Selasa, 20 November 2012

MASALAH KESATUAN DAN KERAGAMAN DALAM HUKUM ISLAM

MAKALAH
SEJARAH SOSIAL HUKUM ISLAM
“MASALAH KESATUAN DAN KERAGAMAN DALAM HUKUM ISLAM”


Dosen:
Dr. A. A. Miftah, M.Ag

oke






Disusun Oeh :
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525





PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2012


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada bapak dosen Dr. A. A. Miftah, M.Ag yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Begitu pula kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalah ini.
Di dalam makalah ini, penulis membahas mengenai Masalah Kesatuan dan Keragaman Dalam Hukum Islam yang merupakan sub bahasan dalam mata kuliah sejarah Sosial Hukum Islam. Tentunya, sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya jika terdapat kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang dirangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya. Amin.

Jambi,     Nopember 2012

Ahmad Sholihin Muttaqin



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………
ii
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………
iii
BAB I PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
..…………………………………………………………………
1
B.      Rumusan Masalah
…..………………………………………………………………
1
BAB II PEMBAHASAN


A.      Ijtihad Pada Awal Islam
.
...………………………………………………………………

2
B.      Terbentuk dan Perkembangan Mazhab Fiqih


………………………………………………………………….


4
C.      Penyerapan Fiqih dalam Perundang-undangan di Negara Muslim



………………………………………………………………….



9
BAB III PENUTUP


A.      Kesimpulan
..…………………………………………………………………
14
B.      Kata Penutup
…..………………………………………………………………
14
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………
15
                                                                                                                             








BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Sejarah hukum sosial Islam adalah disiplin kajian ilmu yang bisa dikatakan masih baru jika dibandingkan dengan sejarah perkembangan hukum Islam. Dalam kajian ulum al-Quran dikenal dengan ilmu asbab an-nuzul, dalam ulum al-Hadits dikenal dengan ilmu asbab al-wurud, dan dari tarikh tasyri’ al-Islami lahir sejarah sosial hukum Islam, yaitu kajian hukum Islam ditinjau dari aspek sejarah sosialnya.[1]
Secara teknis, Nisar Ahmad Faruqi memberikan pemahaman bahwa formula yang digunakan sarjana Barat sejarah terdiri dari manusia, waktu dan ruang (man + time + space = history). Jadian kajian sejarah merupakan kejadian yang sudah terjadi atau masa lalu.[2]
Adapun keragaman maupun kesatuan dalam hukum Islam yang akan dijelaskan dalam makalah ini, merupakan salah satu bahasan terpenting dalam disiplin ilmu sejarah sosial hukum Islam yang berkisar tentang ijtihad pada awal Islam, proses terbentuk dan perkembangan mazhab fiqih serta penyerapan fiqih dalam perundang-perundangan di Negara Muslim.

B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah ijtihad pada awal Islam?
2.      Bagaimanakah proses terbentuknya dan perkembangan mazhab fiqih?
3.      Bagaimanakah penyerapan fiqih dalam perundang-undangan di Negara Muslim?



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Ijtihad Pada Awal Islam
Secara etimologi, ijtihadberasal dari kata اِجْتَهَدَ - يَجْتَهِدُ- اِجْتِهَادًا yang berarti bersungguh-sungguh.[3]Sedangkan secara terminologi, yaitu:
عَمَلِيَّةُ اسْتِنْبَاطِ اْلاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِلِيَّةِ فِى الشَّرْعِيَّةِ
Artinya:
“Aktivitas untuk memperoleh pengetahun (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at”.[4]
Ijtihad sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam. Kemudian berkembang pada masa-masa sahabat, tabiin, dan generasi selanjutnya hingga sekarang, sesuai dengan pasang surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing generasi. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. landasan dibolehkannya ijtihad di antaranya;
1.      Firman Allah SWT:
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِلَبْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا اَرَاكَ اللهِ ﴿النساء : ١٠٥
Artinya: 
“Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu”.[5]
2.      Hadits Rasulullah SAW:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ اَخْطَاءَ فَلَهُ اَجْرٌ
Artinya:
“Jika seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua dan bila salah maka ia mendapat satu pahala”.[6]
Mengenai fenomena ijtihad Rasulullah, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama asy’ariyah dan kebayakan ulama muktazilah berpendapat bahwa Nabi SAW tidak boleh dan tidak perlu melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada nash-nya, untuk menetapkan halal dan haram. Adapun ulama ushul membolehkannya. [7] Namun, Jika dilihat dari fakta sejarah, bahwa nabi melakukan ijtihad dalam urusan-urusan muamalat tentang keduniaan, bahkan ada dalam urusan keagamaan. Salah satu contohnya nya ialah ijtihad Nabi tentang ketentuan azan.
Adapun mengenai ijtihad pada masa sahabat pascawafat Nabi Muhammad tepatnya pada tahun 11 H dan berakhir pada tahun 41 H, yaitu untuk pertama kalinya kekhalifahan dikuasai Dinasti Umayyah. Ijtihad pada masa sahabat setelah Rasul wafat ini dipandang sebagai satu kebutuhan yang harus dilakukan guna menyelesaikan kasus yang ketentuan hukumnya tidak mereka jumpai secara tekstual dalam al-Quran dan Al-Sunnah.[8]
Jika dipandang dari kasus ijtihad yang dilakukan para sahabat, maka dapat dibedakan menjadi dua karakteristik. Pertama ijtihad pada hal-hal yang sudah disebutkan nash syari’atnya. Kedua ijtihad sahabat pada hal-hal yang tidak dijelaskan nash syari’atnya. Pada karakter yang kedua ijtihad, ijtihad terjadi ketika sahabat mulai menghadapi persoalan-persoalan baru dalam perkembangan masyarakat Islam.
Dikalangan para sahabat, terdapat perbedaan dalan ijtihad memberikan sumbangan intelektual yang sangat berharga bagi khazanah fiqih Islam sepeninggal mereka. Terjadi khilafiyat dikalangan sahabat menggambarkan bahwa hukum Islam pada masa generasi-generasi awal tidak bersifat kaku dan statits, sebagaimana mana masa-masa kemudian. Contohnya tentang penggantian kedudukan Nabi, ikhtilaf ini cukup popular, tidak hanya sebagai ikhtilaf politik, tetapi juga menyangkut segi fiqih secara keseluruhan dan sering disebut sebagai benih ikhtilaf pertama pasca Rasulullah wafat.[9]

B.      Terbentuk dan Perkembangan Mazhab Fiqih
Runtuhnya pemerintahan Daulah Umayyah sekitar abad ke-2 H, menghembuskan angin baru dalam dunia fiqih. Setidaknya, hal itu terlihat dari perhatian khulafa Bani Abbas yang sangat besar terhadap fiqih dan fuqaha. Perhatian besar terlihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid memanggil Imam Malik untuk mengajarkan kitab al-Muwattha’ kepada putranya, Al-Amin dan Al-Makmun. Bahkan Harun ar-Rasyid meminta pula Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur tentang administrasi, keuangan dan masalah-masalah ketatanegaraan sesuai dengan ajaran Islam dan lahirlah buku Al-Kharaj karya Abu Yusuf.[10]
Mengenai lahirnya mazhab-mazhab fiqih, fuqaha dan mujtahid yang terkenal pada masa ini yaitu Sufyan bin Uyainah di Mekah, Malik bin Anas di Madinah, Al-Hasan Al-Bashri di Bashrah, Abu Hanifah di Kufah, Sufiyan Ats-Tsauri di Kufah, Al-Auza’ di Syam, Asy-Syafi’I di Mesir, Al-Laits bin Sa’ad di Mesir, Ishaq bin Ruwaih di Naisabur, Ats-Tsaur di Baghdad, Ahmad bin Hambal di Baghdad, Dawud Azh-Zahiry di Baghdad dan Ibnu Jarir Ath-Thabary di Baghdad.[11] Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan para imam mazhab fiqih di kalangan Sunni. Selain itu, terdapat pula mazhab-mazhab yang dikenal dalam kelompoh Syi’ah, sepeti mazhab Zaidiyah, mazhab Imamiyah, Mazhab Isma’iliyah dan Mazhab Ibadhiyah.[12]
Menurut Ibrahim Ad-Dasuqy pada masa ini terdapat sampai 18 mazhab. Sebagian diantaranya masih ada dan terus berkembang seperti mazhab Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’I, Hambali, Syi’ah Zaidiyah, Syiah Imamiyah, Ibadhi dan Zhahiry. Adapun mazhab lainnya seperti mazhab Hasan Al-Bashri, Amir Ast-Sya’by, Auza’I Laitsi, Sufyan Ats-Tsauri dan Ath-Thabari tidak berpengikut lagi.[13] Pada zaman ini pula muncul kitab hadits yang enam, yang dikarang oleh al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), Abu Daud (w.275 H), At-tirmidzi (w.279 H), Ibnu Majah (w.373 H) dan An-Nasa’I (w.203 H).
Namun dilihat dari sebaran mazhab dan masih berlaku secara alamiah, ada mazhab yang masih hidup dan ada yang punah. Dalam analisis Cih Hasan Bisri dikatakan sebagai berikut:
Pertama, dalam komunitas Sunni terdapat tiga belas mazhab, diantaranya empat mazhab masih berkembang (Hanafi, MalikiSyafi’I dan Hanbali). Kedua, dalam komunitas Syi’I terdapat empat mazhab, diantaranya tiga mazhab yang masih berkembang (Ja’fari (Imami), Zaidi dan Isma’ili). Ketiga, dalam komunitas Khawarij hanya terdapat satu mazhab yang masih berkembang yakni mazhab Ibadi)”.[14]
Kitab-kitab fiqih pun pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah mulai menganut salah satu mazhab fiqih resmi negara, seperti dalam peemerintahan Daulah Abbasiah yang menjadikan mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab-kitab ushul fiqih, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafi’i.[15]
Mazhab Auza’i yang semula berkembang pesat di Syam hanya bertahan selama dua ratus tahun, kemudian melemah dan berpaling ke mazhab Imam Malik. Sedangkan mazhab Hasan Bashri  dan Tsauri tidak berumur panjang karena masyarakat Syam dan Bagdad sebagian besar beralih ke mazhab Malik dan Hanafi
Perkembangan yang cukup melonjak adalah mazhab Syafi’i. Semula hanya berkembang di Mesir tetapi kemudian merambah ke baghdad, Iraq, dan masuk ke Khurasan, Syam, Yaman, hingga sekarang. Setelah tiga ratus tahun dari perkembangannya, mazhab Syafi’i juga muncul di Afrika dan Andalusia. Mazhab Imam Ahmad bin Hambal yang berkembang di Baghdad menyebar pula di Syam tetapi sekarang mulai melemah.  
Mazhab Thabari dan Abu Tsauri tidak bertahan lama. Persaingan yang begitu ketat menjadikan mazhab Thabari hanya bertahan selama empat ratus tahun dan Abu Tsaur selama tiga ratus tahun. Para pengikut Daud al- Zhahiri yang semula berkembang di Baghdad dan Persia dan sedikit di Afrika dan Andalusia sekarang sangat lemah.
Demikian perkembangan dan pergumulan mazhab-mazhab fiqh berlangsung dengan sangat intens dan konstruktif. Mazhab-Mazhab itu memang tidak melemah atau menghilang dengan sedirinya, tetapi melalui uji coba, verifikasi ilmiah dan operasional ruang dan waktu yang panjang sekitar enam ratus tahun . dengan kata lain keempat Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, telah melewati masa penggodokan yang panjang dari generasi taqlid dimana ulama generasi ini hanya memusatkan kajian-kajiannya untuk pengembangan fiqh dan mencari relevansinya untuk pengembangan lebih lanjut dalam bentuk metode mereka berijtihad.[16][15]
Pada pertengahan abad keempat Hijriyah (350 H) terjadi periode taklid atau jumud, beku, dan statis. Menurut sebagian fuqaha Sunni, periode ini disebut juga periode penutupan pijntu ijtihad. Yang berlanjut sampai sekarang. Hal ini secara fakta sejak periode ini tradisi taklid sudah meluas dikalangan masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat perkembangannya dalam masyarakat sekarang. Sselain itu periode juga dikenal sebagai masa meredupnya semangat dan keinginan para ulama untuk melakukan ijtihad mutlak dan kembali pada dasar syari’at yang pokok dalam menyelesaikan permasalahan-permasalah hukum. Bahkan mereka membatasi diri dengan mengikuti produk-produk hukum yang telah dihasilkan oleh para mujtahid sebelumnya.[17]
Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab menjadi tertutupnya pintu ijtihad pada operiode ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Munculnya sikap ta’asub mazhab (fanatisme maszhab imamiyah) dikalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabiyah untuk berijtihad.
2.      Dipilihnya para hakim yang hanya bertaklid pada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqih yang diterapkan hanyalah hukum fiqih mazhabnya sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab.
3.      Munculnya buku-buku fiqih yang disusun oleh tiap-tiap mazhab, hal ini pun menurut Imam Muhammad Az-Zahrah membuat umat islam mencukupkan diri mengikut yang tertulis dalam buku-buku tersebut.[18]
Adapun sekilas tentang sebab-sebab terjadinyaperbedaan pendapat para mujtahid dan terbetuknya mazhab-mazhab bisa difahami terlebih dahulu ketika pada periode Rasullullah saw tidak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah yang terjadi, sebab standar dan rujukannya cuma satu. Berbeda ketika periode sahabat sudah banyak mucul tokoh tasyri’ yang di antara mereka banyak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan suatu hukum yang terjadi, bahkan sikap dan fatwa para sahabat bermacam-macam mengenai satu masalah saja. Perbedaan ini terjadi disebabkan ada perbedaan dalam memahami maksud ayat al-Qur’an, juga berbeda karena perbedaan tingkat dan kapasitas kecerdasan mereka dan perbedaan cara analisis mereka. Demikian juga, pemahaman dan sikap mereka terhadap hadits Nabi juga berbeda-beda. Terkadang diantara para sahabat itu ada yang berpegang kepada hadis Nabi sedang yang lain tidak.[19]
Perbedaan pendapat mengenai garis penetapan perundang-undangan di kalangan imam mujtahid itu berpangkal pada perbedaan mereka dalam tiga persoalan :
1.         Perbedaan mengenai penetapan sebagai sumber-sumber hukum.
2.         Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari tasyri’.
3.         Perbedaan mengenai prinsip-prinrsip bahasa yang sesuai dalam memahami nash-nash syari’at.
Adapun perbedaan mereka dalam menetapkan sebagian sumber-sumber hukum  akan nampak jelas dalam hal-hal berikut :
1.            Perbedaan para mujtahid dalam mengambil sumber hukum Islam berdasarkan latar belakang masing-masing mujtahid, misal : imam Malik dan rekan-rekannya hanya berpegang pada hadits-hadits yang di pandang kuat oleh fiqh Madinah. Mereka menolak hadis-hadist ahad sebagai sumber hukum, sedangkan imam mujtahid lainnya berhujjah dengan hadist yang di riwayatkan oleh periwayat yang Tsiqah (terpercaya) tanpa melihat dari daerah mana mereka berasal.
2.            Dalam hal qiyas dan analogi
Sebagian imam mujtahid dari kalangan Syi’ah dan  Zhahiriyah menolak berhujjah menggunakan qiyas atau analogi, mereka menolak qiyas dijadikan sebagai sumber hukum, sedangkan imam-imam mujtahid yang lainnya menggunakan qiyas sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, hadist, ijma’.[20]
Adapun perbedaan pendapat mereka dalam hal pertentangan penetapan hukum dari perundang-undangan nampak jelas dengan terbaginya mereka dalam kelompok ahli ra’yu (rasional) dan ahli hadits. Ahli ra’yu dalam memahami teks nash dengan pendekatan rasional, yaitu berdasarkan tujuan nash tersebut, sedangkan ahli hadist dalam memahami nash dengan menggunakan pendekatan tekstual tanpa menganalisis i’llat-‘illat hukumnya. Misalnya:
فرض رسول الله صلعم زكاةالفطرصاعامن تمراوصاعامن شعير (رواه مسلم عن ابن عمر)
Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’kurma atau gandum (HR. Muslim dari ibn Umar)”
Dalam memahami hadist tersebut ahli hadits berpatokan pada teks hadits artinya, jika berzakat harus di keluarkan kurma atau gandum satu sha’. Sedangkan ahli ra’yu  dari segi tujuan syari’at (maqasid al-syari’ah) bahwa tujuan zakat adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup orang-orang fakir-miskin, maka menurut ahli ra’yu berzakat boleh menggunakan barang lain yang seharga dengan satu sha’ kurma atau gandum.
3.            Adapun perbedaan mereka mengenai sebagian prinsip-prinsip pokok bahasa terjadi perbedaan analisis mengenai uslub (gaya) bahasa Arab. Sebagian mereka ada yang menetapkan hukum berdasarkan Mantuq (bunyi lafalnya), ada yang memahami berdasarkan mafhum mukhalafahnya artinya kebalikan dari yang disebutkan dalam nash. Ulama lain berpendapat kata amr  (perintah) menunjukkan arti wajib tidak selainnya, sementara ulama lain berpendapat amr hanya menunjukkan pada tuntutan untuk mengerjakan sesuatu. Indikasi atau alasan (qarinah) nya lah yang menentukan kepada perintah wajib atau sunatnya.[21]

C.      Penyerapan Fiqih dalam Perundang-undangan di Negara Muslim
1.      Saudi Arabia
Perkembangan dan penyerapan fiqih di Saudi Arabia adalah sangat menarik untuk dikemukakan, secara umum telah diketahui bahwa Saudi Arabia didirikan atas pandangan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab, yang berpegang kepada hukum syari’ah IslamiyahMadzhab Salafush-Shalih, yang memerangi bid’ah dan khurafat. Hukum yang berlaku sebagaimana pada zaman Khulafa ar-Rasyidin, yaitu berpegang  kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pada waktu Daulah Utsmaniyah yang menjadi pegangan pokok adalah madzhab Hanafi, dan dipakai juga madzhab Syafi’i di Hijaz dan madzhab Hanbali di Najd.Setelah Abdul Aziz ibn Su’ud berkuasa, hukum pengadilan ditentukan madzhab Hanbali sehingga madzhab ini menjadi madzhab yang resmi di seluruh Kerajaan Saudi. Oleh Karena itu, buku pegangan bagi hakim pengadilan adalah kitab Syarah Al-Muntaha dan Syarah Iqna’. Apabila tidak ada nash, diambil dari Syarh Zad al-Ma’ad dan Syarh Dalilul Falihin, atau juga dari kitab lain yang lebih luas dan diambil keputusan yang lebih rajih. Berdasarkan keputusan Raja  tahun 1930 M, yang di nashkan dalam kitab-kitab Imam Ahmad diamalkan tanpa musyawarah oleh anggota mahkamah, apabila tidak ada nash mereka harus ijtihad dan anggota mahkamah harus berkumpul untuk ijtihad bersama (ijtihad jama’i), adapun tentang ibadat sesuai dengan madzhabnya yang dianut masing-masing.
Disamping itu dikeluarkan pula peraturan perundang-undangan:
a.      KUH Acara, untuk mengatur tata kerja acara pengadilan tahun 1938, kemudian tahun 1952.
b.      KUH Dagang tahun 1931, KUHD adalah KUH yang sangat penting di Saudi Arabiah. Baik perdagangan darat maupun dilautan, terdiri dari 633 pasal.
c.       Undang-undang Hukum Pidana pada tahun 1951 (1370) dikeluarkan Undang-undang Pidana terutama dalam masalah ta’zir, tentang minuman khamar,liwath, dengan penjara dan jilid, atas diyat 1000 real,  dan lain-lain.
Selain undang-undang, ada peraturan-peraturan hukum pidana militer tahun 1951, peraturan-peraturan tentang perhubungan, kendaraan dan lain-lain tahun 1942.
d.      Peraturan kerja dan bekerja. Peraturan ini dikeluarkan tahun 1947, berhubung dengan pekerjaan syarikat perminyakan antara Arab dan Amerika. Dasarnya adalah hukum-hukum syara’ untuk kemaslahatan umum.
e.      Peraturan pajak. Peraturan ini dikeluarkan karena meluasnya yang harus dibiayai oleh kerajaan, sehingga diharuskan adanya pajak. Dalam hal ini pajak dihubungkan dengan zakat syari’ah dan kewajiban pajak bagi syarikat perusahaan.
f.        Peraturan-peraturan lain-lain.[22]
2.      Mesir
Negara Mesir adalah negara yang memiliki Undang-Undang Dasar tanggal 11 September 1971.Walaupun Negara tersebut adalah suatu negara demokrasi, Negara Sosialis yang didasarkan pada aliansi kekuasaan rakyat yang berpengaruh, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1 UUD Mesir itu. Namun dalam pasal 2 UUD Mesir dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah agama Negara dan Bahasa Arab adalah Bahasa resmi Negara. Dalam pasal yang sama ditegaskan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam merupakan sumber utama dalam pembuatan Undang-Undang. Dengan perkataan lain secara implisit sebenarnya Negara Republik Arab Mesir adalah suatu Negara yang ingin menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan sosial yang bersumber dari ajaran dan hukum Islam.
Persamaan dihadapan hukum adalah salah satu ciri demokrasi Islam. Secara konstitusional Republik Arab Mesir telah mencantumkan prinsip tersebut untuk memberikan suatu ciri khusus sebagai suatu Negara Hukum. Adapun Undang-undang di mesir, sebagai berikut:
a.      Undang-Undang hukum Pidana
Undang-Undang ini keluar tahun 1937 No. 58 Tahun 1937, memuat 395 pasal dilengkapi pula dengan Undang-Undang No. 68, 136, 290-308 Tahun 1956 dan Undang-Undang No. 112 Tahun 1958.
b.      Undang-Undang Perdata (Madina)
Undang-Undang perdata Mesir mengalami sejarah yang panjang mulai Tahun 1936, kemudian diganti dengan Undang-Undang Tahun 1938, Tahun 1942 Tahun 1945. 1948. 1949. Undang-Undang perdata Mesir memuat 1149 pasal, yang mengambil tiga sumber : perbandingan Undang-Undang, ijtihad Hakim Mesir , dan dari syari’at Islam. Dalam pasal pertamanya dinyatakan bahwa hakim harus berpegang kepada prinsip-prinsip syari’ah Islamiyah di kala tidak ada nash atau uruf.
c.    Undang-Undang hukum acara perdata dan acara dagang.
Undang-Undang ini dikeluarkan Tahun 1944, kemudian diperbaiki Tahun 1949, undang-undang ini memuat 858 pasal ditambah kitab keempat dengan undang-undang No. 126 Tahun 1951, tentang hukum acara ahwal syahsyiyah sehingga menjadi seluruhnya 1230 pasal, yang diperkuat dengan undang-undang No. 137 Tahun 1956.
d.      Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
KUHP Mesir keluar Tahun 1950 dengan undang-undang No. 150 Tahun 1950, terdiri dari 560 pasal terbagi kepada empat kitab. Undang-Undang ini diperkuat dengan undang-undang No. 121 Tahun 1958, undang-undang No. 37, 113 Tahun 1957, No. 45 Tahun 1958.
e.      Undang-Undang Hukum Syar’i lainnya.
Selain undang-undang tersebut di atas di Mesir dikodifisir pula hukum-hukum sebagai berikut :
1)      Undang-Undang Mawaris tahun 1934
Dalam undang-undang ini diambil dari berbagai madzhab, dengan berpegang pokok pada kitab Qudry Pasha Kitab Mursyid Al-hairaan Ila Ma’rifati Ahwaal al-Insaan.
2)      Undang-Undang tentang wakaf tahun 1946, diperbaharui dengan undang-undang tentang wakaf No. 180 tahun 1952, yang menghapuskan wakaf ahli (selain wakaf khairi-dijadikan Lembaga Hibah, dan diperbaharui pula dengan undang-undang No. 29 tahun 1960.
3)      Undang-Undang tentang wasiat, tahun 1946. Undang-Undang ini mengambil  bermacam-macam madzhab seperti dari Hanafi dan mengambil juga dari madzhab Ja’fari yang membolehkan wasiat kepada waris (ps.27). Dan mengharuskan wasiat dengan tertulis secara resmi (ps. 2) dan lain-lain.[23]
3.      Libanon
Libanon seperti negeri Arab lainnya pernah di bawah Daulat Ustmaniyah. Ssetelah perang dunia I, Libanon berdiri sendiri dan mengambil hukum sendiri. Disamping berdasarkan syari’at, juga mengambil dari hukum Prancis dan Eropa lainnya. Perundang-undangan yang dibuat diantaranya adalah:
a.      Undang-undang Kepemilikan, (hak milik) Undang-undang no. 186-189 tahun 1926.
b.      Undang-undang Kewajiban-kewajiban dan perjanjian-perjanjian, tahun 1932.
c.       Undang-undang Hukum Acara Perdata, tahun 1933.
d.      Undang-undang Hukum Dagang Laut/ Kelauutan, tahun 1934.
e.      Undang-undang Hukum Acara Pidana, tahun 1948.
f.        Undang-undang yang lainnya.
Adapun mengenai penyerapan penulisan kitab-kitab fiqh seperti halnya di Mesir, fiqh ditulis dengan uraian-uraian secara keilmuan, tidak lagi menjadi kesatuan fiqh seluruhnya, melainkan kitab fiqh dalam satu maudlu, seperti kitab waqf susunan Zudi Yakun, dan lain-lain kitab penerbitan Libanon yang mengkompilasikan pendapat-pendapat madzhab-mazhab.
Selain undang-undang tersebut ada pula undang-undang tentang wakaf tahun 1947 sama dengan undang-undang wakaf di Mesir yang menghapuskan lembaga wakaf dzurri menjadi hibah. Bagi kaum sunni masalah diajukan ke Mahkamah Sar’iyah Ja’fariyah. Bagi kaum Druz, undang-undang Al-Ahwal Syahsiyah tahun 1948, khusus berdasarkan ijtihad setempat. Bagi non muslim diundangkan pula undang-undang bagi non muslim seperti hukum waris bagi non muslim, tahun 1959, dan undang-undang tentang wasiyat.[24]





BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Ijtihad sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam. Kemudian berkembang pada masa-masa sahabat, tabiin, dan generasi selanjutnya hingga sekarang, sesuai dengan pasang surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing generasi. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam.
2.      Dalam komunitas Sunni terdapat tiga belas mazhab, diantaranya empat mazhab masih berkembang (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Dalam komunitas Syi’I terdapat empat mazhab, diantaranya tiga mazhab yang masih berkembang (Ja’fari (Imami), Zaidi dan Isma’ili). Dalam komunitas Khawarij hanya terdapat satu mazhab yang masih berkembang yakni mazhab Ibadi.
3.      Penyerapan fiqih dalam perundang-undangan di Negara Muslim masih terlihat diberbagai Negara, diantranya Saudi Arabia, Mesir dan Libanon.

B.      Kata Penutup
Dengan mengucap Alhamdulilla ar-Robba al-‘Alamin, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan dengan harapan agar hasil penulisan ini memberikan mamfaat dan hikmah terhadap semua pihak yang terkait. Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1998.

Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, cet. I,Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004.

Al-'Utsaimin,Muhammad bin Sholeh,Prinsif Ilmu Ushul Fiqih, alih bahasa Abu SHilah & Ummu SHilah, http://tholib.wordpress.com, 2007.

Asy’ari, Suaidi, Panduan Penulisan Karya Ilmiah; Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2011.

Bisri,Cik Hasan,Model Penelitian Fiqih Jilid I: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Ismatullah,Dedi,Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.

Khalaf, Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Pesada , 2002.

Nasution,Harun,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI-pers, 1986.

Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.

Syafe’I,Rahmat,Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010

Sya’ban, Muhammad Isma’il, At-Tasyri’ Al-Islami: Mashdariuh wa Ath-Waruh, Mesir: Maktabah An-Nadhlah Al-Mishriyyah, 1995.

Yunus, Mahmud,Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hadikarya, 1990.

Tahir Azhary, Muh, Negara Hukum, Bulan Bintang. Bandung:  Mizan, 2001.







[1] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011, h. 17.
[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010, h. 31. Dikutip dari Nisar Ahmad Faruqi, Earlyt Muslim Historiography, Delhi: Idarah Adabiyati, 1979, h. 3.
[3]Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hadikarya, 1990, h. 34
[4] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 99
[5] Al-Nisa (3) : 105
[6]HR. Imam Muslim
[7] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, h. 180.
[8]Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, h. 228.
[9]    Ibid, h. 280
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, h. 103.
[11]  Muhammad Isma’ilSya’ban, At-Tasyri’ Al-Islami: Mashdariuh wa Ath-Waruh, Mesir: Maktabah An-Nadhlah Al-Mishriyyah, 1995, hlm. 94
[12]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI-pers, 1986, h. 19
[13]Muhammad Isma’ilSya’ban, At-Tasyri’, h. 353
[14]Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih Jilid I: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian, Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 141
[15]Ibid.
[16]Ibid., h. 81-82
[17]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, h. 113.

[18]Ibid, h. 115
[19]Abdul Wahab Khalaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Pesada , 2002, cet II,  h. 91
[20]Ibid., h. 94
[21]Ibid.,h. 100
[22]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Bandung: Mizan, 2001, h. 54.
[23]Ibid, h. 57
[24]Ibid, h. 62