Senin, 11 Maret 2013

UNSUR-UNSUR HUKUM

MAKALAH
USHUL FIQIH MUQARRIN
UNSUR-UNSUR HUKUM”



Dosen:
Prof. Dr. H. Sulaiman Abdullah

oke






Disusun Oleh :
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525





PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2013
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada bapak dosen Prof. Dr. Sulaiman Abdullah yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan perbaikan makalah ini. Begitu pula kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalah ini.
Di dalam makalah ini, penulis membahas mengenai Unsur-unsur HUkum yang merupakan masalah yang dipilih untuk melengkapi tugas yang diberikan pada mata kuliah Ushul Fiqih Muqarrin. Tentunya, sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya jika terdapat kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang dirangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya. Amin.

Jambi,  11 Maret 2013

Ahmad SholihinMuttaqin



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………
Ii
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………
Iii
BAB I PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
....………………………………………………………………
1
B.      Rumusan Masalah
....………………………………………………………………
2
BAB II PEMBAHASAN


A.      Unsur-unsur Hukum
....………………………………………………………………
3
B.      Pembagian Hukum
....………………………………………………………………
8
BAB III PENUTUP


A.      Kesimpulan
....………………………………………………………………
13
B.      Kata Penutup
....………………………………………………………………
13
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………
14
                                                                                                                             








BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Hukum,secara bahasa bermakna keputusan[1].Dan secara istilah yaitu:
مَااْقتَضَاهُخِطَابُ اللهِالشَّرْعِالمُتعلِّقُبِأَفْعالِالمُكَلَّفِينَمِنْطَلَبٍ،أَوْتَخْيِيرٍ،أَوْوَضْعٍ
Artinya:  "Apa-apa yang ditetapkan oleh (khitab Allah) seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan."[2]
Mayoritas ulama ushul mendefenisikan hukum sebagai berikut:
خِطَابُ اللهِالمُتعلِّقُبِأَفْعالِالمُكَلَّفِينَإِقْتِضَاءً أوتَخْيِيرًا،أَوْوَضْعًا
Artinya:"Kalam Allah yang mneyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperative, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang."[3]
Yang dimaksud dengan khitab Allah dalamdefenisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik al-Quran, al-Hadits, maupun lainnya sepeti ijma’ dan qiyas.Namun, para ulama ushul kontemporer, seperti Ali Hasaballah dan Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa yang dimaksuddalil disini hanya al-Quran dan Sunnah.Adapun ijma’ dan qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari al-Quran dan Sunnah tersebut.Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum.[4]
Yang dimaksud dengan perbuatan mukallaf ialah perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang cukup umur dan berakal sehat.Pada defenisi pertama thalab bermakna tuntutan untuk melakukan sesuatu, sedangkan iqtidha’ pada defenisi yang kedua bermakna tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya (melarang), baik tuntutan itu bersifat memaksa maupun tidak.Sedangkan tahyirbermakna kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya, wadh’I bermakna memposisikan sesuatu sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.[5]
Selain yang telah dipaparkan diatas, ada hal yang sangat berkaitan dalam hukum yaitu unsur-unsur hukum dan pembagian hukum.Unsur-unsur hukum merupakan hal yang harus terpenuhi dalam suatu hukum dan pembagian hukum merupakan hal yang harus diketahui oleh pelaku hukum.Hal tersebutlah yang akan dibahas dalam makalah ini.

B.      Rumusan Masalah
a.      Apakah yang dimaksud dengan Hakim, Mahkum Bih/ Mahkum FihdanMahkum Alaih?
b.      Bagaimanakah pembagian hukum menurut ulama ushul fiqih?


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Unsur-Unsur Hukum
Menurut ulama ushul, unsur-unsur hukum ada 3 (tiga) yaitu, Hakim, Mahkum Bih/ Mahkum Fih dan Mahkum Alaih.
1.      Hakim
Dari segi bahasa, hakim adalah isim fa’il dari kata   حَكَمَ – يَحْكُمُ - حَاكِمٌbermakna yang memerintah[6]. Sedangkan dari segi istilah, yaitu:
Pertama:
وَاضِعُ اْلاَحْكَامِ وَمُثْبِتُهَا وَمُنْشِئُهَا وَمَصْدَرُهَا
Artinya:“Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum”.
Kedua:
اَلَّذِيْ يُدْرِكُ اْلاَحْكَامِ وَيُظْهِرُهَا وَيُعْرِفُهَا وَيُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya:  “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan”.[7]
Dari pengertian pertama tentang hakim diatas, dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT.Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hukum taklif maupun hukum wadh’i.Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum di atas bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah:
لاَ حُكْمَ اِلاَّ ِللهِ
Artinya:“Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”.
Kaidah ini berdasarkan firman Allah SWT:
اِنِ الْحُكْمُ اِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ[8]
Artinya:  “Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.
Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim di atas, ulama ushul fiqih membedakannya sebagai berikut:
a.      Sebelum Nabi Muhammad SAW, diangkat sebagai Rasul
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul.Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan ahlussunnah waljama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak mampu mencapainya.Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada. Golongan muktazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT, namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.
b.      Setelah diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dan menyebarnya dakwah Islam
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW.Apa yang telah dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang diharamkan-Nya hukumnya haram. Juga disepakati bahwa apa-apa yang dihalalkan itu disebut hasan (baik), didalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segala sesuatu yang diharamkan Allah disebut qabih (buruk),  yang didalamnya terdapat kemudharatan atau kerusakan bagi manusia.[9]
2.      Mahkum Bih/ Mahkum Fih
a.      Pengertian
Sebagian ulama ushul menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum dengan menggunakan istilah mahkum fih, karena di dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun hukum haram.Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.[10]
Para ulama sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf.Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum, misalnya:
1)      Firman Allah SWT:
(#qßJŠÏ%r&urno4qn=¢Á9$#(#qè?#uäurno4qx.¨9$#(#qãèx.ö$#uryìtBtûüÏèÏ.º§9$#
Artinya:   dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.[11]
Ayat ini berkaian dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan salat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan salat, berzakat dan ruku’.[12]
2)      Firman Allah SWT:
Ÿwur(#qè=çGø)s?š[øÿ¨Z9$#ÓÉL©9$#tP§ymª!$#žwÎ)Èd,ysø9$$Î/4ö/ä3Ï9ºsŒNä38¢¹ur¾ÏmÎ/÷/ä3ª=yès9tbqè=É)÷ès?
Artinya: “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”[13]

Dalam ayat ini mengandung suatu larangan yang berkaitan dengan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa hak itu hukumnya haram.[14]
3)      Firman Allah SWT:
$pkšr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä#sŒÎ)óOçFôJè%n<Î)Ío4qn=¢Á9$#(#qè=Å¡øî$$sùöNä3ydqã_ãröNä3tƒÏ÷ƒr&urn<Î)È,Ïù#tyJø9$#(#qßs|¡øB$#uröNä3ÅrâäãÎ/öNà6n=ã_ör&urn<Î)Èû÷üt6÷ès3ø9$#4bÎ)uröNçGZä.$Y6ãZã_(#r㍣g©Û$$sù4bÎ)urNçGYä.#ÓyÌó£D÷rr&4n?tã@xÿy÷rr&uä!%y`Ótnr&Nä3YÏiBz`ÏiBÅÝͬ!$tóø9$#÷rr&ãMçGó¡yJ»s9uä!$|¡ÏiY9$#öNn=sù(#rßÅgrB[ä!$tB(#qßJ£JutFsù#YÏè|¹$Y6ÍhŠsÛ(#qßs|¡øB$$sùöNà6Ïdqã_âqÎ/Nä3ƒÏ÷ƒr&urçm÷YÏiB4$tB߃̍リ!$#Ÿ@yèôfuŠÏ9Nà6øn=tæô`ÏiB8ltym`Å3»s9ur߃̍ãƒöNä.tÎdgsÜãŠÏ9§NÏGãŠÏ9ur¼çmtGyJ÷èÏRöNä3øn=tæöNà6¯=yès9šcrãä3ô±n@ÇÏÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.[15]

Dari kandungan ayat di atas, difahami bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf, yang termasuk salah satu syarat sahnya salat.
Dari beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.Berdasarkan hal itu, ulama ushul fiqih menetapkan kaidah “tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan”.[16]
b.      Syarat-syarat Mahkum Bih
1)      Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan.
2)      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif.
3)      Perbuatan harus mungkin untuk tidak dilaksanakan atau ditinggalkan.
3.      Mahkum Alaih
a.      Pengertian
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum).Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang beranggapan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallafakan diminta pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat.
b.      Taklif
1)      Dasar taklif
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalahhukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.[17] Rasulullah Saw bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ عَنِ النَّاعِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِطَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقُ.
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai ia sembuh”.[18]
2)      Syarat-syarat taklif
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
a)      Orang yang telah mampu memahami khitab syar’I (tuntutan syra’) yang terkandung dalaam al-Quran dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami khitab syar’I tidak bisa dicapai kecuali melalui akal, hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, dan dipastikan berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka syara’ menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang konkrit (jelas) dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum dan hal tersebut adalah balighnya seseorang. Penentu bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan bagi laki-laki, keluarnya air mani melalui mimpi yang pertama kali dan bagi wanita melalui keluarnya haid yang pertama kali atau telah sempurna berumur lima belas tahun.[19]
b)      Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut ahliyyah. Ahliyyah terbagi kepada 2 jenis, yaitu:
1)      Ahliyyah al-Ada’
Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun negatif.
2)      Ahliyyah al-Wajib
Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.[20]
B.      Pembagian Hukum
Hukum syari'at dibagi menjadi dua bagian :Taklifiyyah (pembebanan)dan Wadh'iyyah (peletakan).
Al-Ahkam at-Taklifiyyah ada lima :wajib, mandub (sunat), haram,makruh, dan mubah.
1.      Wajib (الواجب).Secara bahasa berarti ( واللازمالساقط)"yang jatuh dan harus".Dan secara istilah :
مَاأَمَرَبِهِالشَّارِعُعَلَىوَجْهِاْلإِلْزَامِ
Artinya :"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentukkeharusan".
Dan suatu yang wajib itu pelakunya diganjar jika ia melakukannyauntuk mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang meninggalkannyaberhak mendapatkan adzab.[21]
Contohnya, firman Allah SWT yaitu:
(#qßJŠÏ%r&urno4qn=¢Á9$#(#qè?#uäurno4qx.¨9$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#öNà6¯=yès9tbqçHxqöè?ÇÎÏÈ
Artinya:  “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat”.[22]
2.      Mandub ( المندوب ) secara bahasa : (المدعوُّ) "yang diseru".Dan secara istilah :
مَا أَمَرَبِهِالشَّارِعُلاّعَلَىوَجْهِاْلإِلْزَامِ
Artinya:  "Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentukkeharusan".
Dan suatu yang mandub itu pelakunya diganjar jika ia melakukannyauntuk mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang meninggalkannya tidakmendapatkan adzab.[23]
Contohnya, firman Allah SWT yaitu:
$ygƒr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sŒÎ)LäêZtƒ#ys?AûøïyÎ/#n<Î)9@y_r&wK|¡Bçnqç7çFò2$$sù4
Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.[24]
3.      Haram ( المحرم ).Secara bahasa :( الممنوع ) "yang dilarang".Dan secara istilah :
مَانَهىعَنْهُ الشَّارِعِعَلَىوَجْهِاْلإِلْزَامِبِالتَّرْكِ
Artinya:  "Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusanuntuk ditinggalkan".
Dan suatu yang haram itu pelakunya diganjar jika ia meninggalkannyauntuk mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang melakukannyaberhak mendapatkan adzab.[25]
Ÿwur(#qè=çGø)s?š[øÿ¨Z9$#ÓÉL©9$#tP§ymª!$#žwÎ)Èd,ysø9$$Î/4ö/ä3Ï9ºsŒNä38¢¹ur¾ÏmÎ/÷/ä3ª=yès9tbqè=É)÷ès?
Artinya:  “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”[26]

4.      Makruh ( المكروه) secara bahasa : ( المبغض) "yang dimurkai".
Dan secara istilah :
مَانَهىعَنْهُ الشَّارِعُ لاَعَلَىوَجْهِاْلإِلْزَامِبِالتَّرْكِ
Artinya:  "Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentukkeharusan untuk ditinggalkan",
Dan suatu yang makruh itu pelakunya diganjar jika ia meninggalkannyauntuk mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang melakukannyatidak mendapatkan adzab.[27]
Contohnya, dalam hadits RasulullahSAW yaitu:
اَبْعَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ اللهِ الطَّلَاقُ
Artinya:“Perbuatan halal yang dibeci Allah adalah talak”[28]
5.      Mubah ( المباح ) secara bahasa : (المعلن والمأذون فيه) "yang diumumkan dan diizinkandengannya".Dan secara istilah :
مَالاَيَتَعَلَّقُبِهِأَمْرٌ،وَلاَنَهيٌلِذَاتِهِ
Artinya: "Apa-apa yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secaraasalnya".
Dan yang demikian tidak mengeluarkannya (yakni hal yang mubah)dari keberadaannya sebagai sesuatu yang hukumnya mubah pada asalnya.Dan mubah yang senantiasa berada pada sifat mubah (boleh), maka iatidak mengakibatkan ganjaran dan tidak pula adzab.[29]
Seperti makan pada malam hari di bulan Ramadhan.

Al-Ahkam Al-Ahkam al-wadh'iyyah adalah :
مَاوَضَعَهُالشَّارِعُمِنْأَمَارَاتٍ،لِثُبُوْتٍأَوْاِنْتِفَاءٍ،َأوْ نُفُوْذٍ،أوْإِلْغَاءٍ
Artinya:  "Apa-apa yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda untukmenetapkan atau menolak, melaksanakan atau membatalkan."[30]
Al-Ahkam al-wadh'iyyah ada tujuh :sebab, syarat, mani’, shihah, bathil, azimah dan rukhsah.
1.      Sebab.
Yaitu sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain, berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan.
Contoh: salat zuhur dilakukan karena sebab telah masuk waktunya.
2.      Syarat.
Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya.Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.Oleh sebab itu, suatu hukum taklif tidak dapat diterapkan kecuali bila telah memenuhisyarat yang telah ditetapkan syara’.
Contoh:Wudhu’ adalah salah satu syarat sahnya salat.
3.      Mani’.
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Contoh: hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan waris mewarisi. Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapat pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing.Tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut.
4.      Shihhah.
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntunan syara’ yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’.
Contoh: salat dikatakan sah apabila sebabnya ada, syaratnya terpenuhi dan tidak terdapatmani’nya.
5.      Bathil.
Yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang telah ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.
Contoh: memperjualbelikan minuman keras.
6.      Azimah.
Yaitu hukum-hukum yang disyaratkan Allah kepada seluruh hambanya sejak semula.Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyaratkan Allah, sehingga sejak disyariatkannnya seluruh mukallaf wajib mengikutinya.
Contoh: Melaksanakan salat zuhur dengan empat raka’at.
7.      Rukhsah(keringanan).
Yaitu hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.
Contoh: salat zuhur yang berjumlah empat raka’at bisa menjadi dua raka’at karena sebab musafir.[31]


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari penjelasan diataslah, dapatlah diambil kesimpulan, yaitu:
1.      Unsur-unsur hukum ada tiga yaitu hakim,mahkum bih/ mahkum fih danmahkum alaih.Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.Mahkum fih adalah hukum atau objek hukum. Mahkum alaih adalah subjek hukum atau seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, atau disebut mukallaf.
2.      Hukum terbagi dua yaitu hukum taklifidan hukum wadh’i. hukumtaklifi ialah apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan.Sedangkan hukum wadh’I ialahapa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun akad."
3.      Al-Ahkam al-Taklifiyyah ada lima :wajib, mandub (sunat), haram,makruh, dan mubah. Sedangkan al-Ahkam al-Wadh'iyyah ada tujuh :sebab, syarat, mani’, shihah, bathil, azimah dan rukhsah.

B.      Kata Penutup
Dengan mengucap Alhamdulilla ar-Robba al-‘Alamin, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan dengan harapan agar hasil penulisan ini memberikan mamfaat dan hikmah terhadap semua pihak yang terkait.Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.Amin.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1998.

Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya,cet. I,Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004.

Al-'Utsaimin,Muhammad bin Sholeh,Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, alih bahasa Abu SHilah & Ummu SHilah, http://tholib.wordpress.com, 2007.

Asy’ari, Suaidi, Panduan Penulisan Karya Ilmiah; Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2011.

Hamid, Abdul Hakim, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Jakarta: CV. Sa’adiyah Putra, tt.

Syafe’I,Rahmat,Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010

Yunus, Mahmud,Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hadikarya, 1990.












[1] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hadikarya, 1990), h. 107
[2]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, alih bahasa Abu SHilah & Ummu SHilah, (http://tholib.wordpress.com, 2007), h. 6.
[3] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 295
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, h. 107
[7] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 345
[8] Al-An’am (6) : 57
[9] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 349
[10]Ibid, h. 317
[11] Al-Baqarah (2) : 43
[12] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 318
[13] A-An’am (6) : 151
[14] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 318
[15] Al-Maidah (3): 6
[16] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 319
[17]Ibid, h. 335
[18] Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan darul Quthni
[19] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 336
[20]Ibid, h. 340-341
[21]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, h. 7-8.
[22] An-Nur (24) : 56
[23]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsif Ilmu Ushul Fiqih,h. 8-9
[24] Al-Baqarah (1) : 282
[25]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsif Ilmu Ushul Fiqih,h. 9
[26] A-An’am (4) : 151
[27]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsif Ilmu Ushul Fiqih,h.10
[28]HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim
[29]Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, h. 11
[30]Ibid.
[31] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h. 313-316