Sabtu, 31 Mei 2008

SEJARAH AL-QURAN

MAKALAH
علم قرأة
“SEJARAH AL-QURAN


 











DI SUSUN OLEH :

A. SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. UT. 060741


DOSEN PENGAJAR :

Drs. SUPIAN, M.Ag


FAKULTAS USHULUDDIN
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2008


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, berkat rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Ilmu Qiraat” yang berjudul “Sejarah al-Quran” dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima kritik dan saran dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun guna perbaikan kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Semoga makalah ini bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa, khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, 11 Mei 2008

Penyusun




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………….……………..…………………………………… i
DAFTAR ISI            ………………………………………………….…...……….….…… ii
BAB I PENDAHULUAN 
A.   Latar Belakang ………………………………..……..…………..…….…….1
B.   Pokok Masalah …………………………………….…..……………………1
BAB II PEMBAHASAN
A.   Pengertian Al-Quran . …………………………………………………….. 2
B.   Sejarah Al-Quran .. … …………....…………………..…………………… 4
C.   Sejarah Pemnulisan Al-Quran .……….……………..…………………….5
D.   Sejarah Pembacaan Al-Quran ……………………………………………11
BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan …………………………….…………….……………………14
  2. Saran ………………………………………………………………………. 14
DAFTAR PUSTAKA ............………………………………………………..........15


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagaimana diketahui, bahwa al-Quran merupakan kitab suci umat Islam, dan beriman kepadanya tergolong salah satu rukun iman. Ia adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai dengan akhir surat an-Naas.
Al-Quran juga merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menduduki tingkat teratas, dan seluruh ayatnya berstatus qath’iy al-wurud, yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT.
Dengan demikian, autentisitas serta orisinalitas al-Quran benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya. Dan Al-Quran juga ternyata mengalami proses sejarah yang cukup unik dalam upaya penulisan dan pembukuannya.

B.     Pokok Masalah
Pokok masalah dalam pembahasan dalam makalah ini akan menguraikan tentang pengertian al-Quran, sejarah penulisan, pembukan serta pembacaannya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Quran
Secara bahasa, lafal qur-an (قرآن) sama dengan qira-at (قراءة). Ia merupakan bentuk mashdar menurut wazn (pola) fu’lan (فعلان), seperti halnya lafal ghufran (غفران) dan syukran (شكران). Bentuk kata kerjanya adalah qaraa (قرأ) yang berarti (الحمع والضم) yaitu, menghimpun dan mengumpulkan. Dengan demikian lafadz qur-an dan qira-at secara bahasa berarti menghimpun dan memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainnya.[1]
Sedangkan pengertian Al-Quran menurut istilah, para Ulama Ushul, Ulama Fiqh, pakar bahasa Arab maupun Ulama Mutakallimin sependapat bahwa pengertian pokok yang terkandung dalam istilah Al-Quran (القرآن) yaitu :
اللفظ المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم من اول الفاتحة الى آخر سورة الناس
Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat al-fatihah sampai akhir surat an-Nas.
Namun demikian, mereka berbeda pendapat dalam memberikan penjelasan atas rincian tentang sifat-sifat yang terdapat dalam pengertian pokok tersebut. Di antara mereka ada yang memberikan rincian yang relative panjang, ada yang secara sederhana dan ada yang secara singkat saja.
Para ulama yang memberikan rincian relative panjang, defenisi al-Quran menurut mereka yaitu :
الكلام  المعجز المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم المكتوب فى المصحف, المنقول بالتواتر, المعتبد بتلاوته
Kalam yang bersifat mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis dalam mushhaf, yang dinukilkan secara mutawatir dan membacanya termasuk ibadah.
Versi lain tentang defenisi al-Quran yang dikemukakan oleh mereka, yaitu :
الكلام  المنزل على النبى صلى الله عليه وسلم باللغة العربية, المعجزة المؤيدة له, المحتدى به العرب, المعتبد بتلاوته, المنقول الينا بالتواتر
Kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab, bersifat mukjizat yang menguatkan ke-Nabian beliau dan merupakan tantangan bagi bangsa Arab, yang membacanya dinilai ibadah dan dinukilkan secara mutawatir.[2]

B.     Sejarah Al-Quran
Al-qur’an sebagai kalam Allah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui proses apa yang disebut nuzul atau inzal. Sejumlah ayat al-Qur’an menyatakan hal ini dengan jelas, seperti firman-firman Allah SWT, berikut:
a.

وَبِالْحَقِّ اَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ (الاسراء :   )
b.

نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيْلاً (الانسان :   )
c.

كِتَابٌ اَنْزَلْنَاهُ اِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ اِلىَ النُّوْرِ (ايراهيم:   )

Adapun yang dimaksud dengan nuzul, inzal, tanzil, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas, sementara ulama mengartikannya dengan (اظهار القرآن) yaitu, menampakkan atau melahirkan al-Qur’an. Pendapat lain menyatakan, yang dimaksud adalah, bahwa Allah SWT mengajarkannya kepada malaikat Jibril, baik mengenal bacaannya maupun pemahamannya, lalu Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad SAW, yang berada dibumi.
Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa yang dimaksud adalah (الاعلام به) yaitu, memberitahukannya. Sementara digunakannya istilah inzal, tanzil, atau nuzul tersebut, mengisyaratkan akan ke-Besaran dan ke-Tinggian Zat Pemilik kalam tersebut yaitu Allah SWT.
Sehubungan dengan hal ini di atas, penulis berkesimpulan, bahwa ketiga pendapat tersebut bisa kita terima. Namun demikian, pendapat pertama yang mengertikannya dengan (اظهار القرآن) bisa mencakup pengertian yang dikemukakan oleh kedua pendapat lainnya, tetapi tidak sebaliknya. Jelasnya, makna diturunkannya al-Qur’an menurut hemat penulis yaitu, dilahirkannya al-Qur’an dari yang bersifat immateri menjadi yang bersifat materi, dengan cara melahirkan wujudnya yang bersifat alam di Lawh mahfuzh, atau dengan cara melahirkannya kepada malaikat Jibril, atau dengan cara melahirkannya dalam jiwa Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, yang jelas, makna diturunkannya al-Qur’an bukanlah ia diangkat (dipindahkan) dari suatu tempat ke tempat lainnya.

C.    Sejarah Penulisan Al-Quran
Yang dimaksud dengan penulisan atau pembukuan al-Quran dalam pembahasan ini yaitu, proses penyampaian, pencatatan dan penulisan al-Quran, sampai dihimpunnya catatan-catatan serta tulisan-tulisan tersebut dalam satu mushhaf secara lengkap dan tersusun secara tertib.
Dalam berbagai literatur, kebanyakan digunakan istilah jam’ al-Quran ( جمع القرآن) atau pengumpulan al-Quran, sementara hanya sebagian kecil literatur yang memakai istilah kitabat al-Quran (كتابة القرآن) atau penulisan al-Quran, dan tadwin al-Quran (تدوين القرآن) atau pembukaan al-Quran.
Para ulama yang mamakai istilah jam’ al-Quran mengartikannya dengan (الجمع فى الصدور) yaitu proses penghafalannya dan (الجمع فى السطور) yaitu proses pencatatan dan penulisannya.
Pada kenyataannya, istilah-istilah yang mereka gunakan itu mengandung maksud yang sama, karena ternyata dalam pembahasannya mereka mengacu kepada, penulisan al-Quran sebagai mana penulis maksudkan di atas.
Adapun proses penulisan al_Qran menjalani 3 (tiga) tahap atau fase.
  1. Penulisan Pada Masa Rasulullah SAW.
  1. Upaya Penghafalan
Setiap kali setelah Nabi SAW, menerima wahyu al-Quran, beliau langsung mengingat dan menghafalnya. Selanjutnya beliau memberitahukan dan membacakannya kepada para sahabat, agar mereka mengingat dan menghafalnya pula.
Begitu kuatnya kesungguhan Nabi SAW, untuk mengingat dan menghafal setiap wahyu yang diterimanya, sehingga pada awal-awal turunnya wahyu ada kesan, beliau tergesa-gesa dalam mengingat dan menghafalnya. Karena itu, dalam hal ini Allah SWT mengingatkan beliau dengan firman-Nya, antara lain:
وَلاَ تَجْعَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يُقْضَى اِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا (طه :  )
Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum disempurnakan mewahyukan kepadamu, dan katakanlah: “Tuhanku tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Qs Thaha/20 : 114).
Dan di dalam Surat al-Qiyamah ayat 16-19 yang artinya :
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkan (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. (Qs. Al-Qiyamah : 16-19)
  1. Upaya penulisan
Sama-sama kita ketahui bahwa pada umumnya kaum muslimin pada masa turunnya al-Quran, termasuk masyarakat yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis. Namun demikian tidak berarti sama sekali tidak ada yang bisa membaca dan menulis. Beberapa di antara mereka khususnya dari suku Qurays telah belajar membaca dan menulis sebelum Nabi SAW diutus menjadi Rasul. Sebagai contoh Zaid bin Tsabit belajar menulis dari orang-orang Yahudi yang berada di Madinah pada saat itu.
Setelah datangnya Islam, maka secara berangsur-angsur kemampuan kaum muslimin dalam soal tulis-baca ini mendapat perhatian dan pembinaan dari Nabi SAW sendiri. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan, bahwa setiap orang dari para tawanan perang Badr waktu itu harus memberikan pelajaran menulis kepada sepuluh orang sahabat.
Oleh karena itu, pada masa Napi pun al-Quran selain dihafal oleh para sahabat, juga dicatat dan ditulis oleh para juru tulis wahyu beliau. Di antaranya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qays, ‘Amir bin Fuhairah, ‘Amr bin ‘Ash dan Zubair bin ‘Awwam.
Pada setiap kali setelah Nabi SAW menerima wahyu al-Quran, beliau lalu membacakannya kepada para sahabat serta memerintahkan para juru tulis wahyu untuk menulis dan mencatatnya. Sementara itu beliau pun menunjukkan pula dimana ayat-ayat al-Quran yang diturunkan itu harus diletakkan pada surat-surat tertentu. Misalnya, Nabi mengatakan “Letakkan ayat ini sesudah ayat itu disurat al-Baqarah”. Demikian Nabi melakukan sehingga sempurnanya al-Quran diturunkan dalam tempo kurang lebih 23 tahun.
Para juru tulis wahyu tersebut menulis dan mencatat setiap ayat-ayat al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma dan batu-batu sesuai kondisi peradaban masyarakat pada masa itu yang belum mengenal alat tulis seperti kertas. Demikianlah pada masa Nabi SAW ayat-ayat al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur itu telah terkumpul dan ditulis pada benda-benda tersebut sesuai dengan petunjuk dari Nabi, baik mengenal urutan maupun suratnya.
Kumpulan tulisan serta catatan para juru tulis wahyu tersebut akhirnya disimpan di rumah Nabi, sementara para juru tulis wahyu itu pun menyalinnya pula diri mereka masing-masing.

  1. Penulisan Al-Quran Pada Masa Abu Bakar Ash-Ashiddiq
Setelah Nabi SAW wafat dan Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, terjadilah di kalangan kaum muslimin suatu kekacauan yang ditimbulkan oleh golongan orang murtad, yaitu Musailamah al-KAzzab bersama para pengikutnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya peperangan Yamamah  yang terja pada tahun  H antara kaum muslimin di satu pihak, dengan Musailamah al-Kazzab beserta para pengikutnya di lain pihak.
Dalam pertempuran tersebut, banyak para sahabat penghafal al-Quran gugur di medan perang. Jumlah mereka yang gugur mencapai sekitar    orang, bahkan satu riwayat menyatakan sekitar 5 orang,  sementara kaum muslimin yang gugur dalam pertempuran tersebut kurang lebih berjumlah   orang.
Peristiwa tersebut menggugah hati dan hasrat Umar bin Khattab, untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar agar al-Quran dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf. Beliau merasa khawatir kalau al-Quran akan berangsur-angsur hilang hanya dihafal saja, karena para penghafal semakin berkurang.
Pada mulanya, Abu Bakar terkesan ragu-ragu untuk menerima ide dan usul Umar bin Khattab tersebut. Namun, akhirnya beliaupun menerimanya setelah betul-betul mempertimbangkan kebaikan dan mamfaat dari ide Umar tersebut. Beliau pun memerintahkan Zaid bin Tsabit agar al-Quran dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf.
Demikianlah, akhirnya al-Quran berhasil dihimpun dan dibukukan dalam satu mushaf. Mushaf itu disimpan oleh Abu Bakar sampir akhir hayatnya, setelah itu berpindah ke tangan Umar bin Khattab, dan setelah beliau wafat dipindahkan ke tangan Hafshah binti Umar. 
  1. Penulisan Al-Quran Pada Masa Usman Bin Affan
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, banyak diantara para sahabat penghafal al-Quran yang tinggal berpencar di berbagai daerah. Hal ini disebabkan daerah Islam waktu itu sudah semakin meluas. Para pemeluk Islam di masing-masing daerah mempelajari serta menerima bacaan al-Quran dari sahabat ahli qiraat yang tinggal di daerah yang bersangkutan. Penduduk Syam misalnya, berguru dan membaca al-Quran dengan qiraat Ubay bin Ka’ab. Penduduk Kufah berguru dan membaca al-Quran dengan qiraat Abdullah bin Mas’ud, sementara penduduk yang tinggal di Bashrah berguru dan membaca al-Quran dengan qiraat Abu Musa al-Asy’ari dan lain sebagainya.
Perlu diketahui, bahwa versi qiraat yang dimiliki dan diajarkan oleh masing-masing sahabat ahli qiraat tersebut satu sama lain berlainan. Hal ini rupanya menimbulkan dampak negative di kalangan kaum muslimin waktu itu, yaitu masing-masing di antara mereka membanggakan versi qiraat mereka, dan saling mengaku bahwa versi qiraat merekalah yang paling baik dan benar.


D.    Sejarah Pembacaan Al-Quran
a.      Timbulnya perbedaan bacaan
Membaca dan menyimak bacaaan al-Quran telah dilakukan sejak wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan beliaulah orang pertama kali yang membacanya, kemudian diikuti dan diajarkan kepada para sahabat. Sahabat yang dihadapi Rasulullah tidak hanya terdiri dari satu suku saja, akan tetapi berbagai suku yang berbeda dan membawa budaya yang berbeda, karakter dan dialek yang berbeda pula. Oleh karena itu, dalam mengajarkan al-Quran Rasulullah tidak memaksakan kehendaknya, akan tetapi boleh dibaca beragam asal tidak mengubah arti yang sesungguhnya.
Hadits diriwayatkan oleh An-Nasa’I dari Ubay bin Ka’ab berkata : Rasulullah telah membacakan kepadaku suatu surah. Kemudian ketika aku duduk di masjid aku mendengarvseorang laki-laki yang berbeda bacaannya dengan bacaanku, maka aku katakana kepadanya : siapa yang mengajarkan engkau surah ni? Ia menjawab : ‘Rasulullah SAW’. Aku berkata : kalau begitu jangan berbeda dengan bacaanku, sehingga kami datang kepada Rasulullah. Aku datang dan bertanya : Ya Rasulullah! Orang ini berbeda bacaannya dengan bacaanku pada surah yang engkau ajarkan kepadaku. Maka Rasul bersabda : ‘Hai Ubay baca!’. Akupun membacanya. Beliau memujiku : ‘Bagus kamu’. Kemudian beliau bersabda kepada seorang laki-laki tersebut : ‘Baca!’ ia membaca yang berbeda dengan bacaanku. Beliau juga memujinya : ‘Bagus kamu’. Kemudian beliau bersabda yang artinya:
 “Hai Ubay! Sesungguhnya al-Quran diturunkan atas tujuh huruf semuanya benar dan cukup”. (HR. An-Nasa’i)
b.      Imam Qiraah tujuh orang
Pada abad ke II Hijriyah ini timbul banyak bacaan sekitar 10 sam[ai 14 bacaan, tetapi kemudian diseleksi oleh para ulama, 7 di antaranya yang mutawatir yang dapat diikuti umat Islam. Mereka itu sangat masyhur yang disebut qiraat tuuh (Qiraa Sab;ah), nama-namanya sebagai berikut :
1.      Abu Umar bin al-Ala Syaikh al-Rurah meninggal di Kufah pada tahun 154 H, dengan muridnya bernama ad-Duri (w. 246 H) di Baghdad dan as-Susi (w. 261 H).
2.      Ibnu Katsir, nama aslinya Abdullah bin Katsir al-Makki (w. 120 H) muridnya bernama al-Bazzi (w. 250 H) di Mekkah dan Qunbul (w. 291 H) di Mekkah.
3.      Nafi al-Madani (w. 169 H) yang mempunyai murid bernama Qalun (w. 220 H) di Madinah dan Warasy (w. 198 H) di Mesir.
4.      Ibnu Amir Asy-Syami (w. 118 H), muridnya bernama Hisyam (w. 245 H) di Damaskus dan Ibnu Dzakwan (w. 242 H) di Damaskus.
5.      Ashim al-Kufi (w. 128 H) dengan murudnya bernama Syu’bah (w. 193 H) di Kufah dan Hafash (w. 180 H) di Kufah.
6.      Hamzah al-Kufi (w. 156 H) dan muridnya bernama Khalaf (w. 229 H) di Baghdad dan Khalad (w. 220 H) di Kufah.
7.      Al-Kisa’I al-Kufi (w. 189 H) dengan muridnya yang bernama Abu al-Harits (w. 240 H) di Baghdad dan ad-Duri (w. 246 H) di Baghdad).[3]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Al-qur’an sebagai kalam Allah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui Jibril dan proses apa yang disebut nuzul atau inzal.
 Sejarah penulisan al-Quran dimulai pada masa Rasulullah SAW, Masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddieq dan Masa khalifah Usman bin Affan. Begitu juga dengan membaca dan menyimak bacaaan al-Quran telah dilakukan sejak wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan beliaulah orang pertama kali yang membacanya, kemudian diikuti dan diajarkan kepada para sahabat. Sahabat yang dihadapi Rasulullah tidak hanya terdiri dari satu suku saja, akan tetapi berbagai suku yang berbeda dan membawa budaya yang berbeda, karakter dan dialek yang berbeda pula. Oleh karena itu, dalam mengajarkan al-Quran Rasulullah tidak memaksakan kehendaknya, akan tetapi boleh dibaca beragam asal tidak mengubah arti yang sesungguhnya.

B.     Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Hasanuddin. AF. Anatomi Al-Quran ‘Perbedaan Qiraat Dan Pengaruhnya terhadap Insrinbath Hukum Dalam Al-Quran.( CV. Qira’at. 1935)


Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag. Praktikum Qiraat ‘Keanehan bacaan Alquran Qira’at Ashim dari Hafash. Hlm. 34-35


Syaikh Manna’ al-Qtahthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. 2006)





[1] Dr. Hasanuddin. AF. Anatomi Al-Quran ‘Perbedaan Qiraat Dan Pengaruhnya terhadap Insrinbath Hukum Dalam Al-Quran’. Hlm. 13
[2] Ibid,. Hlm. 15-16.
[3] Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag. Praktikum Qiraat ‘Keanehan bacaan Alquran Qira’at Ashim dari Hafash. Hlm. 34-35

Senin, 19 Mei 2008

IDGHOM

MAKALAH
علم التجويد
“I D G H O M”

 







DI SUSUN OLEH :

A. SHOLIHIN MUTTAQIN

NIM. UT. 060741


DOSEN PENGAJAR :

A M R A N, S.Th.I

FAKULTAS USHULUDDIN
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2008


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, berkat rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Ilmu Tajwid” yang berjudul “I d g h o m” dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima kritik dan saran dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun guna perbaikan kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita harapkan.Semoga makalah ini bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa, khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan yang diberikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, 30 April 2008

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………….………………………………………………i
DAFTAR ISI            …………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN 
1.      Latar Belakang ………………………………………………………….1
2.      Pokok Masalah …………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
1.      Pengertian dan Huruf-huruf Idghom ……………………………….. 2
2.      Pembagian Idgom ………….…..……………………………………… 3
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………..6
DAFTAR PUSTAKA ............………………………………………………..... 7


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Ilmu Tajwid merupakan ilmu yang sangat penting bagi seorang muslim, oleh karena itu wajib untuk mempelajarinya. Karena tanpa memahami ilmu Tajwid seseorang tidak akan bisa membaca al-Quran dengan baik dan benar. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
وَرَتِّلِ الْقُرْآنِ تَرْتِيْلاً
“Dan bacalah al-Quran itu dengan tartil (menjaga tajwidnya)”
Ilmu Tajwid adalah ilmu yang membicarakan tentang cara membaca al-Quran menurut yang sebenarnya daripada hukum-hukumnya. Maksudnya disini, kaidah-kaidah dalam membaca al-Quran, baik itu makhorijul hurufnya, sifatul hurupnya, dan hukum-hukum yang lain seperti hukum Nun Mati dan Tanwin ketika bertemu dengan huruf hijaiyah, waqaf, wasal, saktah, dan lain sebagainya itu hanya dipelajari di dalam ilmu Tajwid.

2.      Pokok Bahasan
Demi terfokusnya pembahasan dalam makalah ini sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Dosen Ilmu Tajwid kepada penyusun, maka di dalam makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian Idghom, huruf-hurufnya dan bagian-bagian idghom secara terperinci.

BAB II

PEMBAHASAN

1.      Pengertian dan Huruf-huruf Idghom
Telah kita ketahui bersama bahwa Idgom termasuk dari pada hukum Nun Mati atau Tanwin di dalam al-Quran. Idghom menurut bahasa adalah memasukkan. Sedangkan menurut istilah adalah membaca dengan menyatukan dua huruf yang pertama berbaris mati dan yang kedua berbaris hingga menjadi huruf yang satu lagi bertasydid.
Huruf Idgom ada 6 (enam) yaitu :
1.
ي
(ya)
4.
ن
(nun)
2.
و
(waw)
5.
ل
(lam)
3.
م
(mim)
6.
ر
(raa)


2.      Bagian Idghom
Idhom menurut hukum Nun Mati dan Tanwin ada 2 (dua) yaitu: 1) Idhom Bi Ghunnah, 2) Idgom Bila Ghunnah, dan Idghom menurut hukum Mim mati ada satu yaitu Idghom Mimi.
1.      Idhom Bi Ghunnah (ادغام بغنه )
Idghom Bi Ghunnah atau Idghom Ma’al Ghunnah atau juga Ghunnah Musyaddadah ialah apabila Nun Mati atau Tanwin bertemu dengan huruf  ي, و, م, ن,  Contoh :
نْ – ي
:
مَنْ يَّقُوْلُ
تنوين – ي
:
لِقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ
نْ – و
:
مِنْ وَّرَاءِهِمْ
تنوين – و
:
فَاكِهَةٌ وَّلَهُمْ
نْ – م
:
مِنْ مَّرْقَدِنَا
تنوين – م
:
سِدْرٍ مَّخْضُوْدٍ
نْ – ن
:
مِنْ نِعْمَةٍ
تنوين – ن
:
كِتَابًا نَّقْرَؤُه


2.      Idgom Bila Ghunnah (ادغام بلا غنه )
Idghom Bila Ghunnah terjadi apabila Nun Mati atau Tanwin bertemu dengan huruf ل, ر  Contoh :
نْ – ل
:
مِنْ لَّدُنَّا
تنوين - ل
:
رَحْمَةً لِّلْعَالَمِبْنَ
نْ – ر
:
مِنْ رِّزْقٍ اللهِ
تنوين – ر
:
رَءُوْفٌ الرَّحِيْمٌ


3.      Idghom Mimi (  )
Idghom Mimi disebut juga dengan Idghom Matslaini/ Mutamatsilaini terjadi apabila huruf Mim mati bertemu dengan huruf mim yang berbaris. Contoh :
لَهُمْ مَّثَلاً

اَمْ مَنْ يَرْجُوْنَ
وَلَهُمْ مِّنَ اللهِ

فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ

Sedangkan idghom berdasarkan jenis dan tempat keluarnya ada  3 (tiga) yaitu :
1.   Idghom Mutamatsilaini (ادغام متماثلين)
Idgom Mutamatsilaini ialah pembacaan idgom apabila terjadi pertemuan antara 2 (dua) huruf yang sejenis, yang pertama mati dan yang kedua berharakat hidup. Cara membacanya dengan memasukkan huruf yang pertama kepada huruf yang kedua. Yaitu بْ berjumpa dengan  ب seperti  اِضْرِبْ بِعَصَاكَ danلْ   dengan   ل seperti بَلْ لاَ  dan     دْ dengan  د  seperti وَقَدْ دَخَلُوْا dan  ذْ  dengan     ذ  seperti اِذْ ذَهَبَ dan   تْ dengan  تseperti  .فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Pengecualian :
Tentang kaidah idghom Mutamatsilaini ini ada kecualinya, yaitu apabila ada huruf waw mati bertemu dengan waw berharakat, dan ya mati bertemu dengan ya berharakat maka tidak boleh diidghomkan kepada huruf yang kedua, tetapi harus dibaca panjang.
Contoh :
فِىْ يَوْمٍ


اِصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا



2.   Idghom Mutaqaribaini (ادغام متقاربين)
Idgom Mutaqaribaini ini ialah pembacaan idghom apabila terjadi pertemuan antara 2 (dua) huruf yang berdekatan tempat keluar makhrajnya. Cara membacanya adalah huruf pertama dimasukkan kepada huruf kedua. Yaitu   ثْ   berjumpa dengan   ذ  seperti    يَلْهَثْ ذَلِكَ  dan بْ    dengan  م seperti يبُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا   dan  قْ dengan  ك  seperti اَلَمْ نَخْلُقْكُمْ.
3.   Idghom Mutajanisaini (ادغام متجانسين)
Idgom Mutajanitsaini ini ialah pembacaan idghom apabila terjadi pertemuan antara 2 (dua) huruf yang serupa tempat keluar makhrajnya tetapi berlainan sifatnya. Cara membacanya huruf pertama dimasukkan kepada huruf yang kedua. Yaitu   تْ   berjumpa dengan   ط  sepertiاِذْ هَمَّتْ طَآئِفَةٌ  dan تْ    dengan  د seperti اَثْقَلَتْ دَعَوَا اللهَ   dan  طْdengan ت  seperti لَئِنْ بَسَطْتَ dan      لْ dengan  ر  seperti  وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا dan  ذْ dengan ظ  seperti وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَلَمُوْآ اَنْفُسَهُمْ .



BAB III
PENUTUP

Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Idghom menurut bahasa adalah mendengungkan. Sedangkan menurut istilah adalah membaca dengan menyatukan dua huruf yang pertama berbaris mati dan yang kedua berbaris hingga menjadi huruf yang satu lagi bertasydid.
Huruf Idgom ada 6 (enam) yaitu :
1.
ي
(ya)
4.
ن
(nun)
2.
و
(waw)
5.
ل
(lam)
3.
م
(mim)
6.
ر
(raa)

Idhom menurut hukum Nun Mati dan Tanwin ada 2 (dua) yaitu: 1) Idhom Bi Ghunnah atau Idgom Ma’al Ghunnah atau juga Ghunnah Musyaddadah, 2) Idgom Bila Ghunnah dan Idghom menurut hukum Mim mati ada satu yaitu Idghom Mimi.
Sedangkan idghom berdasarkan jenis dan tempat keluarnya ada  tiga yaitu :
1.   Idghom Mutamatsilaini (ادغام متماثلين)
2.   Idghom Mutaqaribaini (ادغام متقاربين)
3.   Idghom Mutajanisaini (ادغام متجانسين)



DAFTAR PUSTAKA

Al-Hanif, Abu Rifqi, Pelajaran Ilmu Tajwid, (Surabaya : Terbit Terang, 2005)
H. Arnadi bin H. Yahya, Pelajaran Ilmu Tajwid, 1372 H.
K.H. Ghaniem, Belajar Membaca dan Menulis Al-Quran, (Bandung : Pustaka Salsabila, 1995)