Sabtu, 04 Oktober 2008

THAHARAH

MAKALAH
HADITS
“THAHARAH”

 






DI SUSUN OLEH :

A. SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. UT. 060741


DOSEN PENGAJAR :

DIAN FITRIANI, S.S.I

FAKULTAS USHULUDDIN
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2008

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, berkat rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Hadits II” yang berjudul “Thaharah” dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima kritik dan saran dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun guna perbaikan kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita harapkan.Semoga makalah ini bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa, khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, 22 Oktober 2008

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………….…………………………………………………… i
DAFTAR ISI           ……………………………………………………...……….….…… ii
PENDAHULUAN 
A.   Latar Belakang ………………………………..………………..…….…….1
B.   Pokok Masalah ………………………………………..……………………1
PEMBAHASAN
A.   Air ………………………………………………………………………….. 2
B.   Wudhu …………… … …………....……………………………………… 4
C.   Mandi Janabah …..…………………….………………………………….6
PENUTUP
  1. Kesimpulan …………………………….…………………………………10
  2. Saran …………………………………………………………………….. 10
DAFTAR PUSTAKA ............……………………………………………...........11

PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam Islam. At-Taharah menurut istilah bahasa artinya bersih, sedangkan menurut istilah syari’at ialah mengerjakan hal-hal yang membolehkan seseorang memasuki shalat, yaitu berupa wudhu, mandi janabah, tayammum dan menyujikan najis.
Islam menuntut kaum muslim untuk membersihkan hatinya dari syirik, dengki dan iri hati. Dalam hal ini, Allah SWT telah berfirman :
اِنَّ اللهِ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih”
Demikian juga hadits yang diriwiyatkan Imam Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ari, ia berkata : Bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Kesucian itu sebagian dari Iman. Bacaan Alhamdulillah memenuhi timbangan. Subhanallah wa alhamdulillah memenuhi apa yang berada di antara langit dan bumi. Sedangkan shalat adalah pelita, sedekah adalah bukti, kesabaran adalah cahaya dan al-Quran adalah hujjah yang membenarkan atau menyalahkanmu. Setiap orang pegi pagi hari dan menjajakan diri (berkorban di jalan Allah), maka ia telah memerdekakan atau justru akan membinasakannya. “ (HR. Muslim)

B.   Pokok Masalah
Demi terfokusnya pembahasan dalam makalah ini dan berdasarkan tugas yang telah diberikan oleh dosen, maka penyusun akan mengetengahkan permasalah tentang air, wudhu dan mandi janabah.
PEMBAHASAN
A.   Hadits Tentang Air
Air Mutlak adalah air yang suci dan menyucikan. Yaitu air yang masih murni dan belum tercampuri oleh sesuatu (najis). Adapun air itu sendiri terdapat beberapa macam, di antaranya adalah :
a.    Air Laut
حدثنا ابى هريرة رضى الله عنه سَألَ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلمَ فَقال يارسولَ اللهِ إنَّ نَرْكَبُ البحرَ ونحملُ معنَا القليلَ من الماءِ فإنْ توضَّأْنا بهِ عَطِشْنَا أفتوضأُ بماء البحرِ فقال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم هو الطهورُ ماؤُهُ الحلُّ مَيْنَتُهُ (رواه الخمسة)
Artinya :
Abu Hurairah RA menceritakan : Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah, kami berlayar di laut dan hanya membawa sedikit air sebagai bekal. Jika kami pergunakan air tersebut untuk berwudhu, maka kami akan kehausan. Untuk itu, apakah kami boleh berwudhu dengan menggunakan air laut? Rasulullah menjawab : Air laut itu suci dan menyucikan, dimana bangkai hewan yang berada di dalamnya pun halal”. (HR. Khamsah)
Imam tarmidzi mengatakan : “Ini adalah hadits hasan shahih”. Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Ismail Al-Bukhori mengenai hadits ini dan beliau mengatakan, bahwa ini adalah hadits shahih.


b.    Air Hujan, Salju dan Embun
Pendapat mengenai kesucian air diatas yang dapat dipergunakan untuk bersuci disandakan pada hadits :
حدثنا ابى هريرة رضى الله عنه كَانَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلمَ إذا كَبَّرَ فِى الصلاةِ سَكَنَ هُنَيْهَةً قبلَ القراءةِ فقلتُ يارسولَ اللهِ بِأيي انتَ وأُمي ارأيتَ سُكُوْتَكَ بينَ التكبيرِ والقرأةِ ماتقولُ؟ قالَ اقولُ اللهمَّ باعِدْ بيني وبينَ خطايَايَ كما باعَدْتَ بين المشرقِ والمغربِ اللهم نَقِّنِيْ مِنْ خطايايَ كما يُنّقَّى الثوبُ الاَبْيضُ مِن الدَّنَسِ اللهم اغْسِلني من جطايايَ بالثَّلجِ والماءِ والبرد (رواه الجماعة الا الترمذى)
Dari Abu Hurairah RA berkata : “Apabila Rasulullah telah bertakbir di dalam shalatnya, beliau berdiam sejenak. Lalu bertanya : Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah apa yang engkau baca tatkala berdiam di antara takbir dan bacaan al-fatihah di dalam shalatmu? Beliau menjawab : Aku mengucapkan do’a : Ya Allah, jauhkanlah Aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku, sebagaimana kain putih yang dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, bersihkanlah Aku dari kesalahan-kesalahanku dengan es, air dan embun”. (HR. Jama’ah kecualI Turmudzi)
Demikian halnya dengan air laut, sumber-sumber air, telaga dan sungai.


c.    Air yang berubah karena lama tidak mengalir
Air jenis ini disebabkan oleh tempatnya, atau karena tercampur dengan sesuatu yang memang tidak bisa dipisahkan dari air itu sendiri, seperti lumut atau daun yang berada dipermukaan air, dalam hal ini para ulama telah bersepakat menyebutnya sebagai air mutlak.[1]

B.   Hadits Tentang Wudhu
حدثنا جنيب بن حسن حدثنا يوسف القاضى حدثنا احمد بن عيسى حدثنا ابن وهب وحدثنا محمد بن حسن بن قتيبه حدثنا حرملة بن يحيى حدثنا ابن وهب قال : حدثنا يونس عن ابن شهاب ان عطاء بن يزيد الليثى اخبره ان حمران مولى عثمان اخبره ان عثمان بن عفان رضى الله عنه دَعَا بوضوءٍ فتوضأَ فغسلَ كفّيهِ ثلاثَ مرّاتٍ ثم مَضْمَضَ واستنثَرَ ثم غسل وجههُ ثلاث مرات ثم غسل يدَهُ اليمنى الى المرفق ثلاث مرات ثم غسل يده اليسرى مثل ذلك ثم مسح رأسَه ثم غسل رِجلَهُ اليمنى الى الكعبين ثلاث مرات ثم غسل  اليسرى مثل ذلك ثم قال رأيت رسولَ الله صلى الله عليه  وسلم من توضأ نحوُ وضوئىِ هذا ثم قامَ فركع ركعتين لا يحدِّثُ فيهما نفسَه غفرله ما تقدم من ذنبهِ (رواه مسلم)
Artinya :
Habib bin Hasan menceritakan Yusuf al-Qadhy menceritakan Ahmad bin Isa menceritakan Ibnu Wahab menceritakan Muhammad bin Ibrahim bin Ali menceritakan Muhammad bin Hasan bin Qutaibah menceritakan Harmilah bin Yahya menceritakan Ibnu wahab berkata Yunus menceritakan dari Ibnu Syihab sesungguhnya Atha’ bin Yazid Al Laitsyi memberi tahu kepadanya, bahwa Humran, budaknya Usman bin Affan bercerita kepadanya, bahwa Usman minta air untuk berwudhu. Mula-mula dicucinya kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung. Kemudian dia mencuci muka tiga kali. Kemudian mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali. Sesudah itu membasuh tangan kiri seperti itu, kemudian menyapu kepala. Kemudian membasuh kaki kanan hingga dua mata kaki tiga kali. Kemudian membasuh kaki kiri seperti itu. Kemudian berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah SAW, berwudhu seperti wudhu ku ini, lalu beliau bersabda: “Siapa berwudhu seperti ini, dan lalu shalat dua raka’at tanpa bercakap dengan hatinya sendiri (tanpa berangan-angan), di ampuni Allah dosa-dosanya yang terdahulu”. (HR. Muslim)[2]
Kalimat wudhu diambil dari kali wadha’at yang berarti bagus atau bersih. Wudhu untuk shalat itu membuat baik dan bersih orang yang berwudhu. Wudhu itu ditetapkan berdasarkan al-Quran, sunnah dan ijma’.
Al-Quran, ialah firman Allah Ta’ala.
يَآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلىَ الصَّلوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ اِلىَ الْمَرَاِفقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلىَ الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (al-Maidah : 6)
As-Sunnah, ialah sabda Nabi SAW yang artinya,
“Allah tidak berkenan menerima shalat orang yang masih menanggung hadats sebelum ia berwudhu”.
Ijma’, ialah tidak adanya perelisihan kaum muslimin tentang masalah ini.
Wudhu hukumnya wajib bagi seseorang yang sudah akil baligh, ketika akan menjalankan shalat, atau ketika akan melakukan sesuatu yang keabsahannya disyaratkan harus berwudhu, seperti shalat, dan thawaf di Ka’bah.
Berdasarkan hadits di atas tata cara berwudhu yang sempurna ialah :
1.        Jika hendak berwudhu, konsentrasikan niat berwudhu dengan cara bahwa berwudhu adalah bertujuan menghilangkan hadats kecil.
2.        Basuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali seraya membaca Bismillahi Walhamdulillah.
3.        Berkumurlah sebanyak tiga kali dengan sungguh-sungguh.
4.        Sedotlah air dengan hidung sebanyak tiga kali lalu semburkan sebanyak tiga kali pula.
5.        Basuhlah wajah sebanyak tiga kali. Mulai dari bagian atas jidat sampai bagian bawah dagu.
6.        Basuhlah sepasang lengan bersama dengan siku sebanyak tiga kali seraya digosok yang dimulail dengan sebelah kanan.
7.        Usaplah seluruh kepala dengan menggunakan sepasang telapak tangan mulai kepala bagian depan sampai bagian belakang.
8.        Setelah mengusap kepala, usaplah sepasang telinga dengan menggunakan air yang baru atau dengan menggunakan air yang dipakai untuk mengusap kepala kalau memang masih ada.
9.        basuhlah sepasang kaki sebanyak tiga kali sambil menggosoknya, yakinkan bahwa air sudah merata termasuk ke telapak kaki berikut mata kakinya.
10.     Setelah berwudhu bacalah doa Asyhadu Anal Ilaha Illallah, Wahdahu La Syarika Lah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluh. Allahummaj’alni min Al-Tawwabina Waj’alni min Al-Mutathahhirin.
11.     Setelah berwudhu maka shalatlah sebanyak dua raka’at dengan khusyu’.
12.     Wudhu harus dilakukan secara maraton, jika sudah membasuh salah satu anggota wudhu, maka harus dilanjutkan pada anggota yang berikutnya tanpa menunggu waktu yang lama.
13.     Wudhu harus dilakukan secara tertib menurut urutan yang telah ditentukan oleh syari’at.[3]

C.   Hadits Tentang Mandi Janabah
عن عائشةَ قالتْ كانَ رسولُ اللهِ صلى الله عليهِ  وسلَّمَ اذا اغتسلَ من الجنابَةِ يَبْدَأُ فيغسلُ يديهِ ثم يُفْرِغُ بيمينهِ على شمالهِ فيغسلُ فرجَهُ ثم يتوضأُ وضوئَهُ للصلاة ثم يأخذُ الماءَ فيُدخلُ اصابِعَهُ فى اصولِ الشَّعْرِ حتى اذا رأى انْ قد اسْتَبْرَأَ حَفَنَ على رأسهِ ثلاثَ حفنَاتٍ ثم أفاضَ على سائِرِجسدهِ ثم رجلَيْهِ

Artinya :
Dari Aisyah RA, katanya : “Apabila Rasulullah SAW, mandi junub, mula-mula dicucinya tangannya. Kemudian dituangkannya air dengan tangan kanan ke tangan kiri, lalu dicucinya kemaluannya. Sesudah itu beliau mengambil wudhu seperti wudhu untuk shalat. Kemudian diambilnya air, lalu dimasukkannya dengan anak-anak jarinya ke akar-akar rambut, sehingga apabila dirasanya telah merata, maka disiramkannya air ke kepalanya tiga kali. Kemudian disiramnya ke seluruh tubuhnya dan sesudah itu dicucinyanya kedua kakinya. (HR. Muslim)[4]
Jika wudhu adalah menyucikan beberapa anggota tubuh tertentu, maka yang maksud dengan mandi adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan air yang suci dan menyucikan. Itulah yang kita sebut dalam bahasa Arab dengan istilah istihmam.
Ada mandi yang wajib bagi laki-laki dan perempuan secara keseluruhan, yakni mandi karena junub dan yang serupa dengan itu adalah memandikan jenazah. Ada pula yang hanya wajib bagi kaum perempuan, yakni sehabis haidh, nifas sehabis melahirkan jika darah telah tidak mengalir lagi.[5]
Apabila ingin mandi janabah yang memenuhi semua kewajiban dan kesunatannya,adalah sebagai beikut :
Hadirkan di dalam hati niat untuk bersuci dari janabah. Sambil membaca Bismillah, basuhlah kedua tangan sebanyak tiga kali, lalu basuhlah kedua tangan sebanyak tiga kali, lalu cucilah kelamin (istinja’), lalu berwudhulah seperti biasa, lalu ambillah segenggan air dan masukkan ke rambut yang panjang sambil mengosok-gosokkan ke pangkal dan akar-akarnya, kemudian guyurlah kepala dengan air sebanyak tiga kali, dan yakinkan bahwa seluruh rambut sudah terbasahi secara merata.
Bagi seorang wanita tidak perlu menguraikan jalinan rambutnya ketika mandi janabah. Teapi cukup merasa yakin bahwa air yang ia guyurkan sudah bias menengah-nengahi rambut secara merata. Setelah itu guyurlah bagian kanan tubuh, lalu bagian kiri. Gosokkan tangan ke sekujur tubuh sampai banar-benar yakin bahwa setiap jengkal kulit sudah terbasahi oleh air. Tengah-tengahilah jenggot. Perhatikan bagian-bagian yang dikhawatirkan tidak terjangkau oleh guyuran air: seperti lipatan-lipatan sepasang telinga, dagu bagian bawah, ketiak, pangkal paha dan sekitarnya, bagian dalam pusar, bagian dalam lutut dan celah-celah jari kaki.
Jangan lupa berkumur dan beristinsyaq (menyedot air ke hidung), kemudian akhirilah mandi dengan membasuh telapak kaki.
Itulah mandi janabah yang memenuhi semua kewajiban dan kesunatan. Adapaun jika mandi janabah hanya ingin melakukan kewajiban saja, cukup dengan niat dan meratai sekujur tubuh dengan air yang suci dan menyucikan. [6]




PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dari uraian di ataslah dapatlah di ambil kesimpulan bahwa air mutlak itu ada 7 macam. Yaitu air laut, air hujan, air es, air embun, air sungai, air mata air, dan air sumur.
Cara berwudhu yang sempurna adalah berniat, membasuh kedua telapak tangan, berkumur sebanyak tiga kali, menyedot air dengan hidung tiga kali dan menyemburkannya sebanyak tiga kali, membasuh wajah sebanyak tiga kali, membasuh sepasang lengan bersama dengan siku sebanyak tiga kali, mengusap seluruh kepala dengan menggunakan sepasang telapak tangan mulai bagian depan sampai belakang, mengusap sepasang telinga, membasuh sepasang kaki sambil digosok kemudian membaca doa Asyhadu An laa ila ha illallah, Wahdahu La Syarika Lahu, Wa Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rasuuluh. Allahummaj’alni min Al-Tawwabina Waj’alni min Al-Mutathahhirin. Kemudian shalat dua raka’at, dilakukakan secara berturut-turut dan tertib.
Sedangkan cara mandi janabah yang sempurna dengan berniat, membasuh telapak tangan dan kemaluan, lalu berwudhu. Kemudian memasukkan air ke sela-sela rambut dan mengguyurnya dengan air secara merata. Setelah itu siramlah bagian kanan tubuh sebanyak tiga kali dan begitu juga sebelah kiri. Gosokkan tangan ke sekujur tubuh sampai benar-benar yakin bahwa setiap jengkal kulit sudah terbasahi oleh air. Jangan lupa berkumur dan beristinsyaq kemudian akhirilah dengan membasuh telapak kaki.


B.   Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Daud, Ma’mur. Shahih Muslim. terj. Cet. IV. (Malaysia : Klang Nook Centre. 2004)
Sunarto, Ahmad. Mutiara Hadits Shahih Muslim. (Surabaya : Karya Agung. 2007)
Ali Nashif, Syeikh Mansur. At-Taj al-Jami’u Lil I\Ushul Fi Ahaaditsi ar-Rasul. Cet. 3. (Bandung : Sinar Baru Algensindo)
Al-Qharadhawy, Dr. Yusuf. Fiqih Thaharah. Cet.II. (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar. 2006)
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Ibadah. Cet. III (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar. 2006)
“Uwaidah, Syaikh kamil Muhammad. Fiqih Wanita. Cet. XXIV. (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar. 2007)






MAKALAH

HADITS II
“THAHARAH”

 







DI SUSUN OLEH :

A. SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. UT. 060741

DOSEN PENGAJAR :

DIAN FITRIANI, S.S.I

FAKULTAS USHULUDDIN
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2008


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, berkat rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Hadits II” yang berjudul “Thaharah” dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima kritik dan saran dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun guna perbaikan kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita harapkan.Semoga makalah ini bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa, khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, 22 Oktober 2008

Penyusun



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………….…………………………………………………… i
DAFTAR ISI  ……………………………………………………...……….….…… ii
PENDAHULUAN 
A.   Latar Belakang ………………………………..………………..…….…….1
B.   Pokok Masalah ………………………………………..……………………1
PEMBAHASAN
A.   Air ………………………………………………………………………….. 2
B.   Wudhu …………… … …………....……………………………………… 4
C.   Mandi Janabah …..…………………….………………………………….7
PENUTUP
  1. Kesimpulan …………………………….…………………………………10
  2. Saran …………………………………………………………………….. 11
DAFTAR PUSTAKA ............……………………………………………...........12




[1] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita. Hal. 7-8.
[2] Ahmad Sunarto. Mutiara Hadits Shahih Muslim. Hal. 263
[3] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah. Hal. 91-92
[4] Makmur Daud. Shahih Muslim. terj. hal. 123
[5] Drs. Yusuf Al-Qhardhawi. Fikih Thaharah. Hal. 295
[6] Syaikh Hasan Ayyub, Op,cit. Hal. 91-92

IKHLAS BERAMAL DAN KEIMANAN

MAKALAH
HADITS
 “IKHLAS BERAMAL DAN KEIMANAN”

 







DI SUSUN OLEH :

A. SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. UT. 060741


DOSEN PENGAJAR :

Drs. KHALILULLAH, M.Ag

FAKULTAS USHULUDDIN
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2008


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, berkat rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Hadits II” yang berjudul “Ikhlas Beramal dan Keimanan” dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima kritik dan saran dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun guna perbaikan kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita harapkan.Semoga makalah ini bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa, khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, 15 Mei 2008

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………….…………………………………………………… i
DAFTAR ISI           ……………………………………………………...……….….…… ii
BAB I PENDAHULUAN 
A.   Latar Belakang ………………………………..………………..…….…….1
B.   Pokok Masalah ………………………………………..……………………1
BAB II PEMBAHASAN
A.   Ikhlas Beramal (RS : 1) ………………………………………………….. 2
B.   Keimanan (LL : 22) … …………....……………………………………… 4
C.   Keimanan (LL : 36) …………………….………………………………….6
BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan …………………………….…………………………………10
  2. Saran …………………………………………………………………….. 10
DAFTAR PUSTAKA ............……………………………………………...........11



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Al-Quran dan Sunnah merupakan dasar yang paling pokok dalam agama Islam. Sunnah atau al-Hadits ialah segala perkataan, perbuatan dan penetapan dari Rasulullah SAW. Percaya kepada Rasulullah termasuk kedalam rukun Iman, maka wajib hukumnya untuk mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Sedangkan orang yang telah menolak hadits Rasulullah SAW merupakan orang-orang yang celaka dan disebut sebagai kaum Ingkar as-Sunnah.
Rasulullah semasa hidupnya telah melewati banyak lika-liku kehidupan, baik itu dari segi positif maupun negatif. Dan kaum muslim pada waktu itu sangat menjunjung tinggi kenabian Rasulullah. Dalam pada itu jugalah setiap masalah yang terjadi pada kehidupan sahabat selalu ditanyakan secara langsung kepada Rasulullah SAW.

B.  Pokok Masalah
Demi terfokusnya pembahasan dalam makalah ini, sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah Hadits II. Maka, penyusun akan mengetengahkan pembahasan tentang hadits Rasulullah yang berkaitan dengan keimanan dan keikhlasan dalam beramal.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Ikhlas Dalam Beramal (RS : 1)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ مُسْلِمَةٍ قَالَ اَخْبَرْنَا مَالِكٍ عَنْ يَحْيىَ بْنِ سَعِيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ اِبْرَاهِيْمَ عَنْ عَلْقَمَةِ بْنِ وَقَاصٍ عَنْ اَمِيْرِالْمُؤْمِنِيْنَ اَبِى حَفْصٍ عُمَرَ يْنِ الْخَطَّابِ بِنْ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدُ العُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بِنْ قُرْطِ بِنْ رَزَاحِ بْنِ عَدَىِّ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَىِّ بْنِ غَالِبِ الْقُرَشِىِّ الْعَدَوِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِ وَمَنْ كَانَ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا اَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلىَ مَا هَاجَرَ اِلَيْهِ (متفق عليه)
Artinya :
Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Muslimah berkata telah bercerita kepada kami Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Amirul Mukminin Abu Khofsin Umar Bin Khotthob bin Nupail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Aday bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Al-Qurays Al Adawy RA. Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya segala perbuatan itu berlandaskan niat, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang tujuan hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang tujuan hijrahnya untuk meraih dunia, atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya sebatas apa yang menjadi tujuan hijrahnya itu”. (Muttafaq ‘Alaih)
Niat menurut bahasa artinya bertujuan, sedangkan menurut istilah ialah bertujuan untuk mengerjakan suatu hal yang bersamaan dengan pekerjaannya. Hukum niat adalah fardhu dalam semua amal ibadah, tempat niat dalam hati, karena itu tidak cukup hanya dengan ucapan saja sedangkan hatinya lalai dan lupa, seperti yang telah ditegaskan oleh hadits di atas. Tujuan utama adanya niat ialah untuk membedakan berbagai macam ibadah antara yang satu dengan yang lainnya, seperti membedakan antara sholat zhuhur dengan sholat ashar atau niat karena Allah dengan tidak karena Allah atau pula yang lainnya.
Niat yang Ikhlash ialah memurnikan ketaatan hanya kepada Allah SWT seakan-akan anda melihat-Nya. Keistimewaan niat, ibadah menjadi sah karenanya dan membedakannya dari kebiasaan. Karena sesungguhnya satu hal yang dikerjakan dengan niat maka ia menjadi ibadah dan tanpa niat menjadi kebiasaan, seperti duduk di dalam masjid dengan niat i’tikaf dianggap sebagai ibadah, tetapi tanpa niat seumpamanya hanya untuk istirahat, dianggap sebagai kebiasaan (adat).[1]
Jadi kalimat yang menyatakan bahwa “Maka barangsiapa yang tujuan hijrahnya untuk meraih dunia, atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya sebatas apa yang menjadi tujuan hijrahnya itu” bukanlah itu merupakan perbuatan yang mendapatkan pahala dari Allah SWT melainkan mendapatkan hal-hal yang dikehendakinya dalam hal dunia atau apa yang telah diniatkan.

B.  Keimanan (LL : 22)

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكِ بْنِ اَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ اْلاَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ اَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَاِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلاِيْمَانِ (متفق عليه)
Artinya :
Dari Abdullah bin Yusuf berkata telah memberitakan kepada kami Malik bin Anas dari Ibn Syihab dan Salim bin Abdillah dari ayahnya sesungguhnya Rasulullah SAW melihat seorang dari golongan Anshor yang menasehati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Biarkanlah, sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. (Muttafaq ‘Alaih)
Nabi SAW mengatakan bahwasanya perasaan malu, yaitu suatu “pekerti menjauhi yang buruk, menghalangi membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi hak orang yang mempunyai hak”, adalah suatu suku (bagian) daripada iman.
Sebabnya dikhususkan sebutan malu sebagai suatu cabang iman adalah karena malu inilah yang menarik kita untuk melaksanakan cabang-cabang yang lain lantaran dialah yang membangkitkan kita kepada takut mengalami keaiban di dunia dan keaiban di akhirat. Barangsiapa memperlihatkan makna malu dan memperhatikan sabda-sabda Rasul yang berkenaan dengan dia, maka tentulah orang akan memelihara kepala dan memelihara perut. Orang yang menghendaki akhirat, tentulah meninggalkan hiasan-hiasan dunia dan mengutamakan akhirat atas dunia. Orang yang berbuat demikian, itulah orang yang benar-benar malu kepada Allah. Hadits ini dikenal dengan syu’aibul iman.
Hakikat malu ialah perangai yang mendorong meninggalkan perbuatan buruk dan menegah kita berlaku ceroboh terhadap hak orang lain (hak orang yang mempunyai hak). Malu dari menuturkan kebenaran di hadapan orang yang dimuliakan, dan tidak berani mengerjakan sesuatu yang baik sebenarnya bukan malu. Malu yang semacam ini pada hakikatnya, kelemahan dan rendah diri. Orang yang menaminya malu, secara majaz karena menyerupai malu yang sebenarnya.
Tatkala Nabi mendengar nasihat orang Anshar kepada saudaranya, Nabi berkata: “Janganlah kamu menghalanginya berperasaan malau, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”. Nabi berkata demikian karena sifat malu menghalangi orang mengerjakan maksiat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan jelek dipandang orang, sebagaimana iman menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandang keji oleh manusia. Lantaran itulah Nabi menamakan malu dengan iman. Sungguh pun demikian, tidaklah dapat kita mengatakan bahwa orang yang menghilangkan malu dari dirinya berarti telah meninggalkan iman dari hatinya, karena malu ini adalah dari hal-hal yang menyempurnakan iman. Menurut zhohir hadits, orang Anshar itu benar-benar memandang jelek terhadap saudaranya yang berperasaaan malu. Oleh karena itu Nabi menandaskan dengan sungguh-sungguh, bahwasanya malu adalah sebagian dari iman. Nabi juga menandaskan bahwa kebajikan sajalah yang dihasilkan oleh perasaan malu apabila malu itu ditempatkan pada tempat yang benar.[2]

C.  Keimanan (LL : 36)

حَدَّثَنِى مُحَمَّدِ بْنِ الْمُثَنىَّ حَدَّثَنَا اِبْنُ اَبِى عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةِ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ ذَكْوَانَ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ (متفق عليه)
Artinya :
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsanna telah bercerita  Ibnu Abu Adi dari Syu’bah dari Sulaiman dari Zakwan dari Abu Hurairah Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : tidak akan berzina  seorang pelacur diwaktu berzina hingga ia sedang beriman. Dan tidak akan minum khomar diwaktu minum hingga ia sedang beriman. Dan tidak akan mencuri seorang pencuri diwaktu mencuri hingga ia sedang beriman. (Muttafaq ‘Alaih)
Kita sama-sama mengetahui bahwa orang yang beriman sudah tentu Islam, dan orang Islam belum tentu beriman. Ini menandakan bahwa iman setiap muslim itu berbeda-beda dan besifat relativ. Dan hal ini juga memberi pengertian bahwa ketika masih ada iman, tidaklah ia mau berzina, minum khomar dan mencuri. Dan seorang pezina, peminum dan pencuri itu tidak dinamai mukmin, karena dia tidak melaksankan tuntunan iman.
Abu Hasan Ali bin Khalaf bin Baththal Al-Maliki dalam Syarah bukhori berkata “Mazhab jamaah Ahlus Sunnah dan golongan salaf dan khalaf, menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang”.
Abdur Razzaq berkata “Saya mendengar dari ulama-ulama yang saya jumpai, seperti Sufyan Ats-Tsaury, Malik bin Anas, Ubaidillah bin Umar Al-Auza-y, Ma’mar bin Rasyid, Ibnu Juraij dan Sufyan bin Uyainah berkata : iman adalah ucapan dan perbuatan, kadang bertambah dan berkurang”.
Demikianlah pendapat Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, An-Nakha-y, Al-Hasanul Bishri, Thaus, Mujahid dan Abdullah ibnu al-Mubarak. Maka, seseorang berhak mendapat pujian dan wilayah dari para mukmin, adalah karena melaksanakan ketiga-tiga urusan ini, yaitu membenarkan dengan hati, mengakui dengan lidah dan mengerjakan dengan anggota tubuh.[3]
Kaitannya dalam hal ini, di dalam hadits di atas disebutkan bahwa tidak akan berzina seseorang dalam keadaan beriman. Jadi, bisa dikatakan bahwa iman itu bisa timbul dan bisa hilang tergantung dari kita yang menjaganya. Sebagai analogi ada sepotong kisah tentang seseorang muslim yang taat beribadah dan selalu berbuat kebaikan. Pada suatu saat orang ini melihat seorang tukang tenung yang bisa menghilang dari suatu tempat dan timbul di tempat yang lain. Timbul niat dihatinya untuk mempelajari ilmu itu dari si tukang tenung tadi. Ketika bertemu si tukang tenung berkata kepada seorang muslim yang ahli ibadah itu bahwa syarat untuk mempelajari ilmu itu sangatlah berat untuknya yaitu buang air kecil di atas sebuah tumpukan tanah yang berada di tempat kediamannya. Karena memang betul-betul ingin mendapatkan ilmu itu akhirnya muslim tadi buang air kecil di tempat yang telah disebutkan oleh ahli tenung itu. Ketika seorang muslim buang air, tiba-tiba dari kemaluannya keluar sebentuk (sosok) makhluk yang sangat besar. Kemudian ia bertanya kepada si tukang tenung apa yang tadi itu, kemudian ia menjawab yang keluar itu adalah imanmu karena telah percaya kepada perkataanku.
Dari hadits dan analogi di atas sama halnya dengan berbuat maksiat lainnya seperti meminum minuman khomar, mencuri, membunuh dan sebagainya itu tidak dalam keadaan beriman. Karena orang yang beriman adalah orang yang selalu mengerjakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta tidak melaksanakan segala larangan Allah dan Rasul-Nya.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa :
1.    Niat adalah menyengaja untuk mengerjakan suatu hal yang bersamaan dengan pekerjaannya. Hukum niat adalah fardhu dalam semua amal ibadah dan tempat niat adalah di dalam hati.
2.    Malu yaitu suatu “pekerti menjauhi yang buruk, menghalangi membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi hak orang yang mempunyai hak”, adalah suatu bagian daripada iman.
3.    Ketika seseorang masih mempunyai iman, tidaklah ia mau berzina, minum khomar dan mencuri. Dan seorang pezina, peminum dan pencuri itu tidak dinamai mukmin, karena dia tidak melaksankan tuntunan iman.

B.  Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Zakaria Yahya bin Syarif An-Nawawy. Riyadus Sholihin. (Indonesia)
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Lu’lu’ Wal Marjan terj. (Surabaya. PT. Bina Ilmu. 2003)
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002)
Syaikh Mansur Ali NAshif.  Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah SAW. (Bandung : Sinar Baru Algensindo. 2003)






[1] Suaikh MAnsur Ali NAhif. Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah, hlm. 108
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, hal. 92-93
[3] Ibid,. hlm. 24