Jumat, 04 Januari 2013

MAQASHID ASY-SYARI'AH

MAKALAH
PEMIKIRAN MODERN HUKUM ISLAM
“MAQASHID ASY-SYARI’AH”


Dosen:
Prof. Dr. H. Hasbi Umar

oke






DisusunOeh :
Ahmad SholihinMuttaqin
NIM. P.h. 211.2.1525





PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2013


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segalapujibagi Allah SWT, TuhansemestaalamdanShalawatkepadaNabi Muhammad SAW, nabiakhirzaman.
Penulismenghaturkanucapanterimakasihkepadabapakdosen Prof. Dr. H. Hasbi Umar yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Begitu pula kepada rekan-rekanmahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalahini.
Di dalam makalah ini, penulis membahas mengenai MaqashidAsy-Syari’ah yang merupakan sub bahasan dalam mata kuliah Pemikiran Moderen Dalam Islam. Tentunya, sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya jika terdapat kekeliruan.
Harapan penulis, pembahasan yang dirangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya. Amin.

Jambi, 4 Januari 2013

Ahmad SholihinMuttaqin


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………
ii
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………
iii
BAB I PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
..…………………………………………………………………
1
B.      Rumusan Masalah
…..………………………………………………………………
3
C.      Tujuan Pembahasan
…..………………………………………………………………
3
BAB II PEMBAHASAN


A.      Pengertian Maqashid Asy-Syari’ah
…..………………………………………………………………

4
B.      Kategori Maqashid
..…………………………………………………………………
8
C.      Maksud-maksud Syari’at dan Klasifikasinya

…..………………………………………………………………

9
D.     Metode Penetapan Maqashid

..…………………………………………………………………

11
E.      Tujuan Maqashid Asy-Syari’ah

…..………………………………………………………………

12
BAB III PENUTUP


A.      Kesimpulan
..…………………………………………………………………
14
B.      Kata Penutup
…..………………………………………………………………
14
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………
15
                                                                                                                             






BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Allah SWT adalah Tuhan kita yang Maha Bijaksana dan Maha Sempurna.Dia sangat sayang kepada seluruh hambaNya.Tidak ada satupun hukum yang telah ditetapkan untuk hambaNya di dalam Al-Quran, kecuali untuk kebaikan dan kemaslahatan.
Manusia adalah maksud tertinggi dari segala ciptaanNya.Oleh karena itu, semua pembebanan syari’at kepada manusia adalah untuk memelihara maksud-maksudNya. Maksud-maksud syari’at yang telah diformulasikan Allah tersebut tidak keluar dari tiga bagian yang digeluti oleh manusia, yaitu: Pertama;Dharuriyyat, Kedua; Hajjiyyat dan Ketiga: Tahsiniyyat.[1]
Penalaran hukum yang mengabaikan maksud-maksud syari’at, atau menganulir teks-teks Al-Quran dan Sunnah terjadi kejanggalan dan ketidakadilan dalam realitas.Karena itu, ulama Islam, dalam menetapkan hukum, bersikap moderat (wasatha) di antara literal dan liberal.
Abu Ishak al-Syathiby, dalam kitabnya yang sangat terkenal, berjudul: Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah bahkan Al-Gazali dan gurunya Al-Juwaini, sudah memulai melihat hukum Islam dari aspek maksud-maksud syari’at tersebut, bukan saja dari aspek ‘illatnya.
      Memahami maksud-maksud syari’at  adalah inti dan tujuan dari semua penelitian dan pengkajian dalam ilmu fiqh usul fiqh,[2]Karena hukum Syar’i terus berkembang. Dan karena itulah Allah mengirim RasulNya yang terakhir, disertai kitab petunjuk, yaitu Al-Quran dan pada RasulNya ada Sunnah (uswah), untuk menjelaskan dan bahkan mewujudkan yang mungkin belum tersurat dalam Al-Quran. Di sini terlihat, bahwa hukum syari’at satu Nabi berbeda dengan syari’at Nabi yang lain, begitu juga dengan syari’at Nabi Muhammad SAW sangat berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya.
Al-Quran dan Sunnah menjadi landasan untuk mengkaji hukum syar’i dan menjadi lapangan berijtihad serta mengembangkannya untuk kemaslahat manusia, sebagai khalifah di muka bumi. Karena satu generasi umat Nabi Muhammad berbeda dengan generasi berikutnya, juga satu negara berbeda dengan negara yang lain. Karena Allah Maha Mengetahui dengan kebutuhan hambaNya di pojok bumi manapun berada.Dengan demikian mereka tidak buruk sangka kepada Allah, karena Allah tidak membuat hukum untuk mereka.Umat Islam ada di mana-mana, maka hukumnya pun harus dibuat untuk mereka di mana saja mereka berada, dengan berbagai ragam budaya dan realitas yang mereka hadapi.
Sebagaimana telah dipahami bahwa hukum syar’i terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka ehistemologi pembahasan tentang hal tersebutpun terus berkembang pula.Pemahaman fiqh masa lalu umpamanya, tentang kewajiban mengeluarkan zakat tumbuh-tumbuhan, hanya dibatasi pada tumbuhan yang menjadi makanan pokok.Dengan alasan itulah wajib dizakati seperti gandum, padi, jagung dan lain sebagainya.Sedangkan kelapa, sawit, serta biji-bijian lainnya – termasuk rempah-rempah walaupun mahal harganya – tidak digolongkan dalam tumbuhan yang wajib dizakati.Begitu halnya dengan zakat profesi, gaji dan penghasilan yang sah lainnya selain perniagaan, juga tidak wajib dizakat, dengan alasan tidak ada ‘illat hukum dan tidak ada dalil teks dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Namun, setelah para ulama Islam terus mengkaji hukum syar’i ini pada aspek al-maqashid al-syari’ah,menemukan perkembangan ‘llat  hukum makanan pokok menjadi ‘illat “produktif”. Sehingga, sederetan benda yang dulunya belum masuk dalam daftar benda yang wajib dizakat pada saat itu, menjadi wajib dizakati karenaillatnya produktif.
Ibnu al-Qayyim berkata: “Seluruh syari’at mengandung keadilan, rahmat dan kemaslahatan, dan hikmah. Segala maslahat yang mengubah keadilan menjadi kezaliman, rahmat menjadi bencana, maslahat menjadi kemudharatan dan hikmah menjadi kebatilan, adalah  bukan syari’at, meski masalah tersebut dicoba untuk ditakwil.”[3]
Begitulah seterusnya, hukum syar’i itu akan terus berkembang dan berubah seiring dengan perubahan peradaban manusia, bahkan, pada saat ini sudah mulai dikembangkan dan merambah dari al-maqashid al-syari’ah dan bahkan ke hal yang lebih jauh lagi, yaitu maqashid al-khalqi (maksud-maksud manusia).
B.      Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan  makalah ini adalah:
1.    Apa pengertian Maqasid al-Syari’ah?
2.    Apa tujuan Maqasid al-Syari’ah?
3.    Bagaimana Klasifikasi dan apa istilah-istilah yang digunakan para ulama?

C.      Tujuan Pembahasan
            Adapun yang menjadi tujuan dalam pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian Maqasid al-Syari’ah;
2.      Untuk mengetahui tujuan Maqasid al-Syari’ah dalam pembentukan hukum fiqh Islam;
3.      Untuk mengetahu klasifikasi dan istilah-istilah yang digunakan para ulama tentang maqashid syari’ah.




BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Maqashid Syariah
Secara etimologi, term Maqashid Asy-Syariah berasal dua kata yaitu kata maqashid dan al-syariah.Kata maqashid adalah kata yang berasal dari kata kerja dalam bentuk fii'l tsulasi yaitu kataقَصَدَ، يَقْصِدُ، قَصْدًا, kalimat ini seringkali dipergunakan dengan makna yang berbeda. Di antara makna tersebut adalah :
1.         al- I'timad wa al- I'tishamالإعتماد والإعتصام، وطلب الشئى
2.         Adil dan moderat, atau tidak berpihak pada satu sisi, sebagai mana firman Allah ta’ala  ومنهم مقتصد
3.         Istiqamu al-Tariq, sebagaimana firman Allah ta’ala وعلى الله قصد السبيل
4.         al-Qurbu, sebagaimana firmanNya لو كان عرضا قريبا وسفرا قاصدا
5.         al-Kasr (mematahkan) sebagaimana kalau dikatakan  قصدت العود قصدا
Dari beberapa makna tersebut pengertian secara etimologi dalam pembahasan ini adalah pengertian pertama yaitu الإعتماد والإعتصام(kesengajaan atau tujuan).
Sedangkan term syariah secara bahasa bermakna  على مورد الماء أى مكان ورود الناس للماءtempat keluarnya air, tempat yang dituju oleh manusia untuk mendapatkan air. Dengan kata lain juga bermakna al-mawaadli' allatiy yunhadaru ila al-maa' (tempat-tempat yang darinya dikucurkan air). Sedangkan kata al-syir'ah menurut bahasa Arab artinya adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga).[4] Al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan bahwa Lafadz al-Syari'ah bermakna masyra'at al-maa' (maurid al-syaaribah: sumber air)[5].
Mahmud Syaltut mendefinisikan al-Syarii'ah dengan aturan-aturan (system) yang Allah telah syariatkan, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan".[6]Pengertian ini tentu lebih ke arah pengertian secara istilah. 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah syari’ah adalah “Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian dengan agama Islam, palu-memalu, hakekat balas-membalas perbuatan baik (jahat) dibalas dengan baik (jahat)“.[7]Dalam literature Inggris digunakan istilah Islamic Law atau Camon law of Islam; yaitu keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan.tiap-tiap perintah Tuhan dinamakan hukum, jama’nya ahkaam. Oleh karena itu, syari’at tidak dapat disamakan dengan hukum dalam dunia modern ini.
Dalam al-Qur’an kata syariah digunakan dalam arti “agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia agar memperoleh keselamatan”. Beberapa ahli tafsir al-Qur’an klasik seperti Mujahid (104 H/722 M) menafsirkan kata-kata “al-syari’ah” dan “al-syir’ah” sebagai “agama” (al-din). Namun di lain pihak terdapat pula pendapat yang membedakan syari’ah dengan “al-din” (agama). Syari’ah merujuk kepada aspek–aspek hukum dari agama, sementara “al-din” merupakan aspek aqidah dari agama. Qatadah (118 H/736 M), ahli tafsir lainnya, dilaporkan dalam konteks penafsiran al-Maidah (5): 48 menyatakan bahwa agama (yang dibawa oleh semua Nabi) itu satu, tetapi syari’ah-nya berbeda. Maksudnya adalah inti ajaran agama semua Nabi yaitu ajaran tauhid adalah sama. Yang berbeda adalah ketentuan-ketentuan hukum dalam masing-masing agama Nabi tersebut. Sejalan dengan Qatadah adalah Abu Hanifah (150 H/820 M) yang membedakan antara syari’ah dan din di mana syari’ah merupakan kewajiban agama yang harus dijalankan, sedangkan “al din” adalah pokok-pokok keimanan seperti kepercayaan kepada Allah kepada hari kiamat dan lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya kata “syari’ah” kadang-kadang digunakan untuk merujuk kepada aspek hukum dari agama Islam dan kadang dipakai juga untuk menyebut aspek hukum dan agama itu sekaligus.Al-Asy’ari (324 H/935 M) teolog terkenal secara tegas memaknai syari’ah untuk merujuk pada aspek hukum dari agama Islam. Ia menyatakan bahwa masalah kasus cabang agama, seperti kewarisan, hukum halal dan halal, masalah pidana dan talak harus dikembalikan kepada syari’ah yang dasarnya adalah dalil-dalil sam’i (revelasional), sedangkan masalah pokok agama dikembalikan kepada sejumlah prinsip yang didasarkan kepada dalil akal, pengalaman intuisi. Janganlah dicampuradukkan antara masalah akidah yang didasarkan kepada dalil rasional (‘aqliyyah) dengan masalah cabang agama yang didasarkan kepada dalil revelasional (sam’i).
Pengertian yang diberikan al-Asy’ari terhadap syari’ah masih tetap dipakai hingga sekarang seperti dapat dilihat penggunanan frase “fakultas syari’ah”, “bank syari’ah” dan judul beberapa buku, serta sejumlah peraturan perundangan muslim. Berbeda dengan Asy’ari, Syatibi (790 H/1388 M) mengartikan “syari’ah” sebagai “keseluruhan ketentuan agama yang mengatur tingkah laku, ucapan dan kepercayaan manusia”.Pengertian ini menggambarkan syari’ah dalam arti luas yang meliputi aspek hukum dan aspek doktrinal.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa terminologi “syari’ah” dipakai dalam dua pengertian, yaitu : dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, syariah dimaksudkan keseluruhan norma agama Islam yang meliputi baik aspek doktrinal maupun aspek praktis. Dalam arti sempit “syari’ah” merujuk pada aspek praktis dari ajaran Islam yaitu, bagian yang terdiri dari norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia seperti ibadah, nikah, jual beli, perkara di pengadilan, penyelenggaraan negara dan lainnya. Apabila istilah “hukum Islam” hendak digunakan untuk menerjemahkan istilah “syari’ah”, maka “syariah” yang dimaksud syari’ah adalah dalam arti sempit. Maka pengertian syariat dalam term maqasid syariah adalah peraturan/hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam, yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an, sunnah/hadist nabi  yang diperbuat atau disabdakan dan yang ditakrirkan oleh beliau.
Dari pemahaman kebahasaan mengenai istilah maqashid dan syariah maka dapat disimpulkan bahwa  maqasid al Syariah adalah maksud dan tujuan dari syariah atau hukum Islam. Menurut 'Allal al Fasiy, maqashid al Syariâh adalah :Tujuan yang dikehendaki Syara' dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syari' (Allah) pada setiap hukumAdapun inti dari maqashid al Syariâh adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara
Abdullah Daraz dalam komentarnya terhadap pandangan al Syatibi menyatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemashlahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.Oleh karena itu, taklif (pembebanan hukum) harus mengacu kepada terwujudnya tujuan hukum itu. Imam al Ghazali ketika membahas tentang maqashid menyinggung; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa malahum”, tujuan Allah Ta’ala dalam syariatnya bagi makhluk adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. Apa yang disampaikan al Ghazali ini memang tidak sejelas apa yang disampaikan ulama-ulama ketika ilmu maqashid syariah sudah mulai berjalan ke arah menjadi disiplin ilmu yang independen.
Dalam kitabnya Maqashid al Syariah al Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa maqashid syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah Ta’ala dalam semua atau sebagian besar syariatNya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan umumnya.Dan al Raisuni menyatakan bahwa maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang diletakkan oleh syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan hamba.
Makna Syari’at adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hambaNya tentang urusan agama, baik berupa ibadah atau mu’amalah, yang dapat menggerakkan kehidupan manusia.[8]
Maksud-maksud syari’at adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat.[9]
Maksud-maksud, juga bisa disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum. Karena setiap hukum yang disyari’atkan Allah untuk hambaNya, pasti terdapat hikmah, bisa diketahui oleh orang yang mengetahuinya Kareana Allah suci untuk membuat syari’at yang sewenang-wenang, sia-sia, atau kontradiksi dengan sebuah hikmah.[10]
Maksud-maksud syari’at ini bukanlah illat yang disebutkan oleh para ahli ushul fiqh dalam bab qiyas, dan didefinisikan dengan sifat yang jelas, tetap, dan sesuai dengan hukum. 
B.      Kategori Maqashid
Secara garis besar maqashid terbagi kepada dua macam, yaitu: Pertama, Maqaashid Ashliyyah dan kedua, Maqashid Tabi’ah[11].Penamaan seperti ini dilakukan oleh Al-Syathibi.Menurut Thahir ibn ‘Asyur istilahnya adalahMaqaashid ‘Ammah dan Maqaashid Khashshah. Dan Raisyuni di samping seperti istilah Ibn ‘Asyur, Maqaashid ‘Ammah dan Maqaashid Khashshah, juga.menambah satu lagi, yaitu Maqaashid Juziyyah.
Adapun maqashid ashliyyah, maka tidak ada ruang bagi keterlibatan manusia (mukallaf) di dalamnya sedikitpun, karena ia merupakan hal yang kodrati bagi semua agama secara mutlak, kapan dan di manapun. Dan maqashid ashliyyah ini terbagi kepada dharurah ‘aimiyah dan dharurah kifaiyah.[12]
Adapun dharurah ‘aimiyah, adalah kewajiban setiap orang mukallaf, sedangkan dharurah kifaiyah, adalah kewajiban-kewajiban kolektif.[13]
Adapun maqashid tabi’ah, di mana di dalamnya ada porsi keterlibatan  orang mukallaf. Maka dari aspek ini dapat mewujudkan keinginan, yang bersifat kebutuhan manusia, Dan dengan pemenuhan semua kebutuhan manusia itulah, urusan dunia dan agama dapat ditegakkan.Ini semua dengan sebab pemberian Allah yang Maha Bijaksana. Dia menciptakan untuk manusia keinginan untuk makan, minum, seks, keadaan panas, dingin, sehingga manusia perlu berusaha untuk mendapatkan makanan, minuman, pakaian, perempuan dan perumahan yang layak untuk mempertahan hidupnya untuk kehidupan dunia dan akhirat. Karena Allah juga menciptakan surga dan neraka, dikirim RasulNya untuk menyampaikan bahwa tempat abadi bukanlah dunia ini, tetapi ada akhirat yang harus dipertanggungjawabkan, yang dapat membuat seseorang bahagia atau celaka selam-lamanya.
Karena itu,maqashid tabi’ah adalah pelengkap untuk maqashid ashliyyah.[14]

C.        Maksud-maksud Syari’at dan Klasifikasinya
Pemebebanan hukum syari’at melekat dengan maksud-maksudnya pada makhluk. Maksud-maksud syari’at tersebut dapat diklasifikasikan kepada tiga macam, yaitu: dharuruyyat, hajjiyyat, dan tahsiniyyat.
1.      Dharuriyyat
Adapun dharuriyat artinya sesuatu yang semestinya harus ada untuk menegakkan kemaslahatan, baik agama dan dunia.Seandainya hal itu tidak ada, maka rusaklah kemaslahatan dunia tidak bejalan dengan baik kegiatan dunia tersebut.Dan dari aspek agama, tidak terlepas siksa Allah di akhirat dan berada dalam kerugian besar.[15]
Dharuriyyat ini mencakup masalah dasar-dasar ibadah, adat kebiasaan dan mu’amalat.Maka masalah pokok ibadah dari aspek perbuatan yang harus dilaksananakan untuk memelihara agama, seperti beriman, mengucap dua kalimat syahadah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji dan lain sebagainya, yang termasuk dalam hal-hal yang wajib dikerjakan.
Masalah adat kebiasaan meliputi hal-hal yang dapat memelihara jiwa dan akal, yaitu makan, minum, sandang dan papan, dan lain sebagainya.Dari sudut pandang dharuriyyat dalam hal mu’amalat adalah memelihara keturunan dan harta, termasuk juga memelihara jiwa dan akal.[16]
Dengan demikian maka dharuriyat seluruhnya ada lima macam, yaitu:
1.         Memelihara agama;
2.         Memelihara jiwa;
3.         Memelihara keturunan;
4.         Memelihara harta, dan;
5.         Memelihara akal.
Kelima hal tersebut ini berlaku secara universal dan dalam agama apapun di dunia ini dan termasuk dalamdharurah ‘ainiyyah. Karena setiap pribadi Muslim diwajibkan hal-hal tersebut di atas.
Al-Syathibi, membagi dharurah, kepada dua bagian, yaitu:
1.      Dharurah yang ada porsi mukallaf di dalamnya, yang bersifat segera dan urgen. Seperti, mewujudkan kemasalahatan diri dan keluarganya dari makan, minum, pakaian dan papan serta hal-hal lainnya yang dianalogikan kepadanya, seperti jual beli, akad nikah dan lain-lain.[17]
2.      Dharurah yang tidak ada porsi mukallaf di dalamnya, yang bersifat segera dan urgen, baik fardhu ‘ain  ataukifayah. Seperti, ibadah badaniyah atau ibadah maliyah. Contohnya fardhu ‘ain, adalah thaharah, shalat, zakat, puasa, haji dan lain sewbagainya. Dalam hal fardhu kifayah, seperti, pemerintahan, peradilan, jihad dan lain sebagainya yang bersifat kepentingan umum.[18]
2.      Hajjiyat
Adapun hajjiyyat, artinya sesuatu yang sangat diperlukan untuk menghilangakan kesulitan yang dapat membawa kepada hilangnya sesuatu yang dibutuhkan, tetapi tidak sampai merusak kemaslahatan umum.
Hajjiyyat ini berlaku baik pada berbagai macam ibadah, adat kebiasan, mu’amalat dan pada kriminal atau jinayat.Pada ibadah, umpamanya, pada dispensasi ringan karena sakit atau bermusafir, boleh meninggalkan puasa dan menjamakkan shalat dan memendekkannya.Pada masalah adat kebiasaan, umpanya pembolehan berburu, dan memakan makanan yang halal dan bergizi, dan lain sebagainya. Sedangkan pada mu’amalah dan jinayah adalah seperti melaksanakan transaksi qiradh, jual beli salam dan lain-lain. Pada jinayah, seperti hukum sumpah atas pembunuhan berdarah (qasamah) dan kewajiban membayar diyat pembunuhan kepada keluarga pembunuh.[19]
3.      Tahsiniyat
Adapun makna tahsiniyyat adalah mengambil sesuatu yang terlebih baik dari yang baik  menurut adat kebiasaan dan menjauhi hal-hal yang jelek yang tidak dirima oleh akal yang sehat. Atau dalam arti lain, tahsiniyyat adalah apa yang terhimpun dalam batasan akhlak yang mulia.[20] Baik dalam masalah ibadah, seperti menghilangkan najis, melakukan berbagai macam cara dalam bersuci, maupun dalam adat kebiasaan, seperti adab makan dan minum. Begitu juga dalam hal mu’amalat, seperti dilarang jual beli najis dan dicegah membunuh orang merdeka dengan sebab dia membunuh budak pada masalah jinayat atau kriminal.[21]

D.       Metode Penetapan Maqashid
Muhammad Thahir ibn ‘Asyur dalam bukunya berjudul Maqashid Syari’ah Islamiyah, mengatakan: ada tiga cara menetapkan maqashid syari’ah, yaitu:
1.      Dengan cara istiqra’ (pengambilan beberapa sampel) bagi syari’at yang diterapkan. Cara ini adalah yang terbaik dalam mendapatkan maqashid syari’ah, dan terbagi ke dalam dua macam dan yang paling baik dari dua macam itu adalah memeriksa sampel hukum-hukum yang telah makruf dengan illat, lalu memeriksa illattersebut pada proses pengambilan hukum dengan illat itu. Dengan demikian dimungkinkan dipahama maksud syari’at.[22]
2.      Metode mengkaji dalil ayat-ayat Al-Quran yang jelas dilalahnya, sehingga dengan demikian kecil kemungkinan maksud suatu ayat bukan seperti lahir penggunaan kaedah bahasa Arab atau diragukan maksud lahir maknanya.[23]
3.      Metode melihat hadis mutawatir, baik mutawatir maknawi atau mutawatir ‘amali. Mutawatir maknawi adalahmutawatir yang diperoleh dari pengamatan prilaku para sahabat mengamalkan semuanya apa dilihat dari pada Nabi SAW. Dengan demikian dapat menghasilakan ilmu yang meyakinkan pada masalah agama. Sedangkan mutawatir ‘amali adalah apa yang diperoleh oleh seorang sahabat dari perbuatan Nabi yang berulang-ulang, sehingga dia berkesimpulan bahwa begitulah maksud syari’at di situ.[24]
Ibn ‘Asyur menyimpulkan bahwa, maksud Syari’ dapat diketahui dengan beberapa jalan:
1.    Semata-mata perintah atau larangan yang jelas sejak awalnya;
2.    Memperhatikan illat perintah atau larangan, dan;
3.    Bagi Syari’ dalam menetapkan hukum pasti ada maksud-maksud baik asli atau cabang, maka ada yang sudah dijelaskan, ada yang dengan isyarat dan ada pula lewat penelitian sampel pada nash-nash hukum. Dari situlah akan dipahami maksud Syari’.[25]

E.        Tujuan Maqashid Al-Syari’ah
Ada beberapa tujuan Maqashid Al-Syari’ah, antara lain, adalah:
1.      Menuju fiqh baru (Madrasah Moderat; dengan menggabungkan teks-teks partikular dan maksud-maksud global).
Fiqh baru ini dibangun oleh madrasah moderat yang tidak melupakan teks-teks partikular dari       Al-Quran dan Sunnah, tetapi dalam satu waktu juga tidak memisahkannya dari maksud-maksud global.Bahkan teks-teks partikular tersebut dipahami dalam bingkai maksud-maksud global.Mengembalikan furu’ kepada ushul,partikular kepada global, mutasybihat kepada muhkamat, juga memegang teguh ijma’ ulama dan menjadikan jalan orang-orang mukmin tidak boleh dilanggar.
Manhaj inilah yang ditempuh para ulama penggagas dan penerus teori maqashid syari’ah, seperti al-Juwaini, al-Gazali, Rasyid Ridha, al-Syathibi, Ibn ‘Asyur, Qaradhawi dan lain sebagainya.Madrasah ini yang dipercaya, dijadikan sebagai gambaran yang benar tentang hakekat Islam, membantah kebatilan orang-orang yang memusuhinya, serta berbaik sangka kepada Allah dan RasulNya dalam semua hukumNya.[26]   Fiqh yang dihasilkan oleh mereka, bisa menjelaskan tujuan, menerangi jalan, menyinari pandangan menuju manhaj Islam yang lurus.Dan kita tidak ditimpa oleh kegelapan dalam memahami agama daan dunia.[27]
2.      Menjauhi fiqh madrasah “Zahiriyah Baru” dan menjauhi Madrasah Penganulir Teks-teks partikulir di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Madrasah “Zahiriyah Baru”, lebih bergantung pada teks-teks partikular, memahaminya dengan pemahaman literal dan jauh dari maksud-maksud syari’at yang ada di belakangnya. Bahkan, mereka berpendapat bahwa Allah bisa saja memerintahkan kita dengan hal yang Dia larang kepada kita, serta melarang kita dengan hal-hal yang Dia perintahkan kepada kita.Dan bahkan bisa Dia memerintahkan syirik dan melarang tauhid kepada kita.
Di antara ciri lainnya adalah keras dan menyulitkan, sombong terhadap pendapat mereka serta tidak mau menerima pendapat orang lain yang berbeda dengannya.[28]
Di sisi lain ada madrasah yang sangat berlawanan dengan madrasah di atas. Madrasah ini mengklaim bahwa mereka lebih bergantung kepada maksud-maksud syari’at dan ruh agama dengan menganulir teks-teks partikulir dalam Al-Quran dan Sunnah.Mereka memandang bahwa agama adalah substansi bukan simbol, isi bukan bentuk.memegang mutasyabihat dan menolak muhkamat.[29]
Ini di antara tujuan dari pembelajaran dan pemahaman kita tentanh maqashid syar’iah dalam ushul fiqh yang dapat ditemukan.



BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Setelah diteliti tentang maqashid syari’at dan hal-hal yang berkaitaan di dalamnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.         Maksud-maksud syari’at adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat.
2.         Maqashid syari’at secara global terbagi kepada ashliyyah, dan tabi’ah menurut Abu Ishak al-Syathibi.Sedangkan Ibn ‘Asyur mengistilahkan dengan maqashid ‘ammah dan khashshah. Raisyuni menambahkan satu lagi dengan istilah maqashid juziyyah. Dan dari aspek lain terbagi kepada dharuriyat, hajjiyat dantahsiniyyat.

B.        Saran-saran
Setelah dipahami tentang paparan tentang maqashid Syariah, maka perlu disarankan:
Para sarjana Muslim untuk bersikap moderat dan terus megkaji maqashid syari’ah, sehingga dapat merumuskan epistemologi fiqh baru, dalam upaya memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam, tidak terlalu literal dan juga tidak liberal.

C.      Kata Penutup
Dengan mengucap Alhamdulillah ar-Robba al-‘Alamin, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan dengan harapan agar hasil penulisan ini memberikan manfaat dan hikmah terhadap semua pihak yang terkait.Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.Amin.

                          
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishak Al-Syathiby,  Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Cet. III, Bairut: Darul Ma’rifah, Libanon, 1997.

Firdaus, Ushul Fiqh,  Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004.

Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, tt.

Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, tt.

Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, Maqashid Syari’ah Islamiyah, Tunisia: Darussalam, 2006

Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah.

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2007

Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online








[1]Abu Ishak Al-Syathiby, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Cet. III,Bairut: Darul Ma’rifah, Libanon, 1997. h. 324.
[2]Firdaus, Ushul Fiqh,  Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004, h. 236
[3]Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2007,h. 155.
[4] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, tt, h. 175
[5]Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, tt, h. 161
[6]Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, h. 12
[7]Kamus Besar bahasa Indonesia Versi Online
[8]Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah, h. 12.
[9]Ibid, h. 17.
[10]Ibid, h. 18.
[11]Abu Ishak Al-Syathiby, . H. 476.
[12]Ibid
[13]Ibid
[14]Ibid,h. 479.
[15]Ibid, h. 324.
[16]Ibid,h. 325. 
[17]Ibid, h. 480.
[18]Ibid
[19]Ibid, h. 327.
[20]Ibid, h. 327.
[21]Ibid
[22]Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, Maqashid Syari’ah Islamiyah, Tunisia: Darussalam, 2006, h. 17.
[23]Ibid, h. 19.
[24]Ibid
[25]Ibid, h. 20.
[26]Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah, ….h. 40.
[27]Ibid, h. 49.
[28]Ibid, h. 50-52.
[29]Ibid, h. 38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar