MAKALAH
SEJARAH
SOSIAL HUKUM ISLAM
“MASALAH
KESATUAN DAN KERAGAMAN DALAM HUKUM ISLAM”
Dosen:
Dr. A. A.
Miftah, M.Ag
Disusun Oeh
:
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525
PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2012
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan
semesta alam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Penulis menghaturkan ucapan terima
kasih kepada bapak dosen Dr. A. A. Miftah, M.Ag yang telah memberikan bimbingan
dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Begitu pula kepada
rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang
nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalah ini.
Di dalam makalah ini, penulis
membahas mengenai Masalah Kesatuan dan Keragaman Dalam Hukum Islam yang
merupakan sub bahasan dalam mata kuliah sejarah Sosial Hukum Islam. Tentunya,
sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak
atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya
jika terdapat kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang
dirangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan
bagi para pembacanya. Amin.
Jambi, Nopember 2012
Ahmad Sholihin Muttaqin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
…………………………………………………………………
|
ii
|
DAFTAR ISI
|
…………………………………………………………………
|
iii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
||
A. Latar
Belakang
|
..…………………………………………………………………
|
1
|
B. Rumusan
Masalah
|
…..………………………………………………………………
|
1
|
BAB II PEMBAHASAN
|
||
A. Ijtihad Pada Awal
Islam
|
.
...………………………………………………………………
|
2
|
B. Terbentuk
dan Perkembangan Mazhab Fiqih
|
………………………………………………………………….
|
4
|
C. Penyerapan
Fiqih dalam Perundang-undangan di Negara Muslim
|
………………………………………………………………….
|
9
|
BAB III PENUTUP
|
||
A. Kesimpulan
|
..…………………………………………………………………
|
14
|
B. Kata
Penutup
|
…..………………………………………………………………
|
14
|
DAFTAR PUSTAKA
|
…………………………………………………………………
|
15
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah hukum sosial Islam adalah disiplin kajian ilmu
yang bisa dikatakan masih baru jika dibandingkan dengan sejarah perkembangan
hukum Islam. Dalam kajian ulum al-Quran dikenal dengan ilmu asbab
an-nuzul, dalam ulum al-Hadits dikenal dengan ilmu asbab al-wurud,
dan dari tarikh tasyri’ al-Islami lahir sejarah sosial hukum Islam,
yaitu kajian hukum Islam ditinjau dari aspek sejarah sosialnya.[1]
Secara teknis, Nisar Ahmad Faruqi memberikan pemahaman
bahwa formula yang digunakan sarjana Barat sejarah terdiri dari manusia, waktu
dan ruang (man + time + space = history). Jadian kajian sejarah
merupakan kejadian yang sudah terjadi atau masa lalu.[2]
Adapun keragaman maupun kesatuan dalam hukum Islam
yang akan dijelaskan dalam makalah ini, merupakan salah satu bahasan terpenting
dalam disiplin ilmu sejarah sosial hukum Islam yang berkisar tentang ijtihad
pada awal Islam, proses terbentuk dan perkembangan mazhab fiqih serta penyerapan
fiqih dalam perundang-perundangan di Negara Muslim.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
ijtihad pada awal Islam?
2.
Bagaimanakah
proses terbentuknya dan perkembangan mazhab fiqih?
3.
Bagaimanakah
penyerapan fiqih dalam perundang-undangan di Negara Muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ijtihad Pada Awal Islam
Secara etimologi,
ijtihadberasal dari kata اِجْتَهَدَ
- يَجْتَهِدُ- اِجْتِهَادًا yang berarti
bersungguh-sungguh.[3]Sedangkan
secara terminologi, yaitu:
عَمَلِيَّةُ
اسْتِنْبَاطِ اْلاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِلِيَّةِ فِى
الشَّرْعِيَّةِ
Artinya:
“Aktivitas untuk memperoleh
pengetahun (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at”.[4]
Ijtihad
sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam. Kemudian berkembang pada masa-masa
sahabat, tabiin, dan generasi selanjutnya hingga sekarang, sesuai dengan pasang
surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing generasi. Ijtihad
bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam.
landasan dibolehkannya ijtihad di antaranya;
1.
Firman
Allah SWT:
اِنَّا
اَنْزَلْنَا اِلَبْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
اَرَاكَ اللهِ ﴿النساء : ١٠٥﴾
Artinya:
“Sesungguhnya kami turunkan kitab
kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang
Allah mengetahui kepadamu”.[5]
2.
Hadits
Rasulullah SAW:
اِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ
اَخْطَاءَ فَلَهُ اَجْرٌ
Artinya:
“Jika seorang hakim menghukum
sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua dan bila salah maka ia mendapat satu
pahala”.[6]
Mengenai fenomena ijtihad Rasulullah, para ulama
berbeda pendapat. Sebagian ulama asy’ariyah dan kebayakan ulama muktazilah
berpendapat bahwa Nabi SAW tidak boleh dan tidak perlu melakukan ijtihad
terhadap sesuatu yang tidak ada nash-nya, untuk menetapkan halal dan haram.
Adapun ulama ushul membolehkannya. [7]
Namun, Jika dilihat dari fakta sejarah, bahwa nabi melakukan ijtihad dalam
urusan-urusan muamalat tentang keduniaan, bahkan ada dalam urusan keagamaan.
Salah satu contohnya nya ialah ijtihad Nabi tentang ketentuan azan.
Adapun mengenai ijtihad
pada masa sahabat pascawafat Nabi Muhammad tepatnya pada tahun 11 H dan
berakhir pada tahun 41 H, yaitu untuk pertama kalinya kekhalifahan dikuasai
Dinasti Umayyah. Ijtihad pada masa sahabat setelah Rasul wafat ini dipandang
sebagai satu kebutuhan yang harus dilakukan guna menyelesaikan kasus yang
ketentuan hukumnya tidak mereka jumpai secara tekstual dalam al-Quran dan Al-Sunnah.[8]
Jika dipandang dari
kasus ijtihad yang dilakukan para sahabat, maka dapat dibedakan menjadi dua
karakteristik. Pertama ijtihad pada hal-hal yang sudah disebutkan nash syari’atnya.
Kedua ijtihad sahabat pada hal-hal yang tidak dijelaskan nash syari’atnya.
Pada karakter yang kedua ijtihad, ijtihad terjadi ketika sahabat mulai
menghadapi persoalan-persoalan baru dalam perkembangan masyarakat Islam.
Dikalangan para
sahabat, terdapat perbedaan dalan ijtihad memberikan sumbangan intelektual yang
sangat berharga bagi khazanah fiqih Islam sepeninggal mereka. Terjadi
khilafiyat dikalangan sahabat menggambarkan bahwa hukum Islam pada masa
generasi-generasi awal tidak bersifat kaku dan statits, sebagaimana mana
masa-masa kemudian. Contohnya tentang penggantian kedudukan Nabi, ikhtilaf ini
cukup popular, tidak hanya sebagai ikhtilaf politik, tetapi juga
menyangkut segi fiqih secara keseluruhan dan sering disebut sebagai benih ikhtilaf
pertama pasca Rasulullah wafat.[9]
B.
Terbentuk dan Perkembangan Mazhab Fiqih
Runtuhnya pemerintahan Daulah Umayyah sekitar abad ke-2
H, menghembuskan angin baru dalam dunia fiqih. Setidaknya, hal itu
terlihat dari perhatian khulafa Bani Abbas yang sangat besar terhadap fiqih
dan fuqaha. Perhatian besar terlihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid
memanggil Imam Malik untuk mengajarkan kitab al-Muwattha’ kepada
putranya, Al-Amin dan Al-Makmun. Bahkan Harun ar-Rasyid meminta pula Abu Yusuf
untuk menyusun buku yang mengatur tentang administrasi, keuangan dan
masalah-masalah ketatanegaraan sesuai dengan ajaran Islam dan lahirlah buku Al-Kharaj
karya Abu Yusuf.[10]
Mengenai lahirnya mazhab-mazhab fiqih, fuqaha
dan mujtahid yang terkenal pada masa ini yaitu Sufyan bin Uyainah di
Mekah, Malik bin Anas di Madinah, Al-Hasan Al-Bashri di Bashrah, Abu Hanifah di
Kufah, Sufiyan Ats-Tsauri di Kufah, Al-Auza’ di Syam, Asy-Syafi’I di Mesir,
Al-Laits bin Sa’ad di Mesir, Ishaq bin Ruwaih di Naisabur, Ats-Tsaur di
Baghdad, Ahmad bin Hambal di Baghdad, Dawud Azh-Zahiry di Baghdad dan Ibnu
Jarir Ath-Thabary di Baghdad.[11]
Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan para imam mazhab fiqih di
kalangan Sunni. Selain itu, terdapat pula mazhab-mazhab yang dikenal
dalam kelompoh Syi’ah, sepeti mazhab Zaidiyah, mazhab Imamiyah, Mazhab
Isma’iliyah dan Mazhab Ibadhiyah.[12]
Menurut Ibrahim Ad-Dasuqy pada masa ini terdapat sampai
18 mazhab. Sebagian diantaranya masih ada dan terus berkembang seperti mazhab
Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’I, Hambali, Syi’ah Zaidiyah, Syiah Imamiyah, Ibadhi
dan Zhahiry. Adapun mazhab lainnya seperti mazhab Hasan Al-Bashri, Amir
Ast-Sya’by, Auza’I Laitsi, Sufyan Ats-Tsauri dan Ath-Thabari tidak berpengikut
lagi.[13]
Pada zaman ini pula muncul kitab hadits yang enam, yang dikarang oleh
al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), Abu Daud (w.275 H), At-tirmidzi (w.279
H), Ibnu Majah (w.373 H) dan An-Nasa’I (w.203 H).
Namun dilihat dari sebaran mazhab dan masih berlaku
secara alamiah, ada mazhab yang masih hidup dan ada yang punah. Dalam analisis
Cih Hasan Bisri dikatakan sebagai berikut:
“Pertama, dalam komunitas Sunni terdapat tiga
belas mazhab, diantaranya empat mazhab masih berkembang (Hanafi, MalikiSyafi’I
dan Hanbali). Kedua, dalam komunitas Syi’I terdapat empat mazhab,
diantaranya tiga mazhab yang masih berkembang (Ja’fari (Imami), Zaidi dan
Isma’ili). Ketiga, dalam komunitas Khawarij hanya terdapat satu mazhab
yang masih berkembang yakni mazhab Ibadi)”.[14]
Kitab-kitab fiqih pun pun mulai disusun pada periode ini,
dan pemerintah mulai menganut salah satu mazhab fiqih resmi negara, seperti
dalam peemerintahan Daulah Abbasiah yang menjadikan mazhab Hanafi sebagai
pegangan para hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab-kitab
ushul fiqih, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafi’i.[15]
Mazhab Auza’i yang
semula berkembang pesat di Syam hanya bertahan selama dua ratus tahun, kemudian
melemah dan berpaling ke mazhab Imam Malik. Sedangkan mazhab Hasan Bashri dan
Tsauri tidak berumur panjang karena masyarakat Syam dan Bagdad
sebagian besar beralih ke mazhab Malik dan Hanafi
Perkembangan yang cukup
melonjak adalah mazhab Syafi’i. Semula hanya berkembang di Mesir tetapi kemudian
merambah ke baghdad, Iraq, dan masuk ke Khurasan, Syam, Yaman, hingga sekarang.
Setelah tiga ratus tahun dari perkembangannya, mazhab Syafi’i juga muncul di
Afrika dan Andalusia. Mazhab Imam Ahmad bin Hambal yang berkembang di Baghdad
menyebar pula di Syam tetapi sekarang mulai melemah.
Mazhab Thabari dan Abu
Tsauri tidak bertahan lama. Persaingan yang begitu ketat menjadikan mazhab
Thabari hanya bertahan selama empat ratus tahun dan Abu Tsaur selama tiga ratus
tahun. Para pengikut Daud al- Zhahiri yang semula berkembang di Baghdad dan
Persia dan sedikit di Afrika dan Andalusia sekarang sangat lemah.
Demikian perkembangan
dan pergumulan mazhab-mazhab fiqh berlangsung dengan sangat intens dan
konstruktif. Mazhab-Mazhab itu memang tidak melemah atau menghilang dengan
sedirinya, tetapi melalui uji coba, verifikasi ilmiah dan operasional ruang dan
waktu yang panjang sekitar enam ratus tahun . dengan kata lain keempat Mazhab,
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, telah melewati masa penggodokan yang panjang
dari generasi taqlid dimana ulama generasi ini hanya memusatkan
kajian-kajiannya untuk pengembangan fiqh dan mencari relevansinya untuk
pengembangan lebih lanjut dalam bentuk metode mereka berijtihad.[16][15]
Pada pertengahan abad keempat Hijriyah (350 H) terjadi
periode taklid atau jumud, beku, dan statis. Menurut sebagian fuqaha Sunni,
periode ini disebut juga periode penutupan pijntu ijtihad. Yang berlanjut
sampai sekarang. Hal ini secara fakta sejak periode ini tradisi taklid
sudah meluas dikalangan masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat perkembangannya
dalam masyarakat sekarang. Sselain itu periode juga dikenal sebagai masa
meredupnya semangat dan keinginan para ulama untuk melakukan ijtihad mutlak dan
kembali pada dasar syari’at yang pokok dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalah hukum. Bahkan mereka membatasi diri dengan mengikuti
produk-produk hukum yang telah dihasilkan oleh para mujtahid sebelumnya.[17]
Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab
menjadi tertutupnya pintu ijtihad pada operiode ini, yaitu sebagai berikut:
1. Munculnya
sikap ta’asub mazhab (fanatisme maszhab imamiyah) dikalangan pengikut
mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam
mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabiyah untuk
berijtihad.
2. Dipilihnya
para hakim yang hanya bertaklid pada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk
menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqih yang diterapkan hanyalah hukum
fiqih mazhabnya sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh
penguasa adalah mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab.
3. Munculnya
buku-buku fiqih yang disusun oleh tiap-tiap mazhab, hal ini pun menurut Imam
Muhammad Az-Zahrah membuat umat islam mencukupkan diri mengikut yang tertulis
dalam buku-buku tersebut.[18]
Adapun sekilas tentang sebab-sebab terjadinyaperbedaan pendapat para mujtahid dan terbetuknya
mazhab-mazhab bisa difahami terlebih dahulu ketika pada periode Rasullullah saw tidak terjadi perbedaan
pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah yang terjadi, sebab standar dan
rujukannya cuma satu. Berbeda ketika periode sahabat sudah banyak mucul tokoh tasyri’
yang di antara mereka banyak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan suatu
hukum yang terjadi, bahkan sikap dan fatwa para sahabat bermacam-macam
mengenai satu masalah saja. Perbedaan ini terjadi disebabkan ada perbedaan
dalam memahami maksud ayat al-Qur’an, juga berbeda karena perbedaan tingkat dan
kapasitas kecerdasan mereka dan perbedaan cara analisis mereka. Demikian juga,
pemahaman dan sikap mereka terhadap hadits Nabi juga berbeda-beda. Terkadang diantara para sahabat
itu ada yang berpegang kepada hadis Nabi sedang yang lain tidak.[19]
Perbedaan pendapat
mengenai garis penetapan perundang-undangan di kalangan imam mujtahid itu
berpangkal pada perbedaan mereka dalam tiga persoalan :
1.
Perbedaan
mengenai penetapan sebagai sumber-sumber hukum.
2.
Perbedaan
mengenai pertentangan penetapan hukum dari tasyri’.
3.
Perbedaan
mengenai prinsip-prinrsip bahasa yang sesuai dalam memahami nash-nash syari’at.
Adapun perbedaan mereka
dalam menetapkan sebagian sumber-sumber hukum akan nampak jelas
dalam hal-hal berikut :
1.
Perbedaan
para mujtahid dalam mengambil sumber hukum Islam berdasarkan latar belakang
masing-masing mujtahid, misal : imam Malik dan rekan-rekannya hanya berpegang
pada hadits-hadits yang di pandang kuat oleh fiqh Madinah. Mereka menolak
hadis-hadist ahad sebagai sumber hukum, sedangkan imam mujtahid lainnya
berhujjah dengan hadist yang di riwayatkan oleh periwayat yang Tsiqah (terpercaya)
tanpa melihat dari daerah mana mereka berasal.
2.
Dalam
hal qiyas dan analogi
Sebagian imam mujtahid dari kalangan Syi’ah
dan Zhahiriyah menolak berhujjah menggunakan qiyas atau analogi,
mereka menolak qiyas dijadikan sebagai sumber hukum, sedangkan imam-imam
mujtahid yang lainnya menggunakan qiyas sebagai sumber hukum Islam setelah
al-Qur’an, hadist, ijma’.[20]
Adapun perbedaan pendapat mereka dalam hal pertentangan
penetapan hukum dari perundang-undangan nampak jelas dengan terbaginya mereka
dalam kelompok ahli ra’yu (rasional) dan ahli hadits. Ahli ra’yu dalam memahami
teks nash dengan pendekatan rasional, yaitu berdasarkan tujuan nash tersebut,
sedangkan ahli hadist dalam memahami nash dengan menggunakan pendekatan
tekstual tanpa menganalisis i’llat-‘illat hukumnya. Misalnya:
فرض رسول الله صلعم زكاةالفطرصاعامن
تمراوصاعامن شعير (رواه مسلم عن ابن عمر)
”Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu
sha’kurma atau gandum (HR. Muslim dari ibn Umar)”
Dalam memahami hadist tersebut ahli hadits berpatokan pada teks hadits artinya, jika berzakat harus
di keluarkan kurma atau gandum satu sha’. Sedangkan ahli ra’yu dari
segi tujuan syari’at (maqasid al-syari’ah) bahwa tujuan zakat
adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup orang-orang fakir-miskin, maka menurut
ahli ra’yu berzakat boleh menggunakan barang lain yang seharga dengan satu sha’
kurma atau gandum.
3.
Adapun
perbedaan mereka mengenai sebagian prinsip-prinsip pokok bahasa terjadi
perbedaan analisis mengenai uslub (gaya) bahasa Arab. Sebagian mereka ada yang
menetapkan hukum berdasarkan Mantuq (bunyi lafalnya), ada yang
memahami berdasarkan mafhum mukhalafahnya artinya kebalikan dari
yang disebutkan dalam nash. Ulama lain berpendapat kata amr (perintah)
menunjukkan arti wajib tidak selainnya, sementara ulama lain berpendapat amr hanya
menunjukkan pada tuntutan untuk mengerjakan sesuatu. Indikasi atau alasan (qarinah) nya
lah yang menentukan kepada perintah wajib atau sunatnya.[21]
C.
Penyerapan Fiqih dalam Perundang-undangan di Negara Muslim
1. Saudi Arabia
Perkembangan dan
penyerapan fiqih di Saudi Arabia adalah sangat menarik untuk
dikemukakan, secara umum telah diketahui bahwa Saudi Arabia didirikan atas
pandangan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab, yang berpegang kepada hukum syari’ah
IslamiyahMadzhab Salafush-Shalih, yang memerangi bid’ah dan khurafat. Hukum
yang berlaku sebagaimana pada zaman Khulafa ar-Rasyidin, yaitu
berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pada waktu Daulah Utsmaniyah
yang menjadi pegangan pokok adalah madzhab Hanafi, dan dipakai juga madzhab
Syafi’i di Hijaz dan madzhab Hanbali di Najd.Setelah Abdul Aziz ibn Su’ud
berkuasa, hukum pengadilan ditentukan madzhab Hanbali sehingga madzhab ini
menjadi madzhab yang resmi di seluruh Kerajaan Saudi. Oleh Karena itu, buku
pegangan bagi hakim pengadilan adalah kitab Syarah Al-Muntaha dan Syarah
Iqna’. Apabila tidak ada nash, diambil dari Syarh Zad al-Ma’ad dan Syarh
Dalilul Falihin, atau juga dari kitab lain yang lebih luas dan diambil
keputusan yang lebih rajih. Berdasarkan keputusan Raja tahun 1930 M, yang
di nashkan dalam kitab-kitab Imam Ahmad diamalkan tanpa musyawarah oleh anggota
mahkamah, apabila tidak ada nash mereka harus ijtihad dan anggota mahkamah
harus berkumpul untuk ijtihad bersama (ijtihad jama’i), adapun tentang
ibadat sesuai dengan madzhabnya yang dianut masing-masing.
Disamping itu
dikeluarkan pula peraturan perundang-undangan:
a.
KUH
Acara, untuk mengatur tata kerja acara pengadilan tahun 1938, kemudian tahun
1952.
b.
KUH
Dagang tahun 1931, KUHD adalah KUH yang sangat penting di Saudi Arabiah. Baik
perdagangan darat maupun dilautan, terdiri dari 633 pasal.
c.
Undang-undang
Hukum Pidana pada tahun 1951 (1370) dikeluarkan Undang-undang Pidana terutama
dalam masalah ta’zir, tentang minuman khamar,liwath, dengan
penjara dan jilid, atas diyat 1000 real, dan lain-lain.
Selain undang-undang, ada peraturan-peraturan hukum pidana militer tahun 1951, peraturan-peraturan tentang perhubungan, kendaraan dan lain-lain tahun 1942.
Selain undang-undang, ada peraturan-peraturan hukum pidana militer tahun 1951, peraturan-peraturan tentang perhubungan, kendaraan dan lain-lain tahun 1942.
d.
Peraturan
kerja dan bekerja. Peraturan ini dikeluarkan tahun 1947, berhubung dengan
pekerjaan syarikat perminyakan antara Arab dan Amerika. Dasarnya adalah
hukum-hukum syara’ untuk kemaslahatan umum.
e.
Peraturan
pajak. Peraturan ini dikeluarkan karena meluasnya yang harus dibiayai oleh
kerajaan, sehingga diharuskan adanya pajak. Dalam hal ini pajak dihubungkan
dengan zakat syari’ah dan kewajiban pajak bagi syarikat perusahaan.
f.
Peraturan-peraturan
lain-lain.[22]
2.
Mesir
Negara Mesir adalah
negara yang memiliki Undang-Undang Dasar tanggal 11 September 1971.Walaupun
Negara tersebut adalah suatu negara demokrasi, Negara Sosialis yang didasarkan
pada aliansi kekuasaan rakyat yang berpengaruh, sebagaimana ditetapkan dalam
pasal 1 UUD Mesir itu. Namun dalam pasal 2 UUD Mesir dengan tegas menyatakan
bahwa Islam adalah agama Negara dan Bahasa Arab adalah Bahasa resmi Negara.
Dalam pasal yang sama ditegaskan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam merupakan
sumber utama dalam pembuatan Undang-Undang. Dengan perkataan lain secara
implisit sebenarnya Negara Republik Arab Mesir adalah suatu Negara yang ingin
menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan sosial yang bersumber dari ajaran dan
hukum Islam.
Persamaan dihadapan hukum adalah salah satu ciri demokrasi Islam. Secara konstitusional Republik Arab Mesir telah mencantumkan prinsip tersebut untuk memberikan suatu ciri khusus sebagai suatu Negara Hukum. Adapun Undang-undang di mesir, sebagai berikut:
Persamaan dihadapan hukum adalah salah satu ciri demokrasi Islam. Secara konstitusional Republik Arab Mesir telah mencantumkan prinsip tersebut untuk memberikan suatu ciri khusus sebagai suatu Negara Hukum. Adapun Undang-undang di mesir, sebagai berikut:
a.
Undang-Undang
hukum Pidana
Undang-Undang ini keluar tahun 1937 No.
58 Tahun 1937, memuat 395 pasal dilengkapi pula dengan Undang-Undang No. 68,
136, 290-308 Tahun 1956 dan Undang-Undang No. 112 Tahun 1958.
b.
Undang-Undang
Perdata (Madina)
Undang-Undang perdata Mesir mengalami
sejarah yang panjang mulai Tahun 1936, kemudian diganti dengan Undang-Undang
Tahun 1938, Tahun 1942 Tahun 1945. 1948. 1949. Undang-Undang perdata Mesir
memuat 1149 pasal, yang mengambil tiga sumber : perbandingan Undang-Undang,
ijtihad Hakim Mesir , dan dari syari’at Islam. Dalam pasal pertamanya
dinyatakan bahwa hakim harus berpegang kepada prinsip-prinsip syari’ah
Islamiyah di kala tidak ada nash atau uruf.
c. Undang-Undang hukum acara perdata dan
acara dagang.
Undang-Undang ini dikeluarkan Tahun 1944, kemudian
diperbaiki Tahun 1949, undang-undang ini memuat 858 pasal ditambah kitab
keempat dengan undang-undang No. 126 Tahun 1951, tentang hukum acara ahwal
syahsyiyah sehingga menjadi seluruhnya 1230 pasal, yang diperkuat dengan
undang-undang No. 137 Tahun 1956.
d.
Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
KUHP
Mesir keluar Tahun 1950 dengan undang-undang No. 150 Tahun 1950, terdiri dari
560 pasal terbagi kepada empat kitab. Undang-Undang ini diperkuat dengan
undang-undang No. 121 Tahun 1958, undang-undang No. 37, 113 Tahun 1957, No. 45
Tahun 1958.
e.
Undang-Undang
Hukum Syar’i lainnya.
Selain
undang-undang tersebut di atas di Mesir dikodifisir pula hukum-hukum sebagai
berikut :
1)
Undang-Undang
Mawaris tahun 1934
Dalam
undang-undang ini diambil dari berbagai madzhab, dengan berpegang pokok pada
kitab Qudry Pasha Kitab Mursyid Al-hairaan Ila Ma’rifati Ahwaal al-Insaan.
2)
Undang-Undang
tentang wakaf tahun 1946, diperbaharui dengan undang-undang tentang wakaf No.
180 tahun 1952, yang menghapuskan wakaf ahli (selain wakaf khairi-dijadikan
Lembaga Hibah, dan diperbaharui pula dengan undang-undang No. 29 tahun 1960.
3)
Undang-Undang
tentang wasiat, tahun 1946. Undang-Undang ini mengambil bermacam-macam
madzhab seperti dari Hanafi dan mengambil juga dari madzhab Ja’fari yang
membolehkan wasiat kepada waris (ps.27). Dan mengharuskan wasiat dengan
tertulis secara resmi (ps. 2) dan lain-lain.[23]
3.
Libanon
Libanon seperti
negeri Arab lainnya pernah di bawah Daulat Ustmaniyah. Ssetelah perang dunia I,
Libanon berdiri sendiri dan mengambil hukum sendiri. Disamping berdasarkan
syari’at, juga mengambil dari hukum Prancis dan Eropa lainnya. Perundang-undangan
yang dibuat diantaranya adalah:
a.
Undang-undang
Kepemilikan, (hak milik) Undang-undang no. 186-189 tahun 1926.
b.
Undang-undang
Kewajiban-kewajiban dan perjanjian-perjanjian, tahun 1932.
c.
Undang-undang
Hukum Acara Perdata, tahun 1933.
d.
Undang-undang
Hukum Dagang Laut/ Kelauutan, tahun 1934.
e.
Undang-undang
Hukum Acara Pidana, tahun 1948.
f.
Undang-undang
yang lainnya.
Adapun mengenai penyerapan
penulisan kitab-kitab fiqh seperti halnya di Mesir, fiqh ditulis dengan
uraian-uraian secara keilmuan, tidak lagi menjadi kesatuan fiqh seluruhnya,
melainkan kitab fiqh dalam satu maudlu, seperti kitab waqf susunan Zudi Yakun,
dan lain-lain kitab penerbitan Libanon yang mengkompilasikan pendapat-pendapat
madzhab-mazhab.
Selain undang-undang
tersebut ada pula undang-undang tentang wakaf tahun 1947 sama dengan
undang-undang wakaf di Mesir yang menghapuskan lembaga wakaf dzurri menjadi
hibah. Bagi kaum sunni masalah diajukan ke Mahkamah Sar’iyah Ja’fariyah. Bagi
kaum Druz, undang-undang Al-Ahwal Syahsiyah tahun 1948, khusus berdasarkan
ijtihad setempat. Bagi non muslim diundangkan pula undang-undang bagi non
muslim seperti hukum waris bagi non muslim, tahun 1959, dan undang-undang
tentang wasiyat.[24]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Ijtihad
sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam. Kemudian berkembang pada masa-masa
sahabat, tabiin, dan generasi selanjutnya hingga sekarang, sesuai dengan pasang
surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing generasi. Ijtihad
bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam.
2.
Dalam komunitas Sunni terdapat tiga belas
mazhab, diantaranya empat mazhab masih berkembang (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
Hanbali). Dalam komunitas Syi’I terdapat empat mazhab, diantaranya tiga mazhab
yang masih berkembang (Ja’fari (Imami), Zaidi dan Isma’ili). Dalam komunitas
Khawarij hanya terdapat satu mazhab yang masih berkembang yakni mazhab Ibadi.
3.
Penyerapan
fiqih dalam perundang-undangan di Negara Muslim masih terlihat diberbagai
Negara, diantranya Saudi Arabia, Mesir dan Libanon.
B.
Kata Penutup
Dengan
mengucap Alhamdulilla ar-Robba al-‘Alamin, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan
dengan harapan agar hasil penulisan ini memberikan mamfaat dan hikmah terhadap
semua pihak yang terkait. Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya
kepada kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahan, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1998.
Abdullah, Sulaiman, Sumber
Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, cet. I,Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2004.
Al-'Utsaimin,Muhammad bin Sholeh,Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, alih
bahasa Abu
SHilah & Ummu SHilah, http://tholib.wordpress.com, 2007.
Asy’ari, Suaidi, Panduan
Penulisan Karya Ilmiah; Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi,
2011.
Bisri,Cik Hasan,Model
Penelitian Fiqih Jilid I: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian, Jakarta:
Prenada Media, 2003.
Ismatullah,Dedi,Sejarah
Sosial Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.
Khalaf, Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Pesada , 2002.
Nasution,Harun,Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI-pers, 1986.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010.
Syafe’I,Rahmat,Ilmu
Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Sya’ban, Muhammad Isma’il, At-Tasyri’
Al-Islami: Mashdariuh wa Ath-Waruh, Mesir: Maktabah An-Nadhlah
Al-Mishriyyah, 1995.
Yunus, Mahmud,Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hadikarya,
1990.
Tahir Azhary, Muh, Negara Hukum, Bulan Bintang.
Bandung: Mizan, 2001.
[1]
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2011, h. 17.
[2]
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010,
h. 31. Dikutip dari Nisar Ahmad Faruqi, Earlyt Muslim Historiography, Delhi:
Idarah Adabiyati, 1979, h. 3.
[3]Mahmud
Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hadikarya, 1990, h. 34
[4]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 99
[5]
Al-Nisa (3) : 105
[6]HR.
Imam Muslim
[7]
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, h. 180.
[8]Dedi
Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, h. 228.
[9] Ibid, h. 280
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, h.
103.
[11] Muhammad Isma’ilSya’ban, At-Tasyri’
Al-Islami: Mashdariuh wa Ath-Waruh, Mesir: Maktabah An-Nadhlah
Al-Mishriyyah, 1995, hlm. 94
[12]Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta:
UI-pers, 1986, h. 19
[13]Muhammad
Isma’ilSya’ban, At-Tasyri’, h. 353
[14]Cik
Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih Jilid I: Paradigma Penelitian Fiqh dan
Fiqh Penelitian, Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 141
[15]Ibid.
[16]Ibid., h.
81-82
[17]Dedi
Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, h. 113.
[18]Ibid,
h. 115
[19]Abdul Wahab Khalaf, Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Pesada , 2002, cet II, h. 91
[20]Ibid., h.
94
[21]Ibid.,h.
100
[22]Muhammad
Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Bandung: Mizan, 2001, h. 54.
[23]Ibid,
h. 57
[24]Ibid,
h. 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar