Jumat, 01 Agustus 2008

IBNU 'ARABI DAN PAHAM WAHDAH AL-WUJUD

MAKALAH


ILMU TASAWUF
” IBN ‘ARABI DAN PAHAM WAHDAH AL-WUJUD“

 









DI SUSUN OLEH :
AHMAD SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. UT. 06.0741





DOSEN PENGAJAR :

JAMALUDDIN, M.Ag



ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS DAN DAKWAH/KPI
ًًََ2007
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
                                                  
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, berkat rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Ilmu Tasawuf” yang berjudul “Ibn ‘Arabi Dan Paham Wahdah al-Wujud” dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima kritik dan saran dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun guna perbaikan kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Semoga makalah ini  bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa, khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan yang diberikan.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jambi, 31 Mei 2007

                                                                                                   Penyusun


DAFTAR ISI

Kata Pengantar     i
Daftar Isi     ii
Pendahuluan 
A.    Latar Belakang    1
B.     Pokok Masalah     1
Pembahasan
1.          Biografi Ibn ‘Arabi     2
2.         Wahdah al-Wujud    5
Penutup
A.   Kesimpulan    10
B.    Saran    10
Daftar Pustaka     11


PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Dalam ilmu tasawuf banyak terdapat sufi-sufi Islam yang sangat terkenal, baik dari belahan dunia maupun di Indonesia sendiri. Dan salah satu sufi yang terkenal adalah Muhyididin Ibn ‘Arabi. Di kalangan para penulis banyak terdapat perbedaan dalam menceritakan tentang riwayat hidupnya. Ibn ‘Arabi ini terkenal dengan paham atau ajaran sufinya yang disebut wahdah al-wujud. Oleh karena itu penyusun akan menetengahkan paham tersebut di dalam makalah ini.

B.     Pokok Masalah
Wahdah al-Wujud merupakan paham yang dianut oleh salah satu sufi yang bernama Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Yang mana paham ini telah beliau kembangkan dari paham hulul yang dianut oleh Abu al-Mugis al-Husain bin mansur bin Muhammad al-Baidawi dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Namun Ibn ‘Arabi mengubah nasut yang ada pada paham hulul menjadi khalq dan lahut menjadi haqq. Jadi, di dalam makalah ini penyusun akan menguraikan apa itu wahdah al-Wujud yang dibawa oleh Ibn ‘Arabi.
 
PEMBAHASAN

1.  Biografi Ibn 'Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Ibn 'Arabi Ibn Ali Abu Bakar, lahir di Mercia – Spanyol tahun 560/1164 M.[1] Ada juga yang menyebutkan Abu Bakr Muhammad bin Muhyiddin al-Hatimi al-Ta'I al-Andalusi. Di Andalusi (barat) dikenal dengan nama Ibn 'Arabi (bukan Ibn al-'Arabi). Di samping itu, dia biasa juga disebut dengan al-Qutb, al-Gaus, al-Syaikh al-Akhbar atau al-Kibrit al-Ahmar.[2] Dia lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1163 M di Mercia  dan meninggal pada tanggal 28 Rabi'ul Akhir 638 H/16 November 1240 M.
Mengenai riwayat hidup Ibn Arabi ini terdapat dua pendapat yang berbeda, yaitu :
1.     Ibn 'Arabi berasal dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan di Mercia, Andalusia Tenggara. Ketika berumur delapan tahun, ia dan keluarganya pindah ke Sevilla, tempat dimana dia mulai menuntut ilmu dan belajar al-Quran, hadits dan fiqh bersama sejumlah murid pada seorang faqih terkenal di Andalusia yang bernama Ibn Hazm az-Zahiri. Setelah berumur 30 tahun mulailah dia berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di berbagai daerah ini, dia belajar kepada beberapa orang sufi, di antaranya Abu Madyan al-Gaus at-Talimsari. Kemudian selama beberapa waktu dia pergi bolak-balik/ mondar-mandir antara Hijaz, Yaman, Syiria, Irak dan Mesir. Akhirnya pada tahun 620 Hijriyah dia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya. Makamnya sampai saat ini tetap terpelihara dengan baik di sana.[3]
2.    Ibn 'Arabi berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab al-Hatimi yang pada umumnya terdiri dari keluarga-keluarga saleh. Orang tuanya sendiri adalah seorang sufi yang punya kebiasaan berkelana. Pada usia delapan tahun, Ibn 'Arabi  sudah merantau ke Lissabon untuk belajar agama dari seorang ulama yang bernama Syekh Abu Bakar bin Khalaf. Selesai belajar ulumul Quran dan hukum Islam, ia pindah lagi ke Sevilla yang pada masa itu merupakan pusat pertemuan para sufi di Spanyol. Ia menetap di sana selama 30 tahun untuk memperluas pengetahuan di bidang Hukum Islam dan Ilmu kalam serta mulai belajar tasawuf. Dari Sevilla ia berkunjung ke Cordoba dengan tujuan utama untuk menimba ilmu dari Ibn Rusyd, kunjungan ini biasanya ia lanjutkan ke wilayah Tunisia dan Maroko. [4]
Pada tahun 1201/598 H Ibn ‘Arabi meninggalkan Spanyol karena situasi politik pada masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf yang dianutnya tidak disukai di kawasan itu. Barangkali dengan tujuan utama untuk ibadah haji, ia berangkat menuju kawasan timur. Di kawasan Saudi ternyata ia diterima penguasa dan masyarakat dengan baik. Akan tetapi ia tidak menetap dikota suci itu, karena ternyata pengembaraannnya berakhir di Damaskus sebagai tempat menetapnya sampai meninggal tahun 1240 M/638 H dan dimakamkan di kaki gunung Qasiyun.[5]
Boleh dikatakan, Ibn 'Arabi telah sampai di puncak ajaran "kesatuan wujud" yang tumbuh dikalangan ahli sufi dalam Islam.[6] Dia termasuk salah seorang pemikir besar Islam. Beberapa pemikir Eropa, antara lain Dante, terpengaruh oleh pemikirannya, sebagaimana dikemukakan Asin Palacios dalam salah satu kajiannya. Pemikirannya juga berpengaruh pada sufi sesudahnya, baik di Timur maupun di Barat.[7]
Di dalam Concise Encyiclopaedia of Arabic Civilization disebutkan jumlah karya Ibn 'Arabi mencapai 300 buah, dan hanya 150 buah yang dapat dijumpai. Dari semua itu hanya sebagian kecil yang diterbitkan; dan dari buku-bukunya yang dapat ditemui hingga sekarang ada dua buah yang sangat terkenal yang menggambarkan corak ajaran tasawufnya, yaitu al-Futuhat al-Makiyyah dan Fusus al-Hikam.[8] Dr. Muhammad Yusuf Musa mengatakan, kitab al-Futuhat dan Fusus merupakan sumber utama bagi siapa yang ingin mengkaji ajaran tasawuf Ibn 'Arabi. Menurut Ibn 'Arabi, kitabnya al-Futuhat al-Makiyyah adalah "imla" dari Tuhan dan kitabnya Fusus al-Hikam adalah pemberian Rasulullah SAW.[9]
2.  Wahdah al-Wujud
Wahdah al-Wujud berarti kesatuan wujud. Paham ini adalah lanjutan dari paham hulul[10], dan dibawa oleh Muhyidin Ibn Arabi. Di samping itu ada beberapa pendapat tentang pengertiannya.
Menurut Ahmad Amin, arti dari istilah wahdah al-Wujud itu ialah sesungguhnya alam dan Allah adalah sesuatu yang satu.[11]
Kemudian Ibrahim Hilal mengatakan, bahwa arti dari istilah dari wahdah al-Wujud ialah sesungguhnya yang ada ini hanya satu, meskipun banyak ragam dan bentuknya. Alam dan Allah adalah dua bentuk dalam satu hakikat, Allah SWT. Alam adalah Allah dan Allah adalah alam. [12]
Dan Muhammad Yusuf Musa membuat batasan wahdah al-Wujud dengan tidak ada yang wujud melainkan wujud Allah SWT. Dan sesungguhnya sekalian yang mungkin adalah manifestasiNya yang terdapat pada seluruh alam ini, tidak pada sebagian yang lain. Maka tidaklah ada sekalian yang mungkin ini melainkan manifestasi Allah SWT. Seandainya Dia tidak ada, maka tidaklah ada alam ini.[13]
J. Spencer Triminghan mendefenisikan wahdah al-Wujud dengan All things pre-exist an ideas in the knowledge of God, whence they emanate and whither they ultimately return. [14] (Segala benda telah ada lebih dahulu sebagai suatu ide dalam pengetahuan Tuhan. Semuanya melimpah daripadaNya dan akhirnya semua kembali lagi kepadaNya).
Dari keterangan-keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa wahdah al-Wujud adalah suatu paham yang mengakui hanya ada satu wujud dalam kesemestaan ini, yaitu satu wujud Tuhan. Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan, karena alam ini merupakan emanasi Tuhan.
Dalam paham wahdah al-Wujud, nasut (sifat kemanusiaan) yang ada dalam paham hulul diubah oleh Ibn Arabi menjadi khalq dan lahut (sifat ketuhanan) menjadi haqq. Khalq (makhluk, alam) dan haqq (Tuhan) adalah dua aspek yang ada pada segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut khalq dan aspek yang batinnya disebut haqq.[15] Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek bathin atau terdiri dari 'ard dan jauhar. Aspek khalq (luar) memiliki sifat kemakhlukan atau nasut sedangkan aspek haqq (bathin)  memiliki sifat ketuhanan atau lahut. Tiap-tiap yang bergerak tidak terlepas dari kedua aspek itu, yaitu sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan. Tetapi aspek haqq dan aspek ini yang merupakan hakikat/ esensi dari tiap-tiap yang wujud.[16]
Renungan zauq-tasawuf yang  didasarkan kepada renungan pikir filsafat ini, timbul sebagai kelanjutan dari konsepsinya tentang penciptaan makhluk. Menurut Ibn Arabi, alam ini diciptakan Allah dari ain wujudnya sehingga apabila Tuhan ingin melihat diri-Nya maka tuhan cukup melihat alam ini yang ada pada hakikatnya tidak ada perbedaan di antara keduanya. Dengan kata lain, walaupun pada lahirnya alam ini kelihatan berbeda-beda tetapi pada tiap-tiap yang ada ini terdapat sifat ketuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi sesuatu itu. Disinilah timbulnya paham kesatuan wujud dengan pengertian bahwa alam yang nampak dengan indera yang penuh variasi ini, sebenarnya adalah satu. Hal ini dapat diibaratkan seperti orang yang melihat bayangannya dalam beberapa cermin. Betapapun banyaknya bayangan itu, tetapi orangnya adalah satu, sebab bayangan itu tidak mempunyai substansi. Ibn Arabi berkata lewat syair yang ia nukilkan dalam al-futuhat;
ياخلق الاشياء فى نفسه – انت لما تخلقه جامع.
تخلق ماينتهى كونه – فيك فانت الضيق الواسع.
Wahai pencipta segala sesuatu dalam diri-Mu, pada-Mu terhimpun segala yang Engkau jadikan, Engkau ciptakan apa yang ada dengan tak terbatas dalam diri-Mu, Sebab Engkau adalah yang unik tetapi meliputi seluruhnya.[17]

Dalam bentuk keterangan lain, paham ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Allah. Yang berwujud selain Allah tak akan mempunyai wujud, sekiranya Allah tak ada. Allah-lah yang sebenarnya mempunyai wujud hakiki. Yang dijadikan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud diluar dirinya, yaitu Allah. Dengan demikian, yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah; sedang wujud yang dijadikan ini pada hakikatnya hanya bergantung kepada Allah. Jadi yang dijadikan sebenarnya tidak mempunyai wujud; dan yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan demikian, pada hakikatnya hanya ada satu wujud, wujud Allah.
Menurut Ibn Arabi, apabila kita melihat wujud ini banyak jumlahnya, dengan berbagai macam bentuk, sifat, jenis, warna dan lain sebagainya, yang tidak terhitung, maka hal itu adalah karena kita menggunakan acuan-acuan indera dan akal semata. Akal dan indera menangkap kesemestaan ini dalam wujud yang bermacam-macam, sedang orang 'arif menagkap hal itu dengan zauq sufi; dan karenanya kemestaan ini adalah satu wujudnya, yaitu Allah SWT.[18]  
Jelasnya, menurut Ibn Arabi, realitas wujud ini hakikatnya tunggal. Sedangkan perbedaan antara zat dan hal – atau antara haqq, jauhar, zahir dan khalq, 'ard, bathin hanyalah sekedar pembedaan relative, sementara pembedaan hakiki yang dilakukan terhadap keduanya adalah akibat pembedaan yang dilakukan oleh akal-budi, padahal akal budi itu terbatas.
Paham kesatuan wujud Ibn Arabi telah membuat mustahil untuk mengatakan bahwa "hal yang mungkin" sebagai kebalikan dari "hal yang wajib". Yang  dimaksudkan dengan hal yang mungkin ialah hal yang ada, baru dan selalu berubah. Dan jika hal itu dipandang dari dirinya sendiri, maka sebelumnya justru hal itu tidak ada (hal yang mungkin ialah hal yang diadakan oleh hal yang lain serta padanya pun tergambarkan ada dan tiada); dan ini, oleh para filosof disebut sebagai "hal yang wajib adanya oleh hal yang lain" (hal yang wajib adanya oleh hal yang lain, terletak di antara yang mungkin dan yang wajib), yang keberadaanya perlu dengan yang lain.
Paham kesatuan wujud ini kemudian dikembangkan oleh sufi-sufi selanjutnya, seperti Ibn Sab'in, yang dipandang lebih tegas ketimbang Ibn Arabi dalam menegasikan pluralitas maupun menekankan kesatuan. Karena itu, pendapatnya dikenal sebagai paham kesatuan mutlak (al-wahdah al-mutlaqah). Juga dikembangkan oleh Ibn Al-farid dengan pahamnya tentang kesatuan penyaksian (wahdah as-syuhud), 'Abd al-Karim al-Jili dengan pahamnya yang terkenal dengan manusia paripurna (al-Insan al-kamil) dan lain-lainnya.



PENUTUP

A.   Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ibn ‘Arabi adalah seorang sufi yang menganut paham wahdah al-wujud. Wahdah al-wujud adalah suatu paham yang mengakui hanya ada satu wujud dalam kesemestaan ini, yaitu satu wujud Tuhan. Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan, karena alam ini merupakan emanasi Tuhan. Dalam paham wahdah al-Wujud, nasut yang ada dalam paham hulul diubah oleh Ibn Arabi menjadi khalq dan lahut menjadi haqq. Khalq (makhluk, alam) dan haqq (Tuhan) adalah dua aspek yang ada pada segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut khalq dan aspek yang batinnya disebut haqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek bathin atau terdiri dari 'ard dan jauhar. Aspek khalq (luar) memiliki sifat kemakhlukan atau nasut sedangkan aspek haqq (bathin)  memiliki sifat ketuhanan atau lahut..

B.    Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Asmara As., Dr,. Pengantar Studi Tasawuf,  Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, cet. II. 1996
Haq, Ansari, Abd, Muhammad,. Antara Sufisme dan Syari’ah, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, cet. II. 1993.
Siregar, Prof. H. A. Rivay. Tasawuf; Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme,  Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, cet. II. 2002





















[1]    Prof. H. A. Rivay Siregar, Tasawuf; Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme,. Cet.II. hlm. 171. Dikutip dari Ibn 'Arabi, Futuhat al-Makiyah, vol.I, al-Maktab al-Arabiyah, Kairo,  1979, hlm. 199.
[2]  Dr. Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf,., cet.II. hlm 347. Dikutip dari Lutfi 'Abd Badi', Islam si Isbaniya,  al-  Nahdah al-Misriyah, Cairo, 1969, hlm 61.  
[3]   Ibid,. hlm. 348
[4]   Prof. H. A. Rivay Siregar, Op.cit,. hlm. 171. Dikutip dari Ibn 'Arabi, Op.cit,, hlm. 200.
[5]  Ibid., hlm. 172. Dikutip dari Kutubi, Fusut al-Wafayat, vol.II. hlm. 301.
[6] Dr. Asmaran As., MA. Op.cit,. hlm. 348. Dikutip dari Muhammad Gallab, al-Ma'rifat 'inda Mufakkiri al-Muslimin, al-Dar al-Misriyah, Cairo, 1996, hlm. 358.
[7]  Ibid,. Dikutip dari al-Wafa' al-Ganimi al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islami, Dar al-Saqafah li al-Tiba'ah wa al-Nasyr, Cairo, 1979, hlm. 200.
[8]  Ibid.. Dikutip dari Stephan dan Nady Ronart, Concise Encyclopaedia  of Arabic civilization the Arab East, Amsterdam, Netherlands, 1966,  hlm. 49.
[9]  Ibid,. hlm. 349. Dikutip dari Abd al-Qadir Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyah fi Al-Islam, Dar Al-Fikri Al-Arabi, Cairo,tt., hlm. 310.
[10]   Hulul adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan.
[11]    Ibid,. hlm. 172. Dikutip dari Ahmad Amin, Zuhr Al-Islam, IV, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, 1969, hlm. 162.
[12]   Ibid,. Dikutip dari Ibrahim Hilal, .Al-Tasawwuf Al-Islami Baina Al-Din wa Al-Falsafah, Dar Al-Nahditah Al-‘Arabiyah, Cairo, 1979.
[13]   Ibid,. hlm. 173. Dikutip dari Muhammad Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlaq fi Al-Islam, Muassisah al-Khaniji, Cairo, 1965, hlm. 255.
[14]   Ibid,. Dikutip dari J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, Oxford University Press, New York, 1973, hlm. 161.
[15]   Ibid,. hlm. 174. Dikutip dari Harun Nasution, Falsafat & Mistisme dalam Islam,. Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 92-93.
[16]  Prof. H. A. Rivay Siregar, Op.cit, hlm. 183. Dikutip dari R.A. Nicholson, The Mistic of Islam, Routledge & Kegan Paul, London, 1966, hlm. 115.
[17]    Ibid,. hlm. 184. Dikutip dari Ibn ‘Arabi, ,Op.cit,. Vol. I. hlm. 604.
[18]    Ibid,. hlm. 176. Dikutip dari Abd. Al-Qadir Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyah fi Al-Islam, Dar Al-Fikri Al-‘Arabi, Cairo, t.t., hlm. 495-6.