Selasa, 03 Juli 2012

WASHIL BIN ATHA' DAN PEMIKIRANNYA

MAKALAH
PEMIKIRAN ISLAM KLASIK DAN MODERN
“WASHIL BIN ATHA’ DAN PEMIKIRANNYA”



Dosen:
Drs. H. ABDUL KADIR SOBUR, P.hd

oke







Disusun Oeh :
AHMAD SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. P.h. 211.2.1525







PROGRAM PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI (PIAUD)
PROGRAM PASCASARJANA
 IAIN STS JAMBI
2012



KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas taufiq, hidayah dan inayah-Nya lah penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya dan keturunannya. Mudah-mudahan kita mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak. Amin.
Dengan berbekal segala kekurangan dan keterbatasan, serta mengharap taufiq dari Allah SWT, penyusun dapat menyajikan sebuah makalah yang berjudulWashil bin Atha’ dan Pemikirannyapada mata kuliah pemikiran Islam Klasik dan Modern. Makalah disusun dengan persediaan yang sederhana. Oleh sebab itu, penulis meminta maaf jika terdapat kesalahan dan kekhilafan di dalamnya, semoga dapat kita perbaiki bersama. Dan mudah-mudahan makalah ini  bermanfaat. Ucapan terima kasih kepada bapak dosen yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam proses pengajaran pada mata kuliah Pemikiran Islam Klasik dan Modern  ini.

Jambi,     Juli 2012


Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
........……………………………………
i
DAFTAR ISI
....…………………………………………
ii

BAB I PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
B.     Pokok Masalah
……………………………………………
……………………………………………
1
1

BAB II PEMBAHASAN


A.    Washil bin Atha’ dan Pemikirannya
B.     Muktazilah
1.      Sejarah Munculnya
2.      Ushul al-Khamsah

……………………………………………
……………………………………………

……………………………………………
……………………………………………

2
4

4
6

BAB III PENUTUP


A.    Kesimpulan
B.     Kata Penutup
……………………………………………
……………………………………………
11
11

DAFTAR PUSTAKA



                                                                                                                             







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam khazanah pemikiran Islam, sejarah telah mencatat bahwa terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat rasional, tradisonal dan ada yang mengambil jalan tengah sebagai moderat. Kondisi demikian membawa hikmah bagi sebagian umat Islam. Bagi mereka yang berpikiran rasional tentu akan mengambil argumentasi pemikiran dan pemahaman berdasarkan teologi yang beraliran rasional tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau moderat, cenderung akan menyesuaikan diri dengan aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.
Salah satu pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya. Adakah manusia dalam segala aktifitasnya terikat pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, atau Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya.
Secara umum, pemikiran Washil bin Atha’ dapat dikatakan termasuk dalam pemikiran yang beraliran rasional, dia cenderung mengutamakan kemampuan rasio yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan pada akal, sehingga sebagian kalangan umat islam menilai bahwa mereka lebih mengedepankan rasio daripada wahyu. Penganut pemikiran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur'an secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim, sehingga ajaran Washil bin Atha’ kurang diterima oleh kebanyakan ulama Sunni. Bahkan, tidak sedikit orang islam yang menganggap golongan pemikiran Washil bin Atha’ini sudah tersesat dari jalan yang lurus.

B.     Pokok Masalah
Pada perkembangannya, ajaran-ajaran Washil bin Atha’ semakin banyak dikaji karena menurut sebagian kalangan, pemahaman ini memiliki andil besar dalam perkembangan pemikiran islam. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai Washil bin Atha’ dan pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Washil bin Atha’ dan pemikirannya
Washil bin Atha’ hidup pada paruh pertama abad ke-8 M. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H/ 699 M, dan wafat pada tahun 131 H/ 749 M, di Bashrah (Irak). Ia merupakan tokoh terkenal yang mendirikan mazhab rasionalisme kondang yang disebut al-Mu’tazilah pada masa Dinasti Bani Umayyah.[1] 
Nama aslinya adalah Abu Huzaifah Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazzal. Ia begitu dihargai dikalangan al-Mu’tazilah karena pengetahuan dan tabiatnya. Washil pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan berbagai cabang ilmu selama pemerintahan ‘Abd Al-Malik ibn Marwan dan Hisyam ibn ‘Abd Al-Malik.[2]
Sebagaimana dikatakan diatas bahwa Washil merupakan pendiri dan pemuka dari aliran al-Mu’tazilah, pengikut ajaran-ajaran yang dibawanya dikenal dengan sebutan Washiliyyah. Sub-golongan Mu’tazilah ini pada prinsipnya memiliki empat doktrin dasar sebagai berikut:
Pertama, posisi diantara dua posisi bagi para pembuat dosa besar (al-manzilah bayn al-manzilatayn). Asal doktrin ini adalah bermula pada ketidaksepahaman Washil ibn ‘Atha’ dengan Hasan Al-Bashri dalam permasalahan posisi pelaku dosa besar.
Kedua, kepercayaan kepada Qadar. Menurut Washil, Tuhan itu bijaksana dan adil, sehingga keburukan dan ketidakadilan tidak bisa dinisbahkan kepada-Nya. Tuhan tidak bisa berkehendak kepada makhluk-Nya atas sesuatu yang bertentangan dengan apa yang Dia perintahkan kepada mereka. Dia tidak bisa menetapkan apa yang mereka kerjakan dan kemudian menghukumnya lantaran mereka tidak melakukan perintah itu. Oleh karena itu, manusia adalah pencipta kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekufuran, kepatuhan dan pengingkaran, dan dialah yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.[3]
Paham ini dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah, free will and free act (kebebasan berkehendak dan bertindak). Dalam paham ini, Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang melakukan perbuatan dalam arti kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatan. Dan dalam mewujudkan hal tersebut haruslah atas kehendak dan daya manusia itu sendiri, bukan Tuhan. Dan apabila manusia berbuat jahat, maka itu berarti atas kehendak dan dayanya sendiri sehingga paham kemahadilan Tuhan dapat dipertahankan untuk menghukumnya dalam neraka. Tetapi, sekiranya manusia berbuat jahat bukan atas kehendak dan daya upayanya sendiri, melainkan atas kehendak dan daya yang bersumber dari luar dirinya, maka sungguh tidak adillah Tuhan kalau menghukum pembuat kejahatan itu dalam neraka.[4]
Ketiga, peniadaan sifat-sifat Tuhan, seperti mengetahui, berkuasa, berkehendak dan hidup. Telah disepakati secara universal bahwa eksistensi dua Tuhan yang kadimadalah sebuah hal yang mustahil. Jadi, menyatakan eksistensi sebuah entitas yang kadim atau sifat yang kadim pada Tuhan, akan berarti bahwa ada dua Tuhan.[5] Washil menolak adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada zat Tuhan. Ini tidak berarti bahwa ia menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir, dan sebagainya sebagaimana yang dipahami aliran teologi islam lain. Ia menerima kebenaran ayat-ayat itu sama dengan kebenaran ayat-ayat lain, hanya saja penafsirannyalah yang berbeda tentang ayat-ayat tersebut.[6] Menurutnya,  Kalau Tuhan dikatakan memiliki sifat Maha Mengetahui, baginya yang mengetahui itu adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya.[7]
Keempat, pandangan mengenai kelompok-kelompok yang beroposisi dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin. menurut Washil, salah satu dari kelompok ini berada pada posisi yang salah, tetapi ia tidak merinci kelompok mana yang salah. Dia juga berpandangan sama terhadap kasus Utsman, mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya dan mengenai mereka yang mengkhianatinya. Menurutnya, salah satu dari kelompok ini pasti berdosa. Sama halnya dengan dua kelompok yang saling menghujat satu sama lain, maka yang satu pasti berdosa. Mengenai status kelompok yang berseteru tersebut, ia berpandangan bahwa kesaksian mereka tidak dapat diterima. Konsekuensinya, kesaksian Ali, Thalhah dan Zubair, sekalipun dalam hal-hal yang signifikan, adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Boleh jadi bahwa Utsman dan Ali keduanya bersalah.

B.     Mu’tazilah
1.      Sejarah Munculnya
Adapun pemikiran yang lebih luas dari washil; bin Atha’ adalah dengan hadirnya alirn mu’tazilah. Secara sederhana, al-Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang mendasarkan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan pikiran, serta sangat kritis terhadap hadits dan cara penafsiran al-Qur’an.[8] Aliran ini muncul pertama kali di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 101-125 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn ‘Abd al-Malik dari Bani Umayyah.[9] Pada masa-masa awal kemunculannya, aliran ini tidak memperoleh dukungan dan simpati dari umat islam. Hal ini disebabkan karena sulitnya memahami ajaran-ajaran mereka yang rasionalis dan filosofis. Disamping itu, aliran ini dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan para sahabat.
Sejarah kemunculan aliran al-Mu’tazilah dapat dikatakan berawal dari reaksi atas paham-paham teologi yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan Murji’ah mengenai kedudukan seorang mu’min yang berdosa besar.[10] Menurut mereka, kata “mukmin” mengandung pujian, sehingga pembuat dosa besar bukanlah orang yang terpuji. Tetapi sebaliknya, pembuat dosa besar bukanlah kafir karena masih mengakui dua kalimat syahadat. Karena pembuat dosa besar tidaklah kafir dan tidak juga mukmin, ia mempunyai posisi diantara keduanya (al-manzilah bayna manzilatayni) dan boleh diberi predikat sebagai seorang muslim.[11] Menurut Fazlur Rahman,[12] Doktrin “posisi tengah” dari pelaku dosa besar inilah yang memberikan nama tekhnis Mu’tazilah, atau kaum netralis kepada gerakan baru tersebut, dan yang membedakannya dengan kaum netralis politik yang lama.
Menurut tradisi sunni yang umumnya diterima, asal mula golongan ini memperoleh nama Mu’tazilah berawal ketika suatu hari, pada saat diskusi seseorang datang menghadap pada Hasan Al-Bashri seraya berkata padanya,
“Wahai Imam! Sekarang ini ada beberapa orang yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, bagi mereka, pelaku dosa besar adalah murtad yang dengannya ia dikeluarkan dari masyarakat islam. Kelompok ini adalah Wa’idiyyah, sub-golongan Khawarij. Pada sisi lain, ada kelompok lain yang menangguhkan hukuman atas pelaku dosa besar. Bagi mereka, dosa tidak berpengaruh buruk kepada seseorang selagi ia memiliki iman. Mereka berpegang bahwa perbuatan-perbuatan tidak membentuk suatu bagian iman yang integral. Karenanya, dosa tidak berpengaruh buruk pada seseorang yang memiliki iman, sama halnya ketaatan tidak berfaedah kepada seseorang apabila tanpa iman. Ini adalah golongan Murji’ah. Menurutmu, mana yang harus kita yakini?”[13]
Ketika Hasan Al-Bashri masih memikirkan jawaban atas pertanyaan orang tersebut, salah seorang peserta diskusi dalam majelis itu yaitu, Washil bin Atha’ mengeluarkan pendapat sendiri yang mendahului gurunya. Ia berpendapat bahwa orang yang demikian berada antara dua posisi, bukan seorang yang beriman dan bukan pula seorang kafir. Setelah itu, ia kemudian berdiri dan pindah kedekat sebuah tiang mesjid yang lain, tempat ia mulai menjelaskan kepada sebuah kelompok lain pengikut Hasan Al-Bashri maksud dari apa yang ia katakana. Hasan kemudian kemudian berujar pada kelompok yang masih setia padanya, “Washil telah memisahkan diri (i’tazala) dari kita.” Sejak saat itu, pengikut Washil dikenal sebagai Mu’tazilah (golongan yang memisahkan diri).[14]
Menurut teori lain, Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari kata i’tazala yang dinisbahkan kepada orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman ‘Utsman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Menurut beberapa penulis sejarah, kata i’tazala dan Mu’tazilah memang telah dipakai pada zaman itu untuk golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Dan diantara orang-orang demikian terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husain. Washil sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan Abu Husain.[15]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata i’tazala dan Mu’tazilah sebenarnya telah dikenal jauh sebelum kronologis terjadinya ketidaksepahaman Hasan Al-Bashri dan Washil bin Atha’ dalam masalah posisi pendosa besar. Namun, kata i’tazala dan istilah Mu’tazilah yang dipakai untuk menisbatkan pengikut Washil, baru mulai menjadi populer  dan dikenal lebih luas pasca kejadian ketidaksepahaman guru dan murid tersebut yang melahirkan pemahaman baru.

2.      Ushul al-Khamsah
Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka gunakan dalam memberikan fatwa hukum terhadap berbagai hal.[16] Hal ini disebabkan bahwa mereka sangat giat dalam mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatian mereka karena menjunjung tinggi cara berfikir logis. Sebagian kalangan bahkan menilai bahwa Mu’tazilah lebih mengutamakan akal pikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an dan Hadits atau yang dikenal dengan taqdim al-‘aql ‘ala al-nash. Hal ini berbeda dengan golongan Ahlusunnah wa al-Jama’ah yang cenderung mendahulukan al-Qur’an dan Hadits baru kemudian akal pikiran, taqdim al-nash ‘ala al-‘aql.[17]
Dalam penjelasan sebelumnya, telah disebutkan bahwa karena ketidaksepahaman Washil bin ‘Atha’ dengan Hasan al-Bashri, maka pengikut Washil disebut dengan al-Mu’tazilah (orang yang mengasingkan diri). Namun, ia sendiri dan para pengikutnya lebih senang menamakan diri mereka sebagai ahl al-‘adl wa al-tauhid (kaum pendukung keadilan dan keesaan).[18] Dari pendirian ini, tokoh-tokoh penganut aliran al-Mu’tazilah bersepakat pada lima ajaran resmi yang harus diyakini tiap pengikut aliran ini.[19] Bahkan al-Khayyath yang merupakan tokoh al-Mu’tazilah abad k-3 H, seperti yang dikutip  Nasir, menegaskan:

وَلَيْسَ يَسْتَحِقُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ إِسْمَ اْلإِعْتِزَالِ حَتَّي يَجْمَعَ اْلقَوْلَ بِاْلأُصُوْلِ اْلخَمْسَةِ : اَلتَّوْحِيْدُ وَاْلعَدْلُ وَاْلوَعِيْدُ وَالَمَنْزِلَةُ بَيْنَ اْلمَنْزِلَتَيْنِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ اْلمُنْكَرِ. فَإِذَا كَمُلَتْ فِيْهِ هذِهِ اْلخِصْلَةُ فَهُوَ مُعْتَزِلِيٌّ.
Artinya :
“seseorang tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran. Yaitu, tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat diantara dua tempat dan amar ma’ruf nahi munkar. Apabila padanya telah sempurna kelima ajaran ini, dinamakan Mu’tazilah”.[20]

Kelima ajaran ini adalah ajaran-ajaran yang disepakati oleh seluruh pengikut paham ini. Walaupun demikian, dalam memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ajaran-ajaran dasar tersebut, mestilah terjadi perbedaan diantara tokoh-tokohnya. Hal ini menjadi wajar, mengingat al-Mu’tazilah memberikan peranan yang sangat besar pada akal manusia, sementara setiap akal mesti memiliki telaah dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah permasalahan. Doktrin al-Mu’tazilah dalam bentuk lima ajaran dasar yang populer ini dikenal dengan istilah al-ushul al-khamsah.
Pertama, Al-Tawhid, yaitu kemahaesaan Tuhan. Menurut mereka, Paham-paham yang membuat Tuhan tidak unik lagi seperti adanya sifat, atau adanya yangkadim selain Tuhan dan sebagainya, mereka tolak dengan kuat.[21] Golongan al-Mu’tazilah menganggap bahwa konsep tauhid mereka adalah yang paling murni, sehingga mereka lebih senang disebut sebagai Ahl al-Tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, mereka menafikkan segala sifat bagi Tuhan, sehingga mereka sering juga disebut sebagai golongan Nafy al-Sifat.[22]
Dalam ajaran ini, mereka benar-benar menyucikan Allah SWT dari materi dan segala aksidensianya, karena Allah SWT bukanlhah jism juga bukan bayangan, bukan bagian juga bukan keseluruhan, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Selanjutnya, konsep ini membawa pada paham penolakan terhadap antropomorfisme. Bagi mereka, Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya seperti mempunyai muka atau tangan. Karena itu, ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat tajasum), haruslah ditakwilkan secara rasional sedemikan rupa. Mereka memerangi pemikiran al-Tasybih dan al-Tajsim yang gemanya menyusup kedalam Islam dari agama lain.
Penulis cenderung tidak sepakat dengan ajaran ini, karena pada prinsipnya bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka ini tidaklah menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Menetapkan sifat-sifat Allah tidaklah termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Pada prinsipnya, ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wa al-shifat sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Justru dengan meniadakan sifat ini, berarti telah mengakui adanya dua identitas, karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya.
Kedua, Al-‘Adl, yaitu paham keadilan Tuhan. Paham ini meletakkan tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kalau al-Tawhid mengandung keunikan Tuhan dalam zat, paham keadilan Tuhan ini mengandung keunikan Tuhan dalam perbuatannya. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, maka segala kehendak dan perbuatan Tuhan tidak bisa bertentangan dengan paham keadilan. Paham keadilan inilah yang menjadi titik tolak dari pemikiran rasional al-Mu’tazilah mengenai pendapat-pendapat keagamaan mereka.[23]
Menurut al-Mu’tazilah, Tuhan adalah sosok yang amat bijaksana sehingga  Ia mesti mempunyai tujuan kebajikan dalam menciptakan manusia. Pendek kata, karena Tuhan bijaksana, maka Ia wajib hukumnya berbuat kebajikan pada manusia, karena akal sehat mengasumsikan demikian.[24] Lebih lanjut menurut mereka, bahwa Tuhan tidak bisa melakukan hal-hal yang tak masuk akal dan tak adil. Bahkan, manusia diciptakan mandiri yang mampu bertindak secara bebas dan independen dari semua campur tangan Ilahi.[25] Karena independensi manusia dalam bertindak itulah, maka paham keadilan menuntut manusia mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatannya.
Ketiga, Al-Wa’d wa al-Wa’id, yaitu paham mengenai janji dan ancaman. Paham ini mengandung pemahaman bahwa Tuhan tidak akan adil kalau Dia tidak memberi pahala pada orang yang berbuat baik, dan kalau Dia tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Sementara, Allah SWT telah menegaskan bahwa ia tidak akan mengingkari janji-Nya. Hal ini termaktub dalam QS. Ali ‘Imran ayat 9,

إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعَادَ
Artinya:
“Sungguh, Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. (QS. Ali ‘Imran: 9)

Menurut al-Mu’tazilah, seorang Mukmin apabila meninggal dalam keadaan taubat dan taat, maka dia berhak mendapatkan pahala. Tetapi, apabila ia meninggal sebelum terlebih dahulu melakukan taubat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, maka ia akan ditempatkan dalam neraka selama-lamanya, akan tetapi siksaan yang didapatkannya lebih ringan daripada siksaan yang diberikan oleh kaum kafir. Inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman.[26]
Keempat, Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi pembuat dosa besar. Tidak posisi mukmin, tidak pula posisi kafir, tetapi posisi Muslim yang terletak diantara keduanya. Tidak posisi surga, tidak pula posisi berat di neraka, tetapi posisi siksa ringan yang terletak diantara keduanya.[27]
Kelima, Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, yaitu perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat. Ajaran dasar ini sangat erat hubungannya dengan pembinaan moral. Ajaran ini menekankan bahwa iman tidaklah cukup hanya dihati, tetapi merupakan pengakuan yang harus diikuti oleh perbuatan-perbuatan baik.[28] Menurut mereka, kepatuhan merupakan suatu tiang dari esensi nyata iman sedemikian rupa sehingga siapapun yang mengabaikannya, maka dia bukan seorang yang percaya.[29] Orang yang masuk surga adalah orang yang imannya tercermin dalam perbuatan-perbuatan dan kelakuan baik. Maka untuk membina moral umat, mereka menganggap bahwa al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy al-munkar, sebagai suatu bentuk kontrol sosial, harus dijalankan. Kalau dapat, cukup dengan seruan, tetapi kalau terpaksa boleh dengan kekerasan.
Prinsip dari ajaran ini mengarahkan seseorang untuk tidak menaati atau mungkin memberontak pada pemimpin yang keimanannya tidak tercermin dalam perbuatannya dalam memimpin. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya ajaran ini bertentangan dengan etika Islam yang menganjurkan cara-cara kebijaksanaan dalam mengkonfrontir sesuatu yang bertentangan dengan aplikasi keimanan itu sendiri.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapatlah diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Abu Huzaifah Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazzal, itulah nama aslinya. Ia begitu dihargai dikalangan al-Mu’tazilah karena pengetahuan dan tabiatnya. Washil pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan berbagai cabang ilmu selama pemerintahan ‘Abd Al-Malik ibn Marwan dan Hisyam ibn ‘Abd Al-Malik.
2.      Adapun pemikiran yang lebih luas dari Washil bin Atha’ adalah dengan hadirnya aliran mu’tazilah. Secara sederhana, al-Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang mendasarkan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan pikiran, serta sangat kritis terhadap hadits dan cara penafsiran al-Qur’an. Aliran ini muncul pertama kali di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 101-125 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn ‘Abd al-Malik dari Bani Umayyah. Pada masa-masa awal kemunculannya, aliran ini tidak memperoleh dukungan dan simpati dari umat islam. Hal ini disebabkan karena sulitnya memahami ajaran-ajaran mereka yang rasionalis dan filosofis. Disamping itu, aliran ini dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan para sahabat.
3.      Prinsip utama ajaran dasar al-Mu’tazilah dikenal dengan istilah al-ushu>l al-khamsah. Yaitu, Al-Tawhi>d, atau kemahaesaan Tuhan, Al-‘Adl, atau paham keadilan Tuhan, Al-Wa’d wa al-Wa’i>d, atau paham mengenai janji dan ancaman, Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi pembuat dosa besar, dan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.

B.     Kata Penutup
Dengan mengucap segala puji bagi Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini, namun penulis tetap mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca. Sehingga makalah ini dapat mendekati kekesempurnaan.
DAFTAR PUTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana, 2004.
A Nasir, Sahilun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
Al-Syahrastani, Muhammad Ibn ‘Abd Al-Karim Ah}mad. Al-Milal Wa Al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam. Penerjemah Syuaidi Asy’ari. Bandung: Mizan, 2004.
Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Hitti, Philip K. History Of The Arabs. New York: Palgrave Macmillan, 2002.
Izutsu, Toshihiko. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman Dan Islam. Diterjemahkan Oleh Agus Fahri Husein. Cet. I. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution. Cet. III. Bandung: Mizan, 2005.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Penerjemah Hasan Basri. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Rahman, Fazlur. Islam. New York: Anchor Books, 1968.
Syukur NC, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Thahir, Lukman S. Kritik Islam Rasional Harun Nasution: Dari Nalar Tradisi, Modernitas, Hingga Nalar Kritis. Makassar: Pustaka Refleksi, 2012.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Yasid, Abu. Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Wahyu. Jakarta: Erlangga, Tanpa Tahun.





[1] Philip K. Hitti, History of the Arabs, (New York: Palgrave Macmillan, 2002), h. 306.
[2] Muhammad Ibn ‘Abd Al-Karim Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2004), h. 88.
[3] Ibid., h. 88-89.
[4] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 2005), 130.
[5] Al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 88.
[6] Harun Nasution, Islam Rasional, h, 130.
[7] Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 292.
[8] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 979.
[9] Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h. 163.
[10] Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 306.
[11] Harun Nasution, Islam Rasional, h, 128.
[12] Fazlur Rahman,  Islam (New York: Anchor Books, 1968), 120.
[13] Al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 88.
[14] Ibid,h. 90
[15] Harun Nasution, Islam Rasional, h. 128.
[16] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 48.
[17] Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h. 167.
[18] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam , (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 54.
[19] Harun Nasution, Islam Rasional, h. 135.
[20] Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h. 168.
[21] Harun Nasution, Islam Rasional, h. 135.
[22] Ensiklopedi, h, 292.
[23] Harun Nasution, Islam Rasional, h. 135-136.

[24] Abu Yasid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Wahyu, (Jakarta: Erlangga, Tanpa Tahun), 48.
[25] Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman Dan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), 186
[26] Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), h. 172.
[27] Harun Nasution, Islam Rasional, h. 136.
[28] Ibid,.
[29] Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, h. 186

Tidak ada komentar:

Posting Komentar