Kamis, 04 Oktober 2007

WAJIB BERWUDHU UNTUK SHOLAT

WAJIB BERWUDHU UNTUK SHOLAT

1.            Hadits Riwayat Bukhori Muslim

حدثنا اسحاق ابن ابراهيم الحنظلي  قال اخبرنا عبد الرزاق قال اخبرنا معمر عن همام ابن منبة انه سمع ابا بهيرة يقول : قال رسول الله ص.م لا تقبل صلاة من احدث حتى يتوضاء (رواه البخارى ومسلم)
Artinya :
Telah bercerita Ishak bin Ibrahim Al-Hanzoli, berkata telah mengabarkan kepada kami Abdur Razzaq, berkata telah mengabarkan kepada kami, Mu’mar dari Hammam Ibn Munabbah Sesungguhnya Abu Hurairah telah mendengar dan berkata Telah bersabda Rasulullah SAW  “Tidak diterima sholat seseorang kamu apabila berhadas hingga ia berwudhu” (HR. Bukhori dan Muslim)

2.            Keyword (Kata kunci)
1.          يُقْبَلُ adalah kalimat fiil mudhori’ mabni lil majhul yang artinya diterima. Fiil madhinya yaitu  قَََبَلَ   dan masdarnya   قُبُوْلاً
2.          يتوضاء adalah kalimat fiil mudhori’ yang berarti ia berwudhu (bersih).
3.            Analisis
Dari hadits di atas telah jelas diterangkan bahwa Allah hanya menerima sholat yang dikerjakan oleh mereka yang suci dari hadas. Karena itu Allah SWT tidak menerima sholat mereka yang sedang berhadas (yang dikerjakan dalam keadaan berhadas).
Menurut Ibnu Daqiqil Id berkata “Segolongan mutaqaddimin mengambil dalil dengan tidak menerima, untuk menetapkan tidak sahnya sholat yang dikerjakan tanpa wudhu sebagaimana mereka pahamkan”.
Sabda  Rasulullah SAW :
لا يقبل لله صلاة حائص الا بخمار
Artinya :
“Allah tidak menerima sholat perempuan yang sudah berhaid (sesudah sampai umur), kecuali dengan memakai kerudung (jilbab)”.
Mereka menjadikan hadits ini untuk dalil, bahwa suci dari hadas adalah syarat sahnya sholat. Namun dalil tersebut tidaklah sempurna, kecuali dengan menetapkan, bahwa makna “tidak menerima”, ialah “tidak sah”.
Para mutaakhirin telah membahas masalah ini, karena “tidak menerima”, telah disebutkan pada beberapa tempat, sedang perbuatan-perbuatan yang dikatakan “tidak diterima” itu dipandang sah, seperti shalat budak yang pergi dari tuannya.  Nabi menerangkan bahwa Allah tidak menerima sholat hamba yang pergi dari tuannya, sholat yang dikerjakan oleh orang yang mendatangi tukang tenung dan sholat yang dikerjakan oleh peminum arak.
Hadits Nabi yang mengatakan “apabila dia berhadas hingga dia berwudhu”, artinya sesudah dia berwudhu kembali, barulah diterima sholat-sholat yang dikerjakan sesudahnya.
 An-Nawawy berkata: “Ulama-ulam,a Syafi’iyah berbeda pendapat tentang apakah yang mewajibkan wudhu. Ada yang berkata: “Yang mewajibkan wudhu adalah hadas, secara wajib muwassa”. Ada yang berkata; “Yang mewajibkan wudhu, ialah ingin melaksanakan sholat”. Dan ada juga yang bmengatakan :”Wudhu itu, wajib dengan kedua-dua sebab itu”.
Sama-sama kita ketahui bahwa hampir seluruh umat Islam menetapkan, bahwa haram apabila kita bersholat tanpa thaharah, baik thaharah dengan air, ataupun thaharah dengan tanah. Tidak disunnahkan, demikian pula sholat jenazah.
Jadi menurut analisis saya apabila seseorang bersholat dalam keadaan berhadas dengan sengaja, tidak ada pula sesuatu uzur, maka orang itu dipandang berdosa, tetapi tidak dikafirkan. Namun Abu Hanifah berkata lain bahwasanya orang yang demikian itu dikafirkan.
Mengenai orang yang ada halangan, seperti orang yang tidak memperoleh air dan tidak menemukan tanah, maka menurut ulama Syafi’I ada empat pendapat, dan keempat pendapat itu dipegangi oleh para ulama.
Pertama; lebih sah menurut ulama Syafi’I, wajib atas orang tersebut bersholat dalam keadaan itu dan wajib mengulangi sholatnya apabila dia telah bisa berthaharah.
Kedua; haram dia bersholat dalam keadaan itu dan wajib dia menqadha.
Ketiga; sunnat ia bersholat dalam keadaan itu dan wajib dia menqadha sholatnya.
Keempat; wajib dia sholat dalam keadaan itu dan tidak wajib menqadha atasnya.
Kesimpulannya menurut analisis saya bahwa orang yang berhadas itu sholatnya tidak diterima dan tidak sah sholatnya sebelum ia berwudhu, karena berwudhu termasuk ke dalam syarat sahnya sholat..

4.            Kesimpulan
Dari penjelasan dan analisis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah SWT tidak menerima sholat seseorang muslim yang berhadas sehingga ia bersuci (berwudhu) ataupun bertayammum bila tidak mendapatkan air.

Para ulama dalam hal mengartikan kata tidak diterima dalam hadits di atas terdapat banyak perbedaan, ada yang berpendapat sholatnya tidak diterima tetapi sah. Ada juga yang berpendapat sholatnya tidak diterima dan tidak sah. Namun saya lebih cenderung kepada pendapat yang kedua bahwa apabila seseorang berhadas maka sholatnya tidak diterima dan tidak sah sebelum berwudhu  karena berwudhu adalah termasuk syarat sahnya sholat. 

SANAD DAN MATAN HADITS

MAKALAH

TAKHRIJ HADITS
"SANAD DAN MATAN HADITS"


 










DI SUSUN OLEH :

AHMAD SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. UT. 06.0741


DOSEN PENGAJAR :

ABDUL HALIM, M.Ag

IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS
2007


PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hadits sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ikhwak Nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Quran. Pada zaman Nabi, sesungguhnya telah ada beberapa sahabat Nabi yang menulis hadits Nabi, tetapi jumlah mereka selain tidak banyak, juga materi (matan) hadits yang mereka catat masih terbatas. Keadaan ini disebabkan selain karena jumlah mereka yang pandai menulis belum begitu banyak, juga karena perhatian mereka lebih tertuju pada pemeliaraan al-Quran.
Menurut pendapat ulama, sejarah penulisan dan penghimpunan hadits secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi atas perintah Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz, jadi tenggang waktunya sekitar 90 tahun sesudah Nabi wafat.
B.          Pokok Masalah
Untuk kepentingan penelitian hadits Nabi, ulama telah menciptakan berbagai kaidah dan ilmu (pengetahuan) hadits. Dengan kaidah dan ilu hadits itu ulama mengadakan pembagian kualitas hadits.
Menurut Ibn Khuldun (wafat 808 H) dan Ahmad Amin (wafat 1373 H) para ulama hadits dalam penelitiannya hanya menitikberatkan kepada sanad daripada terhadap matan hadits. Dan menurut Abdul Mun’im al-Bahiy ulama hadits dalam kegiatan penelitian hadits hanya meneliti sanad dan para periwayat saja, serta tidak meneliti matannya.
Namun hal ini tak terbukti karena di dalam kaidah kesahihan hadits yang telah ditetapkan oleh ulama hadit juga dijelaskan tentang sanad dan matan. Untuk itu di dalam makalah ini sebelum kita mempelajari lebih jauh tentang ilmu hadits, penyusun akan membicarakan tentang sanad dan matan.

PEMBAHASAN
1.       Pengertian Sanad
Kata Sanad menurut bahasa adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena setiap hadits selalu bersandar kepadanya. Adapun arti Sanad menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan at-Tiby mengatakan bahwa sanad ialah :
الإخبارُ عنْ طريقِ المتنِ
“Berita tentang jalan matan”
Sebagian ulama mendefinisikan :
سِلسةُ الرجالِ الموصلةِ المتنِ
“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits) yang menyampaikan
pada matan hadits”
Ada juga ulama yang mendefenisikan :
سِلسةُ الّرواة الذينَ نقلُوا المتنِ عنْ مصدرهِ
“Silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama”

2.       Pengertian Matan
Kata matan menurut bahasa berarti tanah yang tinggi, sedangkan menurut istilah adalah:
ما ينهي اليه السندُ منَ الكلامِ
“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
Atau dengan redaksi lain :
الفاظُ الحديثِ التِي تَنقوّمُ معانيدِ
“Lafadz-lafadz hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu”
Jadi lebih tepatnya, yang dimaksud dengan kata matan dalam ilmu hadits, ialah penghujung sanad, yakni sabda Nabi SAW.

Contoh  Sanad dan Matan :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدِ بْنِ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمنِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ وَعَنْ عَبْدُ اللهِ بْنِ مُحَمَّدِ
ســند

بْنِ عَقِيْلٍ وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنِفِيَّةِ  وَعَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِى ص.م. قَالَ :
سـند                                              
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُوْرِ وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ  (رواه الترمذي)
مــــتن
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, (ia berkata) : telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdullah ibn Muhammad ibn Aqil, dari Muhammad al-Hanafiyah, dari ‘Ali, dari Nabi SAW. beliau bersabda : “Pembuka sholat itu ialah bersuci dan yang memasukkan (seseorang) ke dalam shalat adalah takbir dan yang mengeluarkan shalat itu adalah salam”. (H.R. Turmudzi)                 
3.       Hubungannya dengan Dokumentasi
Perlu kita ketahui bahwa peranan dokumentasi merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian yang berorientasi sejarah. Yang dimaksudkan dengan dokumentasi di sini ialah pengertian secara luas dari arti istilah dokumen. Yakni, setiap proses pembuktian baik yang didasarkan atas hal-hal yang berbentuk tulisan, lisan, gambar, maupun arkeologis. Dalam artian ini, dokumen bersinonim dengan sumber, baik berupa tulisan maupun bukan tulisan, resmi maupun tidak resmi, primer maupun sekunder. Dengan demikian, sasaran penelitian yang berorientasi sejarah sama dengan sasaran penelitian hadits, yakni sama-sama berupaya meneliti sumber dalam rangka memperoleh data yang otentik dan dapat dipercaya.[1]1
Sumber primer merupakan kesaksian dengan mata kepala sendiri atau indera lainnya. Dengan demikian, sumber primer merupakan sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama. Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari siapa pun yang bukan saksi pandangan mata. Jadi, sumber sekunder merupakan kesaksian dari orang yang tidak hadir langsung pada peristiwa yang dikisahkannya.
Dalam rangkaian sanad hadits, sumber primer atau saksi mata adalah periwayat (rawi) pertama atau disebut sanad terakhir. Periwayat tersebut mesti dari kalangan sahabat Nabi, sebab hanya sahabat Nabi saja yang memungkinkan langsung   dapat    menyaksikan  sabda,  perbuatan,  hal ikhwal  dan  taqrir  Nabi.
Dalam hubungan ini, sumber sekunder adalah periwayat kedua (dalam hal ini dapat saja dari kalangan sahabat Nabi ataupu tabi’in, yakni generasi umat Islam sesudah sahabat Nabi) atau periwayat ketiga dan seterusnya sampai kepada periwayat terakhir, misalnya Bukhori, Muslim, Abu Daud dan al-Turmudzi, bisa juga disebut dengan istilah al-muklharij.


4.       Kedudukan Sanad dan Matan
Ulama sangat besar perhatiannya kepada sanad hadits, di samping juga kepada matan hadits. Hal ini terlihat, sedikitnya, pada :
1.           Pernyataan-pernyataan ulama yang menyatakan bahwa sanad merupakan bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadits.
2.           Banyaknya karya tulis ulama berkenaan dengan sanad hadits.
3.           Dalam praktik, apabila ulama hadits menghadapi suatu hadits, maka sanad hadits merupakan salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus. Dengan demikian sanad hadits mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Sanad hadits dinyatakan mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab utamanya dapat dilihat dari dua sisi. Yakni :
1.       Dilihat dari sisi kedudukan hadits dalam kesumberan ajaran Islam.
2.       Dilihat dari sisi sejarah hadits.
Dilihat dari sisi yang pertama, sanad hadits sangat penting karena hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam. Sedang dilihat dari sisi yang kedua, sanad hadits sanad penting karena dalam sejarah: (a) pada zaman Nabi tidak seluruh hadits tertulis; (b) sesudah zaman Nabi telah berkembang pemalsuan-pemalsuan hadiots; dan (c) penghimpunan hadits secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadits.
Dengan demikian maka dapat dinyatakan, ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadits mengadakan penelitian sanad hadits. Keempat faktor itu ialah :
1.       Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam;
2.       Hadits tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi;
3.       Munculnya pemalsuan hadits; dan
4.       Proses penghimpunan (tadwin) hadits.[2]

5.       Sebab-sebab Terjadi Perbedaan antara Sanad dan Matan
Di antara sebab terjadinya perbedaan antara sanad ialah sebagai contoh seorang sahabat meriwayatkan sebuah hadits, ternyata hadits tersebut dinukilkan oleh sepuluh orang murid pada generasi berikutnya dari kelompok belajar thabi’in. kemudian dari sepuluh orang ini melairkan dua puluh atau tiga puluh orang murid lagi yang bersal dari mancanegara dan priovinsi yang berbeda.
Seperti, Abu Hurairah mengungkapkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Ketika salah seorang di antaramu bangun tidur, hendaknya janganlah dia memasukkan tangan kedalam bak mandi/ air sebelum dia mencuci tangannya terlebih dahulu tiga kali. Karena seorang tidak tahu dimana tangannya menetap pada saat tidur”.
Paling tidak tiga belas orang murid Abu Hurairah meriwayatkan hadits ini dari beliau, dengan perincian  sebagai berikut : delapan orang berasal dari Madinah, satu orang berasal dari Kufah, dua orang berasal dari Basrah, satu orang berasal dari Yaman dan satu orang berasal dari Syiria.


Kemudian ada enam belas orang ahli yang meriwayatkan hadits di atas dari murid Abu Hurairah, dengan perincian sebagai berikut: enam orang berasal dari Madinah, empat orang berasal dari bashrah, satu orang berasal dari Mekah, Yaman, dan Syiria serta dua orang berasal dari Kufah dan Irak.

6.       Kandungan Hadits Secara Umum
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa hadits adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Quran. Di sisi yang lain, hadits merupakan fakta sejarah yang berhubungan dengan pernyataan, perilaku, keadaan dan taqrir Nabi SAW. yang sunnah untuk kita laksanakan. Selain itu, hadits menyajikan suatu kebutuhan essensial Muslim, agar menjadi individu atau masyarakat yang baik.








PENUTUP
A.     Analisis
Kalau menurut analisis kami sanad pada suatu matan haruslah diteliti lebih dalam lagi, karena sangat pitalnya kesahihan sanad yang akan menentukan pula shahih atau tidaknya suatu matan atau hadits. Di samping itu al-hadits adalah sumber ajaran Islam setelah al-Quran dan itu tidak boleh untuk dipergunakan dengan tidak mengetahui terlebih dahulu kualitas hadits tersebut.
Kemudian adalah hal yang wajar apabila pada suatu hadits itu diriwayatkan oleh sanad  yang berbeda sebab kalau kita renungkan misalnya seorang guru yang meriwayatkan sebuah hadits kepada muridnya yang berjumlah dua puluh orang kemudian ke dua puluhnya meriwayatkan lagi kepada orang lain, tentu akan kita temui sanad yang berbeda.

B.      Kesimpulan
Dari uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Sanad adalah Silsilah para perawi yang menukilkan hadits sedangkan matan dalam ilu hadits adalah sabda Rasulullah SAW. Dan kedudukan sanad dan matan dalam ilmu hadits adalah sangat penting karena dari sanalah kita dapat mengetahui kualitas hadits tersebut. Kemudian di antara sebab terjadinya perbedaan antara sanad ialah kita  contohkan  seorang sahabat meriwayatkan sebuah hadits, kemudian hadits tersebut diriwayatkan oleh sepuluh orang murid pada generasi thabi’in. kemudian dari sepuluh orang ini melahirkan dua puluh atau tiga puluh orang murid lagi yang bersal daritempat yang berbeda-beda.







DAFTAR PUSTAKA

al-Qaththan Manna’ Syaikh, Pengantar Studi Ilmu Hadits. (Jakarta Timur  : Pustaka al-Kautsar : 2005)
Ismail, Syuhudi. Dr. M. Kaidah Kesahihan Sanad Hadits. (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 2005).
MA, Ph. D Azami Mustafa Muhammad. Metodologi Kritik Hadits. (Bandung : Pustaka Hidayah, 1996).
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999).




[1] Dr. M. Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadits. Hal. 15
[2] Ibid. Hal. 87

PANDANGAN ISLAM TENTANG KELUARGA BERENCANA (KB)

MAKALAH

فِقْهُ اْلمُعَامَلَةِ
PANDANGAN ISLAM
TENTANG KELUARGA BERENCANA (KB)


 











DI SUSUN OLEH :

AHMAD SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. UT. 06.0741



DOSEN PEMBIMBING :

DRS. IBRAHIM SYUKUR
NIP. 150 251 219



ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN TAFSIR HADITS
ًًََ2007
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
                                                               
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, berkat rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Fiqh Muamalat” yang berjudul “Pandangan Islam Tentang Keluarga Berencana (KB)” dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima kritik dan saran dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun guna perbaikan kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Semoga makalah ini  bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa, khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan yang diberikan.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.




Jambi, 31 Mei 2007

                                                                                                   Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar     i
Daftar Isi     ii
Pendahuluan 
A.    Latar Belakang      1
B.    Permasalahan        2
C.    Tujuan Penulisan      2    
Pembahasan
A.  Pengertian Keluarga Berencana (KB)      3
B. Metode Kontrasepsi     4
C. Pandangan Islam Tentang Keluarga Berencana (KB)      6
Penutup
  1. Kesimpulan     13
  2. Saran     13
Daftar Pustaka      14




BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia sejak dari proklamasi 17 Agustus 1945 sampai saat ini dan masa mendatang, berusaha untuk memakmurkan masyarakat yang berkeadilan sosial dan merata.
Suatu pembangunan memerlukan modal, sarana, tenaga kerja yang terampil dan berkualitas, wawasan yang luas dan masih banyak lagi. Dalam keadaan seperti ini, bangsa kita juga berhadapan dengan masalah yang cukup mengkhawatirkan, yaitu kepadatan penduduk yang terus melaju dari tahun ke tahun. Kalau penduduk sudah banyak, maka timbul lagi pemikiran baru, yaitu bagaimana cara mendidiknya dan bagaimana pula menyediakan lapangan kerjanya, belum lagi sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan dan keperluan hidup lainnya. Apalagi pada zaman sekarang ini, keperluan hidup bertambah banyak sejalan dengan perkembangan teknologi yang berkembang pesat.
Salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah yang tumbuh dan berkembang adalah dengan program “Keluarga Bertencana”. Sejak tahun 1973 Keluarga Berencana (KB) sudah dicantumkan dalam GBHN dan mutlak harus dilaksanakan, dengan ketentuan pelaksanaannya harus dengan cara sukarela dan dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama.

B.     Permasalahan
Permasalahan yang akan diketengahkan dalam pembahasan ini adalah bila pertambahan penduduk dapat ditekan, maka masalah yang dihadapi tidak seberat menghadapi pertambahan penduduk yang tidak terkendali.
Walaupun wakil-wakil rakyat telah menetapkan KB itu dalam GBHN, namun masih ada persoalan lain yang harus dituntaskan, yaitu bagaimana perspektif agama Islam tentang program Keluarga Berencana (KB), karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Timbul pertanyaan, apakah Islam membolehkan hal ini atau malah melarangnya.

C.     Tujuan Penulisan
Sebelum bangsa Indonesia mencanagkan KB itu, dari dahulu pun masalah ini sudah menimbulkan pro dan kontra dengan argumentasi masing-masing. Jadi, dalam penulisan ini penyusun bertujuan agar para pembaca, mengetahui bagaimana pandangan Islam tentang “Keluarga Berencana”. Dan bagaimana tentang ayat-ayat al-Quran dan Hadits Nabi yang membolehkan, dan bagaimana pula dengan  yang melarang.






BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Keluarga Berencana (KB)
Pada dasarnya Keluarga Berencana (KB) juga mempunyai arti sama dengan istilah Arab (Pengaturan keturunan/kelahiran) bukan pembatasan kelahiran.
KB berarti pasangan suami istri telah mempunyai perencanaan yang konkrit mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir disambut dengtan rasa gembira dan syukur. Dan pasangan suami istri tersebut juga telah merencanakan berapa anak yang dicita-citakan, yang disesuaikan dengan kemampuannya sendiri dan situasi kondisi masyarakat dan negaranya. Jadi KB itu dititikberatkan pada perencanaan, pengaturan dan pertanggungjawaban orang terhadap anggota-anggota keluarganya.[1]
Menurut WHO (World Health Organisation) keluarga berencana adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk :
1.        Mendapatkan objektif tertentu.
2.        Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan.
3.        Mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan.
4.        Mengatur interval doi antara kehamilan.
5.        Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri.
6.        Menentukan jumlah anak dalam keluarga.[2]


B.       Metode Kontrasepsi
Kontrasepsi adalah suatu cara untuk mengatur kehamilan baik itu pencegahan kehamilan atau pengakhiran kehamilan.
Pada saat sekarang jauh lebih banyak cara bagi wanita, dengan cara bagi pria, karena memang seolah-olah keluarga berencana merupakan tugas semata-mata bagi wanita, karena morivasi pada wanita lebih tingi.
Tapi seharusnya kontrasepsi merupakan tanggung jawab suami dan istri dan diharapkan bahwa di kelak kemudian hari cara-cara bagi pria akan lebih berkembang.[3]

Macam-macam Metode Kontrasepsi
I.         Metode Sederhana
1.    Tanpa Alat
a.    KB Alamiah
v  Metode Kalender (Ogino-Knaus).
v  Metode Suhu Badan Basal (Termal).
v  Metode Sim to-Termal.
b.    Coitus interruptus
2.    Dengan Alat
a.    Mekanis (Barrier)
v  Kondom
v  Barier Intra-vaginal
-       Diafragma
-       Kap Serviks (Cervical cap)
-       Spons (Sponge).
b.    Kimiawi
v  Spermisid
-       Vaginal cream.
-       Vaginal foam
-       Vaginal jelly.
-       Vaginal suppositoria.
-       Vaginal tablet.
-       Vaginal soluble film.
II.     Metode Modern
1.    Kontrasepsi Hormonal :
a.    Per-oral
-       Pil oral kombinasi (POK)
-       Mini-pil.
-       Morning-after pill
b.    Injeksi/Suntikan
(DMPA, NET-EN, Microspheres, Microcapsules).
c.     Sub-kutis : Implant (Alat Kontarepsi bawah kulit = AKBK).
-       Implant Non-biodegradable (Norplant, Norplant-2, ST-1435).
-       Implant biodegradable (Capronor, Pellets)
2.    Intra Uterine Devices (IUD)/ Alat Kontrasepsi Dalam Rahim.
3.    Strelisasi.[4]
C.       Pandangan Islam Tentang Keluarga Berencana (KB)
Di dalam al-Quran dan Hadits, yang merupakan sumber pokok hukum Islam yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam, tidak ada nas yang terang melarang ataupun yang memerintahkan untuk ber-KB secara eksplisit. Karena itu, hukum ber-KB harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam yang menyatakan:
اْلاَصْلُ فِى اْلأَشْيًاءِ وَاْلاَفْعَالِ اْلإِبَاحَةُ حَتىَّ يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلىَ تَحْرِيْمُهَا
“Pada dasarnya segala sesuatu/ perbuatan itu boleh kecuali/ sehingga ada dalil yang menunjukan keharamannya.”
Selain berpegangang dengan kaidah hukum Islam tersebut di atas, kita juga bisa menemukan beberapa ayat al-Quran dan Hadits Nabi yang memberikan indikasi, bahwa pada dasarnya Islam membolehkan orang Islam ber-KB. Bahkan kadang-kadang hukum ber-KB itu bisa berubah dari mubah (boleh) menjadi sunah, wajib, makruh atau haram, seperti halnya hukum perkawinan bagi orang Islam, yang hukum asalnya juga mubah. Tetapi hukum mubah ini bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi individu muslim yang bersangkutan dan juga memperhatikan perubahan zaman, tempat dan keadaan masyarakat/ Negara. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam yang berbunyi :
تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ
Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan.”
Untuk itu penyusun akan mengkalsifikasikan pandangan Islam tentang KB. Yaitu pandangan al-Quran, al-Hadits dan para ulama-ulama Islam.

1.    PANDANGAN AL-QURAN
Firman Allah dalam al-Quran Surat an-Nisa’ ayat 9 :
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْتَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْ صلى فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلاٌٌ سَدِيْدًا  ( النساء :    )
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (ksejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mengucapkan perkataan yang benar.”
Ayat di atas memberi petunjuk supaya setiap keluarga (orang tua) memikirkan masa depan anak cucunya, jangan sampai menjadi generasi yang lemah fisik dan mentalnya. Lemah fisik bisa karena kurang pangan (gizi) dan karena kurangnya perawatan kesehatan. Lemah mental bisa karena kurang pendidikan agama. Jadi keperluan anak dalam bidang materil dan spiritual harus seimbang, supaya masyarakat yang ditinggalkan oleh orang tua, merasa adil, makmur dan mendapat ridha Allah.
Firman Allah, Surat Luqman ayat 14 :
وَوَصَّيْنَا اْلإِِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ ج حَمَلَتْهُ اُمُّهُ وَهْنًا عَلىَ وَهْنٍ وَّفِصلُه فِىْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْلِىْ وَلِوَالِدَيْكَ قلى اِلَيَّ المَصِيْرُ  (لقمان :    )
“Dan Kami perintahtkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan telah yang bertambah-tambah, dan menyapihknya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang tuamu. Kepada-Ku lah kamu kembali.”

2.    PANDANGAN AL-HADITS
     Sabda Rasulullah SAW :
إِنَّكَ اَنْ تَذَرْ وَرَثَتَكَ اَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ اِنْ تَذَرْهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ
 (متفق عليه)
“Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dal;am keadaan kecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak.” (H.R. Bukhori dan Muslim)

عَنْ جاَ بِرٍ قَالَ : كُنَّْا نَعْزِلُ عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلقُرْآنُ يَنْزِلُ (متفق عليه)
“Diriwayatkan dari Jabir R.A, ia berkata : Kami melakukan ‘azal (coitus interuptus) di masa Rasulullah pada waktu ayat-ayat al-Quran masih diturunkan dan tak ada satu ayat pun yang melarangnya.” (H.R. Bukhori dan Muslim)

3.    PANDANGAN ULAMA-ULAMA ISLAM
Mengenai Keluarga Berencana atau setidak-tidaknya mencegah kehamilan, sejak dahulu pun ada di antara ulama yang membolehkannya dan ada pula yang tidak membolehkannya.
a.    Ulama-ulama Yang Membolehkan
1.    Imam Al-Ghazali
Dalam kitabnya, “Ihya Ulu muddin” dinyatakan, bahwa ‘azal (coitus interuptus) tidak dilarang, karena kesukaran yang dialami si Ibu disebabkan sering melahirkan.
Motifnya antara lain:
Þ    Untuk menjaga kesehatan si Ibu, karena sering melahirkan.
Þ    Untuk menghindari kesulitan hidup, karena banyak anak.
Þ    Untuk menjaga kecantikan si Ibu.

2.    Syekh al-Hariri
Syekh al-Hariri berpendapat, bahwa menjalankan KB bagi perorangan (individu) hukumnya boleh dengan ketentuan:
Þ                Untuk menjarangkan anak.
Þ                Untuk meghindari suatu penyakit, bila ia menghandung.
Þ    Untuk menghindari kemudharatan, bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiaannya (secara medis).
Þ    Untuk menjaga kesehatan si Ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu penyakit (penyakit kandungan).
Þ    Untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit kotor.
3.    Syekh Mahmud Syaitut
Mahmud  Syaitut   berpendapat,   bahwa   pembatasan   keluarga
(  تجديد النسل) bertentangan dengan syari’at Islam. Umpamanya, membatasi keluarga hanya 3 anak saja dalam segala macam kondisi dan situasi.
Sedangkan pengaturan kelahiran (  تنظيم النسل) menurut beliau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Umpamanya menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus, baik yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan maupun ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat dan Negara. Alasan lain yang membolehkan adalah suami atau istri mengidap penyakit yang berbahaya yang dikhawatirkan menular kepada anaknya.[5]

b.    Ulama-ulama Yang Melarang
  1. Prof. Dr. M.S. Madkour Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum, dalam tulisannya; “Islam and Family Planning” dikemukakan antara lain: “bahwa beliau tidak menyetujui KB jika tidak ada alasan yang membenarkan perbuatan itu”. Beliau berpegang kepada prinsif: “hal-hal yang mendesak membenarkan terlarang”.
2.    Abu ‘Ala al-Maududi (Pakistan)
Al-Maududi adalah seorang ulama yang menentang pendapat orang yang membolehkan pembatasan kelahiran. Menurut beliau Islam satu agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia. Beliau berkatakan: “Barangsiapa yang mengubah perbuatan Tuhan dan menyalani undang-undang fitrah adalah memnuhi perintah setan”. Setan itu adalah musuh manusia. Beranak dan berketurunan itu adalah sebagian fitrah tersebut menurut pandangan Islam. Salah satu tujuan yang utama dari perkawinan itu ialah mengekalkan jenis manusia dan mendirikan suatu kehidupan yang beradab.[6]
Di samping pendapat-pendapat di atas, ada juga para ulama yang menggunakan dalil-dalil yang pada prinsifnya menolak KB, di antaranya firman Allah SWT :
وَلاَ تَقْتُلُوْآ اَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ صلى  نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ صلى (الانعام :    )
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka …”. (al-An’am : 151)
Firman Allah SWT :
وَلاَ تَقْتُلُوْآ اَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاَقٍ صلى  نَحْنُ نَرْزُقُهُُمْ وَإِيَّاكُُمْ قلى إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيْرًا  (الاسراء :    )
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar (al-Isra’ :31)
Tidak memberi kesempatan untuk hidup, sama halnya dengan membunuh walaupun tidak secara langsung. Alasannya, karena takut melarat (miskin). Padahal Allah ,menjamin rezeki hamba-hamba-Nya.
Sabda Rasulullah SAW :
تزوجوا الولود فإني مكاثر بكم الامم ( اخرج ابو داود والنسائ )
“Kawinilah wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan banyak anak, karena seseunggunya aku berbangga dengan banyaknya kamu dengan umat-umat yang lain. ( Hadits dikeluarkan oleh Abu Daus dan An-Nasai)
Dari hadits di atas dapat dipahami, bahwa Nabi Muhammad sangat merasa bangga apabila umat beliau banyak. Menjalankan KB berarti memperkecil jumlah umat. Secara lahiriah memang demikian tetapi tentu yang dikehendaki adalah umat yang banyak dan berkualitas, sebagai pengiukut setia beliau, bukan penentang ajaran Islam yang beliau ajarkan.
























BAB II
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa pada dasarnya KB adalah mengatur keturunan atau kelahiran anak. Secara qath’i al-Quran tidak menyuruh ataupun melarangnya. Hanya saja para ulama menghubung-hubungkan ayat al-Quran tersebut dengan KB. Namun Qaidah Ushul fiqh menyebutkan bahwa
اْلاَصْلُ فِى اْلأَشْيًاءِ وَاْلاَفْعَالِ اْلإِبَاحَةُ حَتىَّ يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلىَ تَحْرِيْمُهَا
“Pada dasarnya segala sesuatu/ perbuatan itu boleh sehingga ada dalil yang menunjukan keharamannya.”
Jadi, Seperti yang telah diterangkan dalam pembahasan, bahwa  masalah KB ini tidak ada habisnya, karena setiap orang ataupun para ulama mempunyai pemikiran dan pemahaman yang berbeda-beda, ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang melarangnya. Tapi kalau menurut hemat penyusun, pada dasarnya hukum KB adalah boleh, tapi hukum tersebut bisa menjadi haram apabila tujuannya bertentangan dengan ajaran Islam.
B.       Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang, CV. Asy-Syifa’.,
Bagian Obstetri & Gikenologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Teknik Keluarga Berencana (Perawatan Kesuburan), Bandung, Elstar Offset, 1980.
Hartanto, dr. Hanafi, Keluarga Berencana dan Kontrasepsi, Jakarta, Pustaka Sinar harapan, 1994.
Sulaiman, Drs. H.M. Saman. Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah (Hukum Islam Kontemporer), Damai Raya, 2007
Uman, Drs. Cholil, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern,  Surabaya, Ampel Suci, 1994.




[1]  Drs. Cholil Uman, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, hlm. 76
[2]  dr. Hanafi Hartanto, Keluarga Berencana Dan Kontrasepsi, cet. I. Hlm. 14
[3]  Bagian Obstetri & Gikenologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Teknik Keluarga Berncana (Perawatan Kesuburan), Hlm. 23
[4]  dr. Hanafi Hartanto, Op.cit,. Hlm. 29-30
[5]  Drs. H.M. Saman Sulaiman, M.Ag, Masailul Fiqhiyah al-Haditsah, Hlm. 38
[6]  Ibid,. Hlm. 39-39.