).
Sedangkan
term syariah secara bahasa bermakna على مورد الماء أى مكان ورود الناس للماءtempat keluarnya air,
tempat yang dituju oleh manusia untuk mendapatkan air. Dengan kata lain juga
bermakna al-mawaadli' allatiy
yunhadaru ila al-maa'
(tempat-tempat yang darinya dikucurkan air). Sedangkan kata al-syir'ah
menurut bahasa Arab artinya adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni
maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna
minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian
mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga).[4] Al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah
menyatakan bahwa Lafadz al-Syari'ah bermakna masyra'at al-maa'
(maurid al-syaaribah: sumber air)[5].
Mahmud
Syaltut mendefinisikan al-Syarii'ah dengan aturan-aturan (system) yang
Allah telah syariatkan, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut,
agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya
dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara
kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan
kehidupan".[6]Pengertian ini tentu lebih ke arah
pengertian secara istilah.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah syari’ah adalah “Hukum agama yang
diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian dengan agama
Islam, palu-memalu, hakekat balas-membalas perbuatan baik (jahat) dibalas
dengan baik (jahat)“.[7]Dalam literature Inggris digunakan istilah Islamic
Law atau Camon law of Islam; yaitu keseluruhan dari
perintah-perintah Tuhan.tiap-tiap perintah Tuhan dinamakan hukum, jama’nya ahkaam.
Oleh karena itu, syari’at tidak dapat disamakan dengan hukum dalam dunia modern
ini.
Dalam al-Qur’an kata syariah digunakan
dalam arti “agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh
manusia agar memperoleh keselamatan”. Beberapa ahli tafsir al-Qur’an klasik
seperti Mujahid (104 H/722 M) menafsirkan kata-kata “al-syari’ah” dan
“al-syir’ah” sebagai “agama” (al-din). Namun di lain pihak terdapat pula
pendapat yang membedakan syari’ah dengan “al-din” (agama). Syari’ah merujuk
kepada aspek–aspek hukum dari agama, sementara “al-din” merupakan aspek aqidah
dari agama. Qatadah (118 H/736 M), ahli tafsir lainnya, dilaporkan dalam
konteks penafsiran al-Maidah (5): 48 menyatakan bahwa agama (yang dibawa oleh
semua Nabi) itu satu, tetapi syari’ah-nya berbeda. Maksudnya adalah inti ajaran
agama semua Nabi yaitu ajaran tauhid adalah sama. Yang berbeda adalah
ketentuan-ketentuan hukum dalam masing-masing agama Nabi tersebut. Sejalan
dengan Qatadah adalah Abu Hanifah (150 H/820 M) yang membedakan antara syari’ah
dan din di mana syari’ah merupakan kewajiban agama yang harus dijalankan,
sedangkan “al din” adalah pokok-pokok keimanan seperti kepercayaan kepada Allah
kepada hari kiamat dan lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya kata
“syari’ah” kadang-kadang digunakan untuk merujuk kepada aspek hukum dari agama
Islam dan kadang dipakai juga untuk menyebut aspek hukum dan agama itu
sekaligus.Al-Asy’ari (324 H/935 M) teolog terkenal secara tegas memaknai
syari’ah untuk merujuk pada aspek hukum dari agama Islam. Ia menyatakan bahwa
masalah kasus cabang agama, seperti kewarisan, hukum halal dan halal, masalah
pidana dan talak harus dikembalikan kepada syari’ah yang dasarnya adalah
dalil-dalil sam’i (revelasional), sedangkan masalah pokok agama dikembalikan
kepada sejumlah prinsip yang didasarkan kepada dalil akal, pengalaman intuisi.
Janganlah dicampuradukkan antara masalah akidah yang didasarkan kepada dalil
rasional (‘aqliyyah) dengan masalah cabang agama yang didasarkan kepada dalil
revelasional (sam’i).
Pengertian yang diberikan al-Asy’ari
terhadap syari’ah masih tetap dipakai hingga sekarang seperti dapat dilihat
penggunanan frase “fakultas syari’ah”, “bank syari’ah” dan judul beberapa buku,
serta sejumlah peraturan perundangan muslim. Berbeda dengan Asy’ari, Syatibi
(790 H/1388 M) mengartikan “syari’ah” sebagai “keseluruhan ketentuan agama yang
mengatur tingkah laku, ucapan dan kepercayaan manusia”.Pengertian ini
menggambarkan syari’ah dalam arti luas yang meliputi aspek hukum dan aspek
doktrinal.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat
dilihat bahwa terminologi “syari’ah” dipakai dalam dua pengertian, yaitu :
dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, syariah dimaksudkan
keseluruhan norma agama Islam yang meliputi baik aspek doktrinal maupun aspek
praktis. Dalam arti sempit “syari’ah” merujuk pada aspek praktis dari ajaran
Islam yaitu, bagian yang terdiri dari norma yang mengatur tingkah laku konkret
manusia seperti ibadah, nikah, jual beli, perkara di pengadilan,
penyelenggaraan negara dan lainnya. Apabila istilah “hukum Islam” hendak
digunakan untuk menerjemahkan istilah “syari’ah”, maka “syariah” yang dimaksud
syari’ah adalah dalam arti sempit. Maka pengertian syariat dalam term maqasid
syariah adalah peraturan/hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada nabi besar
Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam, yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an,
sunnah/hadist nabi yang diperbuat atau disabdakan dan yang ditakrirkan
oleh beliau.
Dari pemahaman kebahasaan mengenai
istilah maqashid dan syariah maka dapat disimpulkan bahwa maqasid al
Syariah adalah maksud dan tujuan dari syariah atau hukum Islam. Menurut 'Allal
al Fasiy, maqashid al Syariâh adalah :Tujuan yang dikehendaki Syara' dan
rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syari' (Allah) pada setiap hukumAdapun
inti dari maqashid al Syariâh adalah untuk mewujudkan kebaikan
sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk
mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah
untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara.
Abdullah
Daraz dalam komentarnya terhadap pandangan al Syatibi menyatakan bahwa tujuan
utama Allah menetapkan hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemashlahatan hidup
manusia di dunia dan di akhirat.Oleh karena itu, taklif (pembebanan
hukum) harus mengacu kepada terwujudnya tujuan hukum itu.
Imam al Ghazali ketika membahas tentang maqashid menyinggung; “wa
maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya an yahfadha lahum dinahum wa
nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa malahum”, tujuan Allah Ta’ala dalam syariatnya bagi makhluk adalah
untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. Apa
yang disampaikan al Ghazali ini memang tidak sejelas apa yang disampaikan
ulama-ulama ketika ilmu maqashid syariah sudah mulai berjalan ke arah menjadi
disiplin ilmu yang independen.
Dalam kitabnya Maqashid al Syariah al
Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa maqashid syariah adalah makna-makna dan
hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah Ta’ala dalam semua atau
sebagian besar syariatNya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah
atau tujuan umumnya.Dan al Raisuni menyatakan bahwa maqashid syariah adalah
tujuan-tujuan yang diletakkan oleh syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan
hamba.
Makna Syari’at adalah hukum yang ditetapkan
oleh Allah bagi hambaNya tentang urusan agama, baik berupa ibadah atau mu’amalah, yang dapat menggerakkan kehidupan manusia.[8]
Maksud-maksud syari’at adalah tujuan yang
menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam dalam
kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah, untuk individu,
keluarga, jamaah dan umat.[9]
Maksud-maksud, juga bisa disebut dengan
hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum. Karena setiap hukum yang
disyari’atkan Allah untuk hambaNya, pasti terdapat hikmah, bisa diketahui oleh
orang yang mengetahuinya Kareana Allah suci untuk membuat syari’at yang
sewenang-wenang, sia-sia, atau kontradiksi dengan sebuah hikmah.[10]
Maksud-maksud syari’at ini bukanlah illat yang disebutkan oleh para ahli ushul fiqh
dalam bab qiyas, dan didefinisikan dengan sifat yang jelas, tetap, dan sesuai
dengan hukum.
B. Kategori Maqashid
Secara garis besar maqashid terbagi kepada dua macam, yaitu: Pertama, Maqaashid Ashliyyah dan kedua, Maqashid Tabi’ah[11].Penamaan seperti ini dilakukan oleh
Al-Syathibi.Menurut Thahir ibn ‘Asyur istilahnya adalahMaqaashid ‘Ammah dan Maqaashid Khashshah. Dan
Raisyuni di samping seperti istilah Ibn ‘Asyur, Maqaashid
‘Ammah dan Maqaashid Khashshah, juga.menambah
satu lagi, yaitu Maqaashid Juziyyah.
Adapun maqashid ashliyyah, maka
tidak ada ruang bagi keterlibatan manusia (mukallaf) di
dalamnya sedikitpun, karena ia merupakan hal yang kodrati bagi semua agama
secara mutlak, kapan dan di manapun. Dan maqashid ashliyyah ini
terbagi kepada dharurah ‘aimiyah dan dharurah kifaiyah.[12]
Adapun dharurah ‘aimiyah, adalah
kewajiban setiap orang mukallaf, sedangkan dharurah kifaiyah, adalah
kewajiban-kewajiban kolektif.[13]
Adapun maqashid tabi’ah, di
mana di dalamnya ada porsi keterlibatan orang mukallaf. Maka dari aspek
ini dapat mewujudkan keinginan, yang bersifat kebutuhan manusia, Dan dengan
pemenuhan semua kebutuhan manusia itulah, urusan dunia dan agama dapat
ditegakkan.Ini semua dengan sebab pemberian Allah yang Maha Bijaksana. Dia
menciptakan untuk manusia keinginan untuk makan, minum, seks, keadaan panas,
dingin, sehingga manusia perlu berusaha untuk mendapatkan makanan, minuman,
pakaian, perempuan dan perumahan yang layak untuk mempertahan hidupnya untuk
kehidupan dunia dan akhirat. Karena Allah juga menciptakan surga dan neraka,
dikirim RasulNya untuk menyampaikan bahwa tempat abadi bukanlah dunia ini,
tetapi ada akhirat yang harus dipertanggungjawabkan, yang dapat membuat
seseorang bahagia atau celaka selam-lamanya.
Karena itu,maqashid tabi’ah adalah
pelengkap untuk maqashid ashliyyah.[14]
C.
Maksud-maksud
Syari’at dan Klasifikasinya
Pemebebanan hukum syari’at melekat dengan
maksud-maksudnya pada makhluk. Maksud-maksud syari’at tersebut dapat
diklasifikasikan kepada tiga macam, yaitu: dharuruyyat, hajjiyyat, dan tahsiniyyat.
1.
Dharuriyyat
Adapun dharuriyat artinya
sesuatu yang semestinya harus ada untuk menegakkan kemaslahatan, baik agama dan
dunia.Seandainya hal itu tidak ada, maka rusaklah kemaslahatan dunia tidak
bejalan dengan baik kegiatan dunia tersebut.Dan dari aspek agama, tidak
terlepas siksa Allah di akhirat dan berada dalam kerugian besar.[15]
Dharuriyyat ini
mencakup masalah dasar-dasar ibadah, adat kebiasaan dan mu’amalat.Maka masalah
pokok ibadah dari aspek perbuatan yang harus dilaksananakan untuk memelihara
agama, seperti beriman, mengucap dua kalimat syahadah, mendirikan shalat,
membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji dan lain sebagainya, yang
termasuk dalam hal-hal yang wajib dikerjakan.
Masalah adat kebiasaan meliputi hal-hal yang dapat
memelihara jiwa dan akal, yaitu makan, minum, sandang dan papan, dan lain
sebagainya.Dari sudut pandang dharuriyyat dalam
hal mu’amalat adalah memelihara keturunan dan harta, termasuk juga memelihara
jiwa dan akal.[16]
Dengan demikian maka dharuriyat seluruhnya
ada lima macam, yaitu:
1.
Memelihara
agama;
2.
Memelihara
jiwa;
3.
Memelihara
keturunan;
4.
Memelihara
harta, dan;
5.
Memelihara
akal.
Kelima hal tersebut ini berlaku secara universal dan
dalam agama apapun di dunia ini dan termasuk dalamdharurah ‘ainiyyah. Karena
setiap pribadi Muslim diwajibkan hal-hal tersebut di atas.
Al-Syathibi, membagi dharurah, kepada
dua bagian, yaitu:
1. Dharurah yang ada porsi mukallaf di dalamnya, yang bersifat
segera dan urgen. Seperti, mewujudkan kemasalahatan diri dan keluarganya dari
makan, minum, pakaian dan papan serta hal-hal lainnya yang dianalogikan
kepadanya, seperti jual beli, akad nikah dan lain-lain.[17]
2. Dharurah yang tidak ada porsi mukallaf di dalamnya, yang
bersifat segera dan urgen, baik fardhu ‘ain ataukifayah. Seperti, ibadah badaniyah atau ibadah maliyah. Contohnya fardhu ‘ain, adalah thaharah, shalat, zakat, puasa, haji
dan lain sewbagainya. Dalam hal fardhu kifayah,
seperti, pemerintahan, peradilan, jihad dan lain sebagainya yang bersifat
kepentingan umum.[18]
2.
Hajjiyat
Adapun hajjiyyat, artinya
sesuatu yang sangat diperlukan untuk menghilangakan kesulitan yang dapat
membawa kepada hilangnya sesuatu yang dibutuhkan, tetapi tidak sampai merusak
kemaslahatan umum.
Hajjiyyat ini
berlaku baik pada berbagai macam ibadah, adat kebiasan, mu’amalat dan pada
kriminal atau jinayat.Pada ibadah, umpamanya, pada dispensasi ringan karena
sakit atau bermusafir, boleh meninggalkan puasa dan menjamakkan shalat dan
memendekkannya.Pada masalah adat kebiasaan, umpanya pembolehan berburu, dan
memakan makanan yang halal dan bergizi, dan lain sebagainya. Sedangkan pada
mu’amalah dan jinayah adalah seperti melaksanakan transaksi qiradh, jual beli salam dan lain-lain. Pada jinayah,
seperti hukum sumpah atas pembunuhan berdarah (qasamah) dan
kewajiban membayar diyat pembunuhan
kepada keluarga pembunuh.[19]
3.
Tahsiniyat
Adapun makna tahsiniyyat adalah
mengambil sesuatu yang terlebih baik dari yang baik menurut adat
kebiasaan dan menjauhi hal-hal yang jelek yang tidak dirima oleh akal yang
sehat. Atau dalam arti lain, tahsiniyyat adalah
apa yang terhimpun dalam batasan akhlak yang mulia.[20] Baik
dalam masalah ibadah, seperti menghilangkan najis, melakukan berbagai macam
cara dalam bersuci, maupun dalam adat kebiasaan, seperti adab makan dan minum.
Begitu juga dalam hal mu’amalat, seperti dilarang jual beli najis dan dicegah
membunuh orang merdeka dengan sebab dia membunuh budak pada masalah jinayat
atau kriminal.[21]
D. Metode Penetapan Maqashid
Muhammad Thahir ibn ‘Asyur dalam bukunya
berjudul Maqashid Syari’ah Islamiyah, mengatakan: ada tiga
cara menetapkan maqashid syari’ah, yaitu:
1.
Dengan
cara istiqra’ (pengambilan beberapa sampel) bagi
syari’at yang diterapkan. Cara ini adalah yang terbaik dalam mendapatkan maqashid syari’ah, dan terbagi ke dalam dua macam
dan yang paling baik dari dua macam itu adalah memeriksa sampel hukum-hukum
yang telah makruf dengan illat, lalu
memeriksa illattersebut pada proses
pengambilan hukum dengan illat itu.
Dengan demikian dimungkinkan dipahama maksud syari’at.[22]
2.
Metode
mengkaji dalil ayat-ayat Al-Quran yang jelas dilalahnya, sehingga
dengan demikian kecil kemungkinan maksud suatu ayat bukan seperti lahir
penggunaan kaedah bahasa Arab atau diragukan maksud lahir maknanya.[23]
3.
Metode
melihat hadis mutawatir, baik mutawatir maknawi atau mutawatir ‘amali. Mutawatir maknawi adalahmutawatir yang diperoleh dari pengamatan prilaku
para sahabat mengamalkan semuanya apa dilihat dari pada Nabi SAW. Dengan
demikian dapat menghasilakan ilmu yang meyakinkan pada masalah agama.
Sedangkan mutawatir ‘amali adalah apa yang diperoleh oleh seorang
sahabat dari perbuatan Nabi yang berulang-ulang, sehingga dia berkesimpulan
bahwa begitulah maksud syari’at di situ.[24]
Ibn ‘Asyur menyimpulkan bahwa, maksud Syari’ dapat diketahui dengan beberapa jalan:
1. Semata-mata perintah atau larangan yang jelas
sejak awalnya;
2. Memperhatikan illat perintah
atau larangan, dan;
3. Bagi Syari’ dalam
menetapkan hukum pasti ada maksud-maksud baik asli atau cabang, maka ada yang
sudah dijelaskan, ada yang dengan isyarat dan ada pula lewat penelitian sampel
pada nash-nash hukum. Dari situlah akan dipahami
maksud Syari’.[25]
E.
Tujuan Maqashid
Al-Syari’ah
Ada
beberapa tujuan Maqashid Al-Syari’ah, antara
lain, adalah:
1.
Menuju
fiqh baru (Madrasah Moderat; dengan menggabungkan teks-teks partikular dan
maksud-maksud global).
Fiqh baru ini dibangun oleh madrasah moderat yang tidak
melupakan teks-teks partikular dari Al-Quran dan
Sunnah, tetapi dalam satu waktu juga tidak memisahkannya dari maksud-maksud
global.Bahkan teks-teks partikular tersebut dipahami dalam bingkai
maksud-maksud global.Mengembalikan furu’ kepada ushul,partikular kepada global, mutasybihat kepada muhkamat,
juga memegang teguh ijma’ ulama dan menjadikan jalan orang-orang mukmin tidak
boleh dilanggar.
Manhaj inilah
yang ditempuh para ulama penggagas dan penerus teori maqashid syari’ah, seperti al-Juwaini, al-Gazali,
Rasyid Ridha, al-Syathibi, Ibn ‘Asyur, Qaradhawi dan lain sebagainya.Madrasah
ini yang dipercaya, dijadikan sebagai gambaran yang benar tentang hakekat
Islam, membantah kebatilan orang-orang yang memusuhinya, serta berbaik sangka
kepada Allah dan RasulNya dalam semua hukumNya.[26]
Fiqh yang dihasilkan oleh mereka, bisa menjelaskan tujuan, menerangi jalan,
menyinari pandangan menuju manhaj Islam
yang lurus.Dan kita tidak ditimpa oleh kegelapan dalam memahami agama daan
dunia.[27]
2.
Menjauhi
fiqh madrasah “Zahiriyah Baru” dan menjauhi Madrasah Penganulir Teks-teks
partikulir di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Madrasah “Zahiriyah Baru”, lebih bergantung pada
teks-teks partikular, memahaminya dengan pemahaman literal dan jauh dari
maksud-maksud syari’at yang ada di belakangnya. Bahkan, mereka berpendapat
bahwa Allah bisa saja memerintahkan kita dengan hal yang Dia larang kepada
kita, serta melarang kita dengan hal-hal yang Dia perintahkan kepada kita.Dan
bahkan bisa Dia memerintahkan syirik dan melarang tauhid kepada kita.
Di antara ciri lainnya adalah keras dan menyulitkan,
sombong terhadap pendapat mereka serta tidak mau menerima pendapat orang lain
yang berbeda dengannya.[28]
Di sisi lain ada madrasah yang sangat berlawanan dengan
madrasah di atas. Madrasah ini mengklaim bahwa mereka lebih bergantung kepada
maksud-maksud syari’at dan ruh agama dengan menganulir teks-teks partikulir
dalam Al-Quran dan Sunnah.Mereka memandang bahwa agama adalah substansi bukan
simbol, isi bukan bentuk.memegang mutasyabihat dan
menolak muhkamat.[29]
Ini di antara tujuan dari pembelajaran dan pemahaman kita
tentanh maqashid syar’iah dalam ushul fiqh yang dapat
ditemukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah diteliti tentang maqashid syari’at dan hal-hal yang berkaitaan di
dalamnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Maksud-maksud
syari’at adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular
untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan
dan mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat.
2.
Maqashid
syari’at secara global terbagi
kepada ashliyyah, dan tabi’ah menurut
Abu Ishak al-Syathibi.Sedangkan Ibn ‘Asyur mengistilahkan dengan maqashid ‘ammah dan khashshah. Raisyuni menambahkan satu lagi dengan
istilah maqashid juziyyah. Dan dari
aspek lain terbagi kepada dharuriyat, hajjiyat dantahsiniyyat.
B.
Saran-saran
Setelah dipahami tentang paparan
tentang maqashid Syariah, maka perlu disarankan:
Para sarjana Muslim untuk bersikap moderat
dan terus megkaji maqashid syari’ah, sehingga dapat
merumuskan epistemologi fiqh baru, dalam upaya memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi umat Islam, tidak terlalu literal dan juga tidak
liberal.
C. Kata Penutup
Dengan
mengucap Alhamdulillah ar-Robba al-‘Alamin, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan
dengan harapan agar hasil penulisan ini memberikan manfaat dan hikmah terhadap
semua pihak yang terkait.Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya
kepada kita semua.Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ishak Al-Syathiby, Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’ah, Cet. III, Bairut: Darul Ma’rifah, Libanon, 1997.
Firdaus, Ushul Fiqh, Jakarta
Timur: Zikrul Hakim, 2004.
Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, tt.
Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab,
juz 8, tt.
Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, Maqashid Syari’ah Islamiyah, Tunisia: Darussalam, 2006
Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah.
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah,
Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2007
Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online
[1]Abu Ishak Al-Syathiby, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Cet. III,Bairut: Darul
Ma’rifah, Libanon, 1997. h. 324.
[2]Firdaus, Ushul Fiqh, Jakarta
Timur: Zikrul Hakim, 2004, h. 236
[3]Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2007,h. 155.
[4] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, tt, h.
175
[5]Imam
al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, tt, h. 161
[6]Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah,
h. 12
[7]Kamus
Besar bahasa Indonesia Versi Online
[8]Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah,
h. 12.
[9]Ibid, h. 17.
[10]Ibid, h. 18.
[11]Abu Ishak Al-Syathiby, …. H. 476.
[12]Ibid
[13]Ibid
[14]Ibid,h. 479.
[15]Ibid, h. 324.
[16]Ibid,h. 325.
[17]Ibid, h. 480.
[18]Ibid
[19]Ibid, h. 327.
[20]Ibid, h. 327.
[21]Ibid
[22]Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, Maqashid Syari’ah Islamiyah, Tunisia: Darussalam, 2006,
h. 17.
[23]Ibid, h. 19.
[24]Ibid
[25]Ibid, h. 20.
[26]Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah,
….h. 40.
[27]Ibid, h. 49.
[28]Ibid, h. 50-52.
[29]Ibid,
h. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar