Sabtu, 02 Juni 2012

PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

MAKALAH
SEJARAH PERADABAN ISLAM
“PERADABAN ISLAM DI INDONESIA”


Dosen:
Dr. H. Muhammad Fadhil, M.Ag

oke






Disusun Oeh :
Ahmad Sholihin Muttaqin
NIM. P.h. 211.5.1525






MAHASISWA PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
 JAMBI
2012



KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam dan Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
Dan tidak lupa penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada bapak dosen Dr. H. Muhammad Fadhil, MA yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Begitu pula kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang nantinya akan membantu dalam penyempurnaan makalah ini.
Di dalam makalah ini, penulis membahas mengenai peradaban Islam di Indonesia yang merupakan sub bahasan dalam mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Tentunya, sebagaimana yang difahami penulis bahwa pengetahuan seseorang tidaklah mutlak atau bersifat relatif, untuk itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan nantinya jika tredapat kekeliruan.
Harapan penulis, makalah yang dirangkum dengan pembahasan mengenai Peradaban Islam di Indonesia ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya. Amin.
Jambi,    Juni 2012
Penulis,



Ahmad Sholihin Muttaqin, S.Ud
NIM. P.h. 211.2.1525


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………
i
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………
ii
A.     PENDAHULUAN
…………………………………………………………………
1
B.      PEMBAHASAN
…………………………………………………………………
2
1.      Seputar Masuknya Islam ke Indonesia

…………………………………………………………………

2
2.      Peradaban Islam Sebelum Kemerdekaan


…………………………………………………………………


3
3.      Peradaban Islam sesudah  Kemerdekaan


…………………………………………………………………


 8
C.      PENUTUP
…………………………………………………………………
11
D.     DAFTAR PUSTAKA

…………………………………………………………………
12
                                                                                                                             





PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
A.     PENDAHULUAN
Saat ini, perkembangan zaman modern telah mempengaruhi kebudayaan dan peradaban di Indonesia, yang pada prosesnya secara perlahan budaya di Indonesia tersebut akan mulai dilupakan oleh masyarakat, karena lebih memilih sistem modern. Dari kajian ini, maka mempelajari sejarah-sejarah masa lampau di nusantara dipandang perlu apalagi mengenai sejarah peradaban Islam di Indonesia.
Perlu diketahui, sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.[1] Wilayah barat nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera, (Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa).[2] Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke kepuluan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad I H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah.
Dalam pada itu, untuk mengkaji kembali sejarah dan peradaban tersebut, maka perlu disusun suatu tulisan yang membahas tentang masalah peradaban Islam di Indonesia. Salah satu bentuk tulisan itu adalah penulisan makalah ini, yang diharapkan mampu memberikan informasi secara singkat tentang peradaban Islam di Indonesia. 


B.      PEMBAHASAN
1.      Seputar Masuknya Islam ke Indonesia
Asal-usul Islam di nusantara serta para pembawanya menjadi perdebatan dikalangan para sejarawan Indonesia. Setidaknya ada tiga teori mengenai asal-usul Islam di Nusantara yaitu:
1.      Teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim, sekitar abad ke-13 M.
2.      Teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim, sekitar abad ke-7 M.
3.      Teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara, sekitar abad ke-13 M.[3]
Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus). Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk ke wilayah kerajaan Sriwijaya.[4]
Pada tahun 718 M raja Sriwijaya Sri Indrawarman setelah kerusuhan Kanton juga masuk Islam pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah).[5] Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.[6]
Teori Islam masuk ke Indonesia abad 13 melalui Pedagang Gujarat adalah tidaklah benar, apabila benar maka tentunya Islam yang akan berkembang kebanyakan di Indonesia adalah aliran Syiah karena Gujarat pada masa itu beraliran Syiah, akan tetapi kenyataan Islam di Indonesia didominasi Mazhab Syafi'i. Sanggahan lain adalah bukti telah munculnya Islam di masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082 M) di Gresik.[7]
2.       Peradaban Islam Sebelum Kemerdekaan
Teori Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-1 Hijriyah atau abad ke-7 sampai abad ke-8 Masehi, ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke 13 di anggap sebagai awal masuknya agama Islam ke Indonesia.
Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di Peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.
Pada permulaan abad ke-16 M dengan masuk Islamnya penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama Islam hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia.
Pada tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi: Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.[8]
Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.[9]
Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.[10]
Sejak pertengahan abad ke-19, agama Islam di Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang singkretik (mistik). Setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan dengan Mekkah dengan cara menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun lamanya.
Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum kemerdekaan, yakni :
a.      Pada Masa Kesultanan
Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama Islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Di kerajaan tersebut agama Islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaitu banyaknya nama-nama Islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman. Adapun kerajaan tersebut, diantaranya:
1)      Kerajan Islam Samudra Pasai
Tak pelak lagi, pulau Sumatera merupakan daerah nusantara yang paling awal melakukan kontak dengan para saudagar muslim. Sebelum sampai di Cina, para pedagang dari Arab, Persia dan India singgah dipelabuhan-pelabuhan disepanjang pantai sumatera. Seiring melemahnya dominasi Sriwijaya pusat-pusat pelabuhan dagang bergeser kearah utara.
Catatan Ibnu Batutah pada tahun 1345 M menyebutkan, bahwa ketika ia mengunjungi Pasai, pada saat itu raja yang berkuasa bernama Malik al-Zahir, menurut Batutah raja ini betul-betul menampakkan citra sebagai seorag raja Islam. Dia gemar bertukar fikiran dengan para ahli fikih dan ushul. Sehingga istananya ramai dikunjungi para cendikiawan dari berbagai negeri. Kerajaan Pasai berdiri hingga tahun 1524 M. Pada tahun 1521 kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis. Setelah itu sejak tahun 1524 dan seterusnya kerajaan Samudera Pasai berada dibawah kerajaan Aceh yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
2)      Kerajaan Islam Demak
Tidak diketahui secara pasti waktu pendirian kerajaan Islam Demak. Yang jelas kerajaan demak diakui sebagai kerajaan islam pertama di Jawa. Secara luas diakui pula bahwa kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah (1500-1518 M). Mulanya, ia adalah orang bawahan majapahit yang menjabat adipati di Bintoro, Demak. Dengan bantuan daerah-daerah lain yang yang sudah lebih dulu menganut Islam, sepertio Gresik, Tuban, dan Jepara. Raden Fatah secara  terang-terangan memutuskan ikatan dengan majapahit, yang kala itu mengalami masa kemunduran. Dan mendirikan kerajaan yang terletak di kota Demak sehingga lebih dikenal dengan nama kerajaan Demak.
Selain itu, ada juga kerajaan Banjar, yang mana dengan masuk Islamnya raja Banjar, perkembangan Islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.
Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan Jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama Islam di pulau Jawa.
Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdul Gani dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan Sunan Giri, maksud agama Islam dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama Islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.
b.      Pada Masa Penjajahan
Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama Islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah Islam, karena mereka belum mengetahui ajaran Islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem sosial Islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
Tahun 1820 dibuatlah statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah Islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori :
a.    Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b.    Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adat kebiasaan.
c.     Bidang politik
Orang Islam dilarang membahas hukum Islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.[11]
c.       Pada Masa Kemerdekaan
Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat Islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.
Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi Islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi Islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, Islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.
Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat  Snouck Hurgronye, Islam sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, Islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya Islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.[12]

3.      Peradaban Islam Sesudah Kemerdekaan
a.      Pra Kemerdekaan
Ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organisasi. Seperti: 
1)      Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)
2)      Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama (1926)
3)      Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia (1927)
4)      Partai Komunis Indonesia (1914)
Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatas masih ada organisasi Islam lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:
1)      Jamiat Khair (1905)
2)      Persyarikatan Ulama (1911)
3)      Persatuan Islam (1920)
4)      Partai Arab Indonesia (1934)
Organisasi pembaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islam Ala Indonesia (Majelis Islam Tertinggi di Indonesia) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :
1)      Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
2)      Masyumi,  Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
3)      Hizbullah, (Partai Allah atau Angkatan Allah) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).[13]
b.      Pasca Kemerdekaan
Organisasi-organisasi yang muncul pada masa sebelum kemerdekaan masih tetap berkembang di masa kemerdekaan, seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Masyumi dan lain lain. Namun ada gerakan-gerakan Islam yang muncul sesudah tahun 1945 sampai akhir Orde Lama. Gerakan ini adalah DI/TII yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita negara Islam Indonesia.
Gerakan kekerasan yang bernada Islam ini terjadi diberbagai daerah di Indonesia diantaranya :
1)        Di Jawa Barat, pada tahun 1949 – 1962
2)        Di Jawa Tengah, pada tahun 1965
3)        Di Sulawesi, berakhir pada tahun 1965
4)        Di Kalimantan, berakhir pada tahun 1963
5)        Dan di Aceh, pada tahun 1953 yang berakhir dengan kompromi pada tahun 1957.[14]
C.      PENUTUP
Dari penjelasan diatas, dapatlah diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ada beberapa teori mengenai masuknya Islam ke Indonesia. Pertama; Teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim, sekitar abad ke-13 M. Kedua; Teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim, sekitar abad ke-7 M. Ketiga; Teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara, sekitar abad ke-13 M.
2.      Peradaban Islam sebelum kemerdekaan terbagi kepada beberapa frase, yaitu pada masa kesultanan, seperti kerajaan samudra pasai, kerajaan demak, pada masa penjajahan dan pada masa kemerdekaan.
3.      Peradaban Islam sesudah kemerdekaan yaitu pada masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
Sebagai penutup, penulis mengakui adanya kekurangan dalam makalah ini, untuk itu penulis mengharapkan tanggapan yang berbentuk kritik, saran dari para pembaca.




D.     DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet-23, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011).

Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2009).

G.F.P Ijper, Sejarah Islam di Indonesia, alih bahasa Tudjimah Yessy Augusdin, (Jakarta: UI-Pres, 1950).

Muhadi Zainudin dan Abd Mustaqim, Studi Kepemimpinan Islam, (Putra Mediatama Press, 2008).

Musyfah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jakarta: PT Grapindo Persada, 2005

Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indoenesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991.










[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet-23, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.  191 dikutip dari Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 2.
[2] Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indoenesia, (Jakarta: Majelis ulama Indonesia, 1991), hlm. 34.
[3] Musyfah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,  (Jakarta: PT Grapindo Persada, 2005), hlm. 7
[4] Badri Yatim, Op.cit, hlm. 196
[5] Taufik Abdullah, Op.cit, hlm. 36.
[6] Musyifah Sunanto, Op.cit, hlm. 9
[7] Ibid, hlm. 10
[8] Ibid, hlm. 12
[9] G.F.P Ijper, Sejarah Islam di Indonesia, alih bahasa Tudjimah Yessy Augusdin, (Jakarta: UI-Pres, 1950), hlm. 44
[10] Ibid,.
[11] G.F.P Ijper, Op.cit, hlm. 44
[12] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2009), hlm. 187
[13] Ibid., hlm. 188
[14] Ibid., hlm. 190

Tidak ada komentar:

Posting Komentar